Kamis, 11 September 2014

WAWASAN AL QUR'AN

Prof. Dr. Quraish Shihab

Disusun dalam format e-Book seperti ini oleh M. Arifin, S.Kom, M.A

KEBUTUHAN POKOK MANUSIA DAN SOAL MUAMALAH
 
PAKAIAN
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah  untuk  pakaian
yaitu,  libas,  tsiyab,  dan  sarabil.  Kata  libas  ditemukan
sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
 
Libas  pada  mulanya  berarti  penutup --apa pun yang ditutup.
Fungsi pakaian  sebagai  penutup  amat  jelas.  Tetapi,  perlu
dicatat  bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena
cincin yang menutup sebagian  jari  juga  disebut  libas,  dan
pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
 
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
menyatakan bahwa,
 
     Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
     lain mutiara) yang kamu pakai.
 
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk  menunjukkan  pakaian
lahir  maupun  batin,  sedangkan  kata  tsiyab digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari  kata  tsaub
yang  berarti  kembali,  yakni kembalinya sesuatu pada keadaan
semula, atau pada keadaan yang seharusnya  sesuai  dengan  ide
pertamanya.
 
Ungkapan  yang  menyatakan,  bahwa  "awalnya  adalah  ide  dan
akhirnya adalah kenyataan", mungkin  dapat  membantu  memahami
pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
harus dikembalikan kepada ide asal,  karena  kenyataan  adalah
cerminan dari ide asal.
 
Apakah ide dasar tentang pakaian?
 
Ar-Raghib  Al-Isfahani  --seorang  pakar   bahasa   Al-Quran--
menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
dasar adanya bahan-bahan pakaian  adalah  agar  dipakai.  Jika
bahan-bahan   tersebut   setelah   dipintal  kemudian  menjadi
pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide  dasar
keberadaannya.   Hemat   penulis,   ide   dasar   juga   dapat
dikembalikan  pada  apa  yang  terdapat  dalam  benak  manusia
pertama tentang dirinya.
 
Al-Quran  surat  Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika
Adam dan Hawa berada di surga:
 
     Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
     menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari
     mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu
     melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua
     tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
     yang kekal (di surga)."
 
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
 
     ...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
     itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
     mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...
 
Terlihat jelas  bahwa  ide  dasar  yang  terdapat  dalam  diri
manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,
aurat manusia terbuka. Dengan  demikian,  aurat  yang  ditutup
dengan  pakaian  akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti  "sesuatu  yang
mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
 
Dan  ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah
ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran  setan  adalah
"keterbukaan  aurat".  Sebuah  riwayat  yang  dikemukakan oleh
Al-Biqa'i  dalam  bukunya  Shubhat  Waraqah  menyatakan  bahwa
ketika  Nabi  Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang
dialaminya di  Gua  Hira  --apakah  dari  malaikat  atau  dari
setan--  beliau  menyampaikan  hal  tersebut  kepada  istrinya
Khadijah. Khadijah  berkata,  "Jika  engkau  melihatnya  lagi,
beritahulah  aku".  Ketika  di  saat  lain  Nabi  Saw. melihat
(malaikat) yang  dilihatnya  di  Gua  Hira,  Khadijah  membuka
pakaiannya  sambi1  bertanya,  "Sekarang,  apakah engkau masih
melihatnya?" Nabi  Saw.  menjawab,  "Tidak,  ...  dia  pergi."
Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang
bukan setan, ...  (karena  hanya  setan  yang  senang  melihat
aurat)".
 
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
 
     Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
     dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu
     orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah
     mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
     menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan
     kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:
     27).
 
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan  perihal
pakaian  adalah  sarabil.  Kamus-kamus bahasa mengartikan kata
ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya.  Hanya  dua  ayat
yang  menggunakan  kata  tersebut. Satu di antaranya diartikan
sebagai  pakaian  yang  berfungsi  menangkal  sengatan  panas,
dingin,  dan  bahaya  dalam  peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan
dialami  oleh  orang-orang  berdosa  kelak  di  hari kemudian:
pakaian mereka  dari  pelangkin.  Dari  sini  terpahami  bahwa
pakaian  ada  yang  menjadi  alat penyiksa. Tentu saja siksaan
tersebut karena  yang  bersangkutan  tidak  menyesuaikan  diri
dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.
 
