Disusun dalam format
e-Book seperti ini oleh M. Arifin, S.Kom, M.A
KEBUTUHAN POKOK MANUSIA DAN SOAL MUAMALAH
AKHLAK
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun
terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat,
perangai kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu
tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk
tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam
Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai
konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi
pekerti yang agung (QS Al-Qalam [68]: 4).
Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi Saw.,
dan salah satunya yang paling populer adalah,
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni akhlak
sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak
atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah
berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keaneka-ragaman
tersebut.
Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat
beragam (QS Al-Lail [92]: 4).
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut,
antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan
buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu
ditujukan.
BAIK DAN BURUK
Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan
buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah
kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia
sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?
Tulisan ini tidak akan mengarungi samudera pemikiran yang
dalam lagi sering menenggelamkan itu, namun kita dapat berkata
bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa
terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya.
Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut.
Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan
hal hakikat ini, antara lain:
Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya
(manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS
Al-Balad [90]: 10).
...dan (demi) jiwa serta penyempurnaaaan ciptaannya,
maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan
ketakwaan (QS Asy-Syams [91]: 7-8).
Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun
ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih
dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa
manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Al-Quran surat Thaha (20): 121 menguraikan bahwa Iblis
menggoda Adam sehingga,
... durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.
Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam
tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk,
dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun
kemudian Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi
pada kesuciannya.
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan
konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman.
Perbedaan --jika terjadi-- terletak pada bentuk, penerapan,
atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep
moral, yang disebut ma'ruf dalam bahasa Al-Quran. Tidak ada
peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau
keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa
penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi,
bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara
penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu
masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada
generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai
baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum,
maka ia tetap dinilai baik (ma'ruf).
Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap
kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir,
hadis-hadis Nabi Saw. pun antara lain menginformasikannya:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah),
hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang
menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi (H Bukhari).
Seorang sahabat Nabi Saw. bernama Wabishah bin Ma'bad
berkunjung kepada Nabi Saw., lalu beliau menyapanya dengan
bersabda:
"Engkau datang menanyakan kebaikan?" "Benar, wahai
Rasul," jawab Wabishah. "Tanyailah hatimu! "Kebajikan
adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang
tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang
mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun
setelah orang memberimu fatwa." (HR Ahmad dan
Ad-Darimi).
Dengan demikian menjadi amat wajar jika ditemukan ayat-ayat
Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa manusia pada hakikatnya
--setidaknya pada awal masa perkembangan-- tidak akan sulit
melakukan kebajikan, berbeda halnya dengan melakukan
keburukan.
Salah satu frase dalam surat Al-Baqarah ayat 286 menyatakan,
Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang
dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang
dilakukannya
Oleh beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan sebagai bukti
apa yang disebut di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat
bahwa kalimat "yang dilakukan" terulang dua kali: yang pertama
adalah terjemahan dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan
kata iktasabat.
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyatakan kata
iktasabat, dan semua kata yang berpatron demikian, memberi
arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya,
berbeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah
tanpa pemaksaan. Dalam ayat di atas, perbuatan-perbuatan
manusia yang buruk dinyatakan dengan iktasabat, sedangkan
perbuatan yang baik dengan kasabat. Ini menandakan bahwa
fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan,
sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya
dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah
dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih
berada dalam kesuciannya).
Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan
keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada
kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan
perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan
fithrah (asal kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum
(30): 30 dinyatakan,
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Al1ah). Itulah fithrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fithrah itu.
Di sisi lain, karena kebajikan merupakan pilihan dasar
manusia, kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban,
sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri:
Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah
engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu
(QS Al-Isra' [17]: 14).
PERTANGGUNGJAWABAN
Atas dasar uraian di atas, Al-Quran membebaskan manusia untuk
memilih kedua jalan yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri
yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak
boleh membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga
dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya. Tetapi dalam
Al-Quran surat Al-An'am ayat 164 dinyatakan bahwa tanggung
jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syaratsyarat
tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.
Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami
mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15).
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya... (QS Al-Baqarah [2]: 286)
Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik paling tidak
dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan
apa yang tidak diketahui atau tidak mampu
dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa
yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut
diketahuinya.
Di sisi lain, ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa
pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang
disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak.
Al-Quran secara tegas menyatakan:
Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas
sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia
akan meminta pertanggungjawabanmu terhadap apa yang
disengaja oleh hatimu... (QS Al-Baqarah [2]: 225).
...tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak
menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya... (QS Al-Baqarah [2]: 173).
Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan
untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat
dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat dan kehendak
seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal
sekaligus dalam pertanggungjawabannya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia
beriman, dia mendapatkan kemurkaan Allah, kecuali
orang-orang yang dipaksa kafir sedang hatinya tetap
tenang dalam keimanan... (QS An-Nahl [16]: 106) .