PAKAIAN DAN FITRAH
 
Dari  ayat  yang  menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,
dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan  bahwa  pada
hakikatnya   menutup   aurat   adalah   fitrah  manusia  jrang
diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.
 
Seperti dikemukakan ketika  menjelaskan  arti  tsaub,  manusia
pada  mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya  'anhuma  min
sauatihima   (untuk   menampakkan  kepada  keduanya  apa  yang
tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
 
Penggalan ayat  itu  bukan  saja  mengisyaratkan  bahwa  sejak
semula  Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,
melainkan juga  berarti  bahwa  aurat  masing-masing  tertutup
sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
 
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi  terbuka,
dan  mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan
adanya  naluri  pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa
aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
 
Perlu diperhatikan pula  kalimat  yang  dipergunakan  Al-Quran
untuk  menyatakan  usaha  kedua  orang  tua  kita, "Wa thafiqa
yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."
 
Kata  yakhshifan  terambil  dari  kata  khashf  yang   berarti
menempelkan  sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih
kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa  adalah
menempelkkan  lapisan  baru  pada  lapisan  yang ada dari alas
kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
 
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar  daun  untuk
menutup  auratnya  (karena  jika  demikian  pakaiannya  adalah
mini), melainkan sekian banyak  lembar  agar  melebar,  dengan
cara  menempelkan  selembar  daun di atas lembar lain, sebagai
tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga  tidak
transparan atau tembus pandang.
 
Hal  lain  yang  mengisyaratkan  bahwa berpakaian atau menutup
aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan  istilah  "Ya
Bani  Adam"  (Wahai  putra-putri  Adam)  dalam  ayat-ayat yang
berbicara tentang berpakaian.
 
Panggilan  semacam  ini  hanya  terulang  empat   kali   dalam
Al-Quran.  Kesan  dan makna yang disampaikannya berbeda dengan
panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang  hanya  khusus  kepada
orang-orang  mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya
ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi  Saw.  hingga
akhir  zaman.  Panggilan  ya  Bani  Adam  jelas tertuju kepada
seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
 
Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam  dalam  Al-Quran,  dan
semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
 
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang
   dianugerahkan Allah.
 
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan
   yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia
   (Adam dan Hawa).
 
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada
   saat memasuki masjid.
 
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah
   yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk
   tuntunan berpakaian).
 
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt.  telah  mengilhami
manusia   sehingga   timbul   dalam   dirinya  dorongan  untuk
berpakaian, bahkan  kebutuhan  untuk  berpakaian,  sebagaimana
diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan
Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan,  tentu  ia
akan  bersusah  payah  di dunia untuk mencari sandang, pangan,
dan papan. Dorongan tersebut  diciptakan  Allah  dalam  naluri
manusia  yang  memiliki  kesadaran  kemanusiaan.  Itu sebabnya
terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi  apa  yang
dinilainya sebagai aurat.
 
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan
isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak
membutuhkan  upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
oleh  bentuk  pasif  yang  dipilih  Al-Quran  untuk   menyebut
tertutupnya  aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf
yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup  dan  mereka
yaitu aurat mereka."
 
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan
apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan  dapat
menutupinya).
 
FUNGSI PAKAIAN
 
Dari  sekian  banyak  ayat  Al-Quran  yang  berbicara  tentang
pakaian,   dapat  ditemukan  paling  tidak  ada  empat  fungsi
pakaian.
 
Al-Quran  surat  Al-A'raf  (7):  26  menjelaskan  dua   fungsi
pakaian:
 
     Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
     menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
     juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan
     pakaian takwa itulah yang paling baik.
 
Ayat  ini  setidaknya  menjelaskan  dua  fungsi pakaian, yaitu
penutup aurat dan perhiasan.
 
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas  berbicara
tentang  fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti
pakaian dapat  menghindarkan  seseorang  terjerumus  ke  dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
 
Syaikh  Muhammad  Thahir  bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran
ulama yang berpendapat demikian. Ia  menulis  dalam  tafsirnya
tentang ayat tersebut:
 
     Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,
     Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa
     sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini
     berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
     diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
     abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini
     adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
     adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
     peperangan untuk memelihara dan menghindarkan
     pemakainya dari luka dan bencana lain.
 
Ada  juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut
tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu,  salah
satu  makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang
dapat  menghindarkan  seseorang  dari  bencana   duniawi   dan
ukhrawi.
 
Betapapun,  ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga
pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan  dari
sengatan panas dan dingin,
 
     Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
     memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta
     pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
     peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
 
Fungsi  pakaian  selanjutnya  disyaratkan  oleh Al-Quran surat
Al-Ahzab (33): 59 yang menugaskan Nabi Saw. agar  menyampaikan
kepada    istri-istrinya,    anak-anak   perempuannya,   serta
wanita-wanita Mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka:
 
     Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
     perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah
     mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh
     mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
     untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh
     lidah/tangan usil).
 
Terlihat fungsi pakaian  sebagai  penunjuk  identitas  pembeda
antara seseorang dengan yang lain.
 
1. Penutup Sau-at (Aurat)
 
Sau-at  terambil  dari  kata  sa-a -yasu-u yang berarti buruk,
tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang
terambil  dari  kata  'ar  yang  berarti  onar,  aib, tercela.
Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam  arti  sesuatu  yang
pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain
yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian  tubuh
yang  buruk  karena  semuanya  baik  dan bermanfaat --termasuk
aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka  "keterlihatan"  itulah
yang buruk.
 
Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang
dapat menilai. Agama pun memberi  petunjuk  tentang  apa  yang
dianggapnya   'aurat  atau  sau-at.  Dalam  fungsinya  sebagai
penutup, tentunya pakaian dapat menutupi  segala  yang  enggan
diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi
dalam konteks pembicaraan tuntunan  atau  hukum  agama,  aurat
dipahami  sebagai  anggota  badan  tertentu  yang  tidak boleh
dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.
 
Bahkan bukan hanya kepada orang  tertentu  selain  pemiliknya,
Islam  tidak  "senang"  bila  aurat  --khususnya  aurat  besar
(kemaluan)-- dilihat oleh siapa  pun.  Bukankah  seperti  yang
dikemukakan  terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah "tertutup
atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?"
 
Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:
 
     Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu
     bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu
     kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika
     seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka
     malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR
     At-Tirmidzi).
 
     Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan
     pasangaunnya, jangan sekali-kali keduannya telanjang
     bagaikan telanjangnya binatang (HR Ibnu Majah).
 
Yang dikemukakan di  atas  adalah  tuntunan  moral.  Sedangkan
tuntunan  hukumnya  tentunya  lebih  longgar. Dari segi hukum,
tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian  atau  bersama
istrinya--  untuk  tidak  berpakaian.  Tetapi, ia berkewajiban
menutup auratnya, baik aurat  besar  (kemaluan)  maupun  aurat
kecil, selama diduga akan ada seseorang --selain pasangannya--
yang mungkin melihat. Ulama  bersepakat  menyangkut  kewajiban
berpakaian  sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda
pendapat tentang batas  aurat  itu.  Bagian  mana  dari  tubuh
manusia yang harus selalu ditutup.
 
Imam  Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki
wajib menutup seluruh badannya  dari  pusar  hingga  lututnya,
meskipun  ada  juga  yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup
dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan
lutut yaitu alat kelamin dan pantat.
 