Al-Quran surat Al-Isra ayat 23-24 memerintahkan kepada seorang
anak agar menghormati kedua orang-tuanya, khususnya kalau usia
mereka sudah tua (karena ketika telah uzur boleh jadi mereka
melakukan hal-hal yang menjengkelkan). Anak dilarang berkata
uf (cis), dan harus memilih kata-kata yang baik, sambil
merendahkan diri kepada keduanya. Ayat ini disusul dengan
firman-Nya:
Tuhanmu lebih mengetahui yang ada dalam hatimu. Jika
seandainya kamu orang baik-baik (Allah akan
memaaafkan sikap dan ke1akuan yang telah kamu lakukan
dengan terpaksa, tidak sadar, atau yang berada di
luar kontrol kemampuanmu), karena Allah Maha
Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra'
[17]: 25).
TOLOK UKUR KELAKUAN BAIK
Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada
ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan
ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh
Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya,
tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik,
karena kebohongan esensinya buruk.
Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia
memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat Thaha
(20): 8 menegaskan:
(Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai
Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).
Rasulullah Saw. juga memerintahkan umatnya agar berusaha
sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk
meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya,
Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw., beliau
menjawab,
Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al-Quran
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan
melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.
Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia
Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak
wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan.
Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada
tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat
kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim
meneladani sifat Al-Kibriya' (Keangkuhan Allah), ia harus
ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali
dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap
orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat
seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau
bersabda,
"Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali
dalam kondisi semacam ini."
Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak
akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang
angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan,
"Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah".
Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan
kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia
terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama
kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk
membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang
yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran
mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan
bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang,
angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).
Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus
menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk
menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya
adalah tidak membutuhkan --dan bukan kaya materi-- sehingga
esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri
atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu
membuang air muka untuk meminta-minta.
Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya,
karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273)
Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa
dirinya amat membutuhkan Allah:
Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah
orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir[35]: 15).
Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang
harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf,
Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.
Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat
jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan
tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok
ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda
antara seseorang dengan yang 1ain, bahkan seseorang yang
berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda,
dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yang
terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.
SASARAN AKHLAK
Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,
jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia,
serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan
terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak
merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap
batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai
aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada
sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
benda-benda tak bernyawa).
Berikut upaya pemaparan sekilas beberapa sasaran akhlak
Islamiyah.
a. Akhlak terhadap Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki
sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan
manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu
memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan kepada diri-Mu.
Demikian ucapan para malaikat.
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia
untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah
"al-hamdulillah"). Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93,
secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan
memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya,
maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai
dari apa yang kamu kerjakan."
Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan
kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang
terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160).
Teramati bahwa semua makhluk --kecuali nabi-nabi tertentu--
selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan
menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan
mereka (QS Asy-Syura [42]: 5).
Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS Ar-Ra'd [13]: 13).
Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih
(menyucikan Allah) sambil memuji-Nya (QS Al-Isra'[17]: 44).
Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui
dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian
Allah Swt. Itu sebabnya mereka --sebelum memuji-Nya--
bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan
kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai
kesempurnaan Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan
manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang
bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk
menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS
Al-Muzzammil (73): 9:
(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan
melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil(pelindung).
Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata
tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakala-yakilu"
yang berarti mewakilkan.
Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu
persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili
sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut,
sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh
orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang
disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan
kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai
dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu
kepada-Nya.
Makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak
dijelaskan lebih jauh. Pertama sekali harus diingat bahwa
keyakinan tentang Keesaan Allah antara lain berarti bahwa
perbuatan-Nya esa, sehingga tidak dapat disamakan dengan
perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Sebagai contoh,
Allah Maha Pengasih (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim). Kedua
sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat
dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan
dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu
akan berakibat gugurnya makna keesaan.
Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah
Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha
yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki
keterbatasan pada segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya
pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Benar bahwa wakil diharapkan dan dituntut untuk memenuhi
kehendak yang mewakilkan. Namun, karena dalam perwakilan
manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang
mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja orang
yang mewakilkan tidak menyetujui atau membatalkan tindakan
sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia merasa
--berdasarkan pengetahuan dan keinginannya-- tindakan sang
wakil merugikan. Jika seseorang menjadikan Allah sebagai
wakil, hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia
telah menyadari keterbatasan dirinya, dan menyadari pula
Kemahamutlakan Allah Swt. Oleh karena itu, ia akan menerimanya
dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu
perbuatan Tuhan.
Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui
(QS Al-Baqarah: 216).
Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi
wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS
Al-Ahzab [33]: 36).
Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada
Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang
mewakilkan.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu,
Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda
tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan
oleh sang wakil.
Ketika menjadikan Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut
untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah
menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal
(tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak
(tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh
perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah
bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat
61:
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah
kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.
Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah
Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila
kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya
kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu
benar-benar orang yang beriman.
Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan
segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun
harus percaya bahwa:
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan
(kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa' [4]: 79).
Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim
mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.
Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah:
Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat,
bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan)
mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).
Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber
dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di
atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika
berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan
mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang
Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat
mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada
Allah.
Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim a.s.:
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku (QS
Asy-Syu'ara' [26]: 80).
Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan
bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit
kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan
bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".
Sekali lagi, bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang
mengisahkan perjalanan Nabi Musa a.s. bersama seorang hamba
pilihan Allah (Khidir a.s.).
Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap
"Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena
pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi
ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat
yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82),
karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu. Ketika
Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan
menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang
digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81).
Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah
penggantian anak dengan yang lebih baik.
b. Akhlak terhadap sesama manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan
dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai
hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal
negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil
harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada
menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di
belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun
sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang
menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah
[2]: 263).
Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya
didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. --misalnya--
dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun
dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh
wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh
penghormatan melebihi manusia 1ain. Karena itu, Al-Quran
berpesan kepada orang-orang Mukmin:
Jangan meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi
(saat berdialog), dan jangan pula mengeraskan suaramu
(di hadapannya saat beliau diam) sebagaimana
(kerasnya) suara sebagian kamu terhadap sebagian yang
lain... (QS Al-Hujurat [49]: 2).
Janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rasul di
antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada
sebagian (yang lain) (QS An-Nur [24]: 63).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati.
Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau
kebebasan pribadi).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin
dan memberi salam kepada penghuninya (QS An-Nur [24]:27).
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak
lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang
yang belum balig di antara kamu meminta izin kepada
kamu tiga kali (yaitu waktu) sebelum shalat subuh,
ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah
hari, dan sesudah shalat isya ... (QS An-Nur [24):58).
Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yang
serupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang
lebih baik (QS An-Nisa' [4]: 86).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, Al-Quran
memerintahkan,
Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS A1-Baqarah [2]: 83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan
dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang
benar,
Dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab[33]: 70).
Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok
1ain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau
menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau
memanggilnya dengan sebutan buruk (baca Al-Hujurat [49]:
11-12) .
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini
hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan
berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika
Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a.--
menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar
dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu
Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan:
Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya),
orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah
dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah
mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS An-Nur [24]: 22).
Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat
Ali Imran (3): 134, yaitu:
Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan
memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka
yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya),
sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik.
Di dunia Barat, sering dinyatakan, bahwa "Anda boleh melakukan
perbuatan apa pun selama tidak bertentangan dengan hak orang
lain", tetapi dalam Al-Quran ditemukan anjuran, "Anda
hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada
kepentingan Anda sendiri."
Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka
sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan (QS
Al-Hasyr [59]: 9).
Jika ada orang yang digelari gentleman --yakni yang memiliki
harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut {terutama
kepada wanita)-- seorang Muslim yang mengikuti
petunjuk-petunjuk akhlak Al-Quran tidak hanya pantas bergelar
demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam
bahasa Al-Quran disebut al-muhsin.
c. Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang
berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan,
maupun benda-benda tak bernyawa.
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung
arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap
makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan
mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum
mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada
makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati
proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses
yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan,
bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan
harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua
memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan
sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan
yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan
bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat
seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis
Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh
diperlakukan secara aniaya."
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat
petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan.
Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau
menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa,
tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan
dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan
terbesar.
Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau
kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka
itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5).
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada
kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman
tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus
dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di
bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap
tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan
pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan
pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi Saw.
tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8
yang berbunyi, "Kamu sekalian pasti akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)." Dengan
demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh
terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut
untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang
berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan)
yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf[46]: 3).
Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak
hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau
bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan
bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh
bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang
terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal
dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos
Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam merupakan
dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus ditaklukkan.
Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia
tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan
yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah
bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai
kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi
keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah,
sehingga mereka harus dapat bersahabat.
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad
Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu).
Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. bahkan
memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun
benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya
kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran
untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang Nabi
Muhammad Saw. telah mengajarkan,
Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih
ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat
juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar
kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah
Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain.
Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang
ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat)
dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk
manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan
merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan
Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak
boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh
diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan
kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk
selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan
yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan
kepentingannya di akhirat kelak.
***
Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini AKHLAK.htm dengan menyatakan
bahwa keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi
bersabda,
Agama adalah hubungan interaksi yang baik.
Beliau juga bersabda:
Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan
(amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi
akhlak yang luhur (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).[]