Wanita,  menurut  sebagian  besar  ulama  berkewajiban menutup
seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak  tangannya,
sedangkan   Abu   Hanifah   sedikit   lebih   longgar,  karena
menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki  wanita
juga  boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam
Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan  harus
ditutup.
 
Salah  satu  sebab  perbedaan  ini adalah perbedaan penafsiran
mereka tentang maksud firman Allah dalam  surat  Al-Nur  (24):
31:
 
     Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
     yang tampak darinya.
 
2. Perhiasan
 
Di  bagian  terdahulu  telah  dikemukakan  ayat  Al-Quran yang
memerintahkan   umat   Islam   agar    memakai    perhiasannya
--lebih-lebih  ketika  berkunjung  ke masjid (QS Al-A'raf [7]:
31).
 
Perhiasan  adalah  sesuatu  yang  dipakai  untuk   memperelok.
Tentunya  pemakainya  sendiri  harus  lebih  dahulu menganggap
bahwa perhiasan  tersebut  indah,  kendati  orang  lain  tidak
menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.
 
Al-Quran   tidak  menjelaskan  --apalagi  merinci--  apa  yang
disebut perhiasan, atau sesuatu yang  "elok".  Sebagian  pakar
menjelaskan  bahwa  sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan
kebebasan dan keserasian.
 
Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping,  karena  kegemukan
membatasi  kebebasan  bergerak.  Sentuhan  yang  indah  adalah
sentuhan yang memberi kebebasan memegang  sehingga  tidak  ada
duri  atau  kekasaran  yang mengganggu tangan. Suara yang elok
adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa  paksaan  atau
dihadang  oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide
yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul,
dan  semacamnya.  Sedangkan  pakaian  yang  elok  adalah  yang
memberi kebebasan kepada pemakainya untuk  bergerak.  Demikian
kurang   lebih  yang  ditulis  Abbas  A1-Aqqad  dalam  bukunya
Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.
 
Harus diingat pula bahwa  kebebasan  mesti  disertai  tanggung
jawab,  karenanya  keindahan harus menghasilkan kebebasan yang
bertanggung jawab.
 
Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut,
sekalipun  sepakat  bahwa  keindahan  adalah  dambaan manusia.
Namun harus disepakati pula bahwa  keindahan  sangat  relatif;
tergantung  dari  sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat
ini  merupakan  salah  satu  sebab  mengapa   Al-Quran   tidak
menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.
 
Wahyu  kedua  (atau  ketiga)  yang  dinilai oleh ulama sebagai
ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad
Saw.  sebagai  Rasul  antara lain menuntun beliau agar menjaga
dan  terus-menerus  meningkatkan  kebersihan  pakaiannya   (QS
Al-Muddatstsir [74]: 4).
 
Memang  salah  satu  unsur mutlak keindahan adalah kebersihan.
Itulah sebabnya  mengapa  Nabi  Saw.  senang  memakai  pakaian
putih,  bukan  saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim
Jazirah Arabia yang panas, melainkan juga karena  warna  putih
segera  menampakkan  kotoran,  sehingga pemakainya akan segera
terdorong untuk mengenakan pakaian lain (yang bersih).
 
Al-Quran setelah memerintahkan  agar  memakai  pakaian-pakaian
indah  ketika  berkunjung  ke  masjid,  mengecam  mereka  yang
mengharamkan  perhiasan  yang  telah  diciptakan  Allah  untuk
manusia.
 
     Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
     telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS
     Al-A'raf [7]: 32)
 
Berhias  adalah  naluri  manusia.  Seorang sahabat Nabi pernah
bertanya kepada Nabi Saw.,
 
     "Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas
     kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?)" Nabi
     menjawab, "Sesungguhnya Allah indah, senang kepada
     keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan
     menghina orang lain."
 
Terdapat sekian banyak  riwayat  yang  menginformasikan  bahwa
Rasullah Saw. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan
diperindah. Istri Nabi, Aisyah, meriwayatkan bahwa:
 
     Seorang wanita menyodorkan --dengan tangannya-- sepucuk
     surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti
     sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda, "Saya tidak
     tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki
     atau perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan,"
     Nabi kemudian berkata kepada wanita itu, "Seandainya
     Anda wanita, niscaya Anda memelihara kuku Anda
     (mewarnainya dengan pacar)."
 
Demikian Nabi Saw. menganjurkan agar wanita berhias.  Al-Quran
memang  tidak  merinci  jenis-jenis  perhiasan,  apalagi bahan
pakaian yang baik digunakan. Meskipun  ada  sekian  ayat  yang
berbicara tentang penghuni surga dan pakaian mereka. misalnya:
 
     Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
     sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari
     emas dan mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah
     sutera (QS Fathir [35]: 33).
 
     ...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan
     mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan
     sutera tebal, dalam keadaan mereka duduk sambil
     bersandar di atas dipan-dipan yang indah... (QS Al-Kahf
     [18]: 31).
 
Perlu  dicatat,  bahwa  yang  disebutkan  di  atas tidak dapat
dianalogikan dengan nama bahan yang sama di dunia ini.  Ketika
penghuni surga diberi rezeki berupa buah-buahan, orang menduga
bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah mereka  peroleh
di  dunia.  Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah
(2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang serupa  (tetapi
tak  sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan
yang telah disebutkan.
 
Berbicara tentang perhiasan, salah satu  yang  diperselisihkan
para  ulama  adalah  emas  dan  sutera  sebagai  pakaian  atau
perhiasan lelaki.
 
Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung, tetapi  sekian
banyak hadis Nabi Saw. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai
oleh kaum lelaki.
 
     Ali bin Abi Thalib berkata, "Saya melihat Rasullullah
     Saw, mengambil sutera lalu beliau meletakkan di sebelah
     kanannya, dan emas diletakkannya di sebelah kirinya,
     kemunduran beliau bersabda, 'Kedua hal ini haram bagi
     lelaki umatku" (HR Abu Dawud dan Nasa'i).
 
Pendapat ulama berbeda-beda tentang sebab-sebab  diharamkannya
kedua  hal  tersebut  bagi  kaum  lelaki.  Antara  lain  bahwa
keduanya  menjadi  simbol   kemewahan   dan   perhiasan   yang
berlebihan,  sehingga  menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi
kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau
karena menyerupai pakaian kaum musyrik.
 
Muhammad  bin  'Asyur,  seorang  ulama besar kontemporer serta
Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia  Islam,
menulis  dalam  bukunya  Maqashid  Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah,
bahwa ucapan dan sikap  Rasulullah  Saw.  tidak  selalu  harus
dipahami  sebagai  ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan
ucapan  dan  sikap  beliau,  walaupun  diakuinya  bahwa   yang
terpenting  dan  terbanyak  adalah  dalam  bidang syariat atau
hukum.
 
Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa
al-irsyad   (tuntunan   dan   petunjuk).  Ini  berbeda  dengan
ketetapan hukum, karena --tulisnya:
 
     Boleh jadi Nabi Saw. memerintah atau melarang, tetapi
     tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan
     tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik
     (hlm. 32).
 
Dalam rinciannya,  ulama  besar  itu  menulis  bahwa  sebagian
tuntunan tersebut berupa nasihat-nasihat. Dalam bidang pakaian
dikemukakannya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari  yang
disampaikan oleh sahabat Nabi Al-Bara' bin 'Azib:
 
     Rasulullah Saw. memerintahkan kami tujuh hal dan
     melarang tujuh hal; memerintahkan kami mengunjungi
     orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan yang bersin
     (mengucapkan "yarhamukallah" bila orang yang bersin
     mengucapkan alhamdulillah), mengabulkan permintaan
     (yang meminta dengan menyebut nama Allah), membantu
     yang teraniaya, menyebarluaskan salam, serta menghadiri
     undangan. Beliau melarang kami memakai cincin emas,
     perabot perak, pelana dari kapas, aqsiyah (bentuk jamak
     dari "qisiy", yaitu sejenis pakaian yang dibuat di
     Mesir berbahan sutera), istabraq (sutera tebal), dan
     dibaj (sutera halus).
 
Di  sini,  tulis  Muhammad  bin 'Asyur, terdapat perintah yang
jelas-jelas wajib,  seperti  membantu  yang  teraniaya  (kalau
mampu). Ada juga larangan yang jelas haram, seperti minum dari
gelas  perak.  Ada  juga  yang  jelas  tidak  wajib,   seperti
mendoakan   orang  yang  bersin,  dan  mengabulkan  permintaan
(walau) dengan cara yang disebut di atas,  dan  terdapat  juga
yang  jelas  tidak  haram seperti mengenakan pelana dari kapas
atau jenis pakaian buatan Mesir. Larangan-larangan semacam itu
tidak  lain  kecuali  bertujuan  menghindarkan sahabat-sahabat
beliau  (dan   tentu   termasuk   umatnya)   dari   penampilan
berlebih-lebihan, berfoya-foya, dan berhias dengan warna-warna
menyolok seperti warna merah.  Pemahaman  ini  diperkuat  oleh
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib
yang menyatakan bahwa,
 
     Rasul Saw. melarang memakai aqsiyah, bercincin emas,
     membaca ayat Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud
     dalam shalat. (Ali berkata), "Aku tidak berkata bahwa
     kamu sekalian dilarang."
 
Maksudnya bahwa sebagian larangan itu tidak  ditujukan  kepada
seluruh  umat,  tetapi  hanya  kepada  Ali  bin  Abi  Thalib.
Demikian  Muhammad   Thahir   bin   'Asyur,   dalam   Magashid
Asy-Syariah Al-Islamiyyah' hlm. 36.
 
Sebelum  mengakhiri  uraian  tentang  fungsi  pakaian  sebagai
perhiasan, perlu digarisbawahi bahwa  salah  satu  yang  harus
dihindari  dalam  berhias  adalah  timbulnya rangsangan berahi
dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan atau sikap
tidak sopan dari siapa pun.
 
Hal-hal  tersebut  dapat muncul dari cara berpakaian, berhias,
berjalan, berucap, dan sebagainya.
 
Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam,  karena  ia  adalah
naluri  manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah,
satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS  Al-Ahzab  [33]:  33)
mencakup  segala  macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan
berahi kepada  selain  suami  istri.  Termasuk  dalam  cakupan
maksud  kata  tabarruj menggunakan wangi-wangian (yang menusuk
hidung). Rasul Saw. bersabda:
 
     Wanita yang memakai parfum (yang merangsang) dan lewat
     di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia
     "begini" (yakni berzina) (HR At-Tirmidzi).
 
Al-Quran mempersilakan perempuan berjalan di  hadapan  lelaki,
tetapi  diingatkannya  agar  cara  berjalannya  jangan  sampai
mengundang perhatian. Dalam bahasa Al-Quran disebutkan:
 
     ...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
     diketahui perhiasan yang mereka "sembunyikan" (QS
     Al-Nur [24]: 31).
 
Al-Quran  tidak  melarang  seseorang  berbicara  atau  bertemu
dengan  lawan  jenisnya,  tetapi  jangan  sampai sikap dan isi
pembicaraan  mengundang  rangsangan  dan  godaan,...  demikian
maksud firman Allah dalam sural Al-Ahzab (33): 32:
 
     ...maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
     berkeinginan orang yang ada penyakit dalam jiwanya...
     (QS Al-Ahzab [33]: 32).
 
Demikian, sebagian tuntunan Al-Quran tentang perhiasan.
 
PERLINDUNGAN (TAKWA)
 
Di  atas  telah  dikemukakan  bahwa  salah satu fungsi pakaian
adalah "perlindungan". Bahwa pakaian  tebal  dapat  melindungi
seseorang  dari  sengatan  dingin, dan pakaian yang tipis dari
sengatan panas,  bukanlah  hal  yang  perlu  dibuktikan.  Yang
demikian ini adalah perlindungan secara fisik.
 
Di   sisi  lain,  pakaian  memberi  pengaruh  psikologis  bagi
pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian
militernya,  setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal
Ataturk di Turki, melarang pemakaian  tarbusy  (sejenis  tutup
kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan
topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi  sikap
bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan.
 
Dalam  kehidupan  sehari-hari  kita  dapat  merasakan pengaruh
psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan
pakaian   buruk,   atau  tidak  sesuai  dengan  situasi,  maka
pemakainya  akan  merasa   rikuh,   atau   bahkan   kehilangan
kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian.
 
Kaum  sufi,  sengaja  memakai  shuf (kain wol) yang kasar agar
dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.
 
Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak  menciptakan  santri,
tetapi   dia  dapat  mendorong  pemakainya  untuk  berperilaku
seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung  dari
cara  dan  model  pakaiannya.  Pakaian  terhormat,  mengundang
seseorang  untuk  berperilaku  serta  mendatangi  tempattempat
terhormat,  sekaligus  mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak
senonoh.  Ini  salah  satu  yang  dimaksud   Al-Quran   dengan
memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab.
 
     Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal
     (sebagai Muslimah/wanita terhormat) sehingga mereka
     tidak diganggu.
 
Fungsi  perlindungan  bagi  pakaian  dapat juga diangkat untuk
pakaian ruhani, libas at-tagwa. Setiap  orang  dituntut  untuk
merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah
tobat, sabar, syukur, qana'ah, ridha, dan sebagainya.
 
     Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa.
 
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw.
 
Al-Quran  mengingatkan  kepada  mereka  yang  telah   berhasil
merajut pakaian takwa:
 
     Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan (gila
     dalam cerita lama) mengurai kembali tenunannya sehelai
     benang demi sehelai, setelah ditenunnya dengan kuat (QS
     Al-Nahl [l6]: 92).
 
PENUNJUK IDENTITAS
 
Yang  demikian  itu  lebih mudah bagi mereka untuk dikenal (QS
Al-Ahzab [33]: 59)
 
Demikian terjemahan ayat yang menggambarkan fungsi pakaian.
 
Identitas/kepribadian  sesuatu   adalah   yang   menggambarkan
eksistensinya   sekaligus   membedakannya   dari   yang  lain.
Eksistensi  atau  keberadaan  seseorang  ada   yang   bersifat
material  dan  ada  juga yang imaterial (ruhani). Hal-hal yang
bersifat material antara lain  tergambar  dalam  pakaian  yang
dikenakannya.
 
Anda  dapat  mengetahui sekaligus membedakan murid SD dan SMP,
atau  Angkatan  Laut  dan  Angkatan  Darat,  atau  Kopral  dan
Jenderal  dengan  melihat  apa  yang  dipakainya.  Tidak dapat
disangkal lagi bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan
identitas  serta  membedakan  seseorang  dari  lainnya. Bahkan
tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang.
 
Rasul Saw. amat  menekankan  pentingnya  penampilan  identitas
Muslim, antara lain melalui pakaian. Karena itu:
 
     Rasulullah Saw. melarang lelaki yang memakai pakaian
     perempuan dan perempuan yang memakai pakaian lelaki (HR
     Abu Daud).
 
Kepribadian  umat  juga  harus  ada. Ketika Rasul membicarakan
bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan/mengundang
kaum Muslim melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya
yang mengusulkan menancapkan tanda, sehingga  yang  melihatnya
segera  datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan
untuk menggunakan terompet, dan  komentar  beliau:  "Itu  cara
Yahudi."  Ada  juga yang mengusulkan membunyikan lonceng. "Itu
cara Nasrani," sabda beliau. Akhirnya  yang  disetujui  beliau
adalah  adzan  yang  kita kenal sekarang, setelah Abdullah bin
Zaid Al-Anshari  dan  juga  Umar  ra.  Bermimpi  tentang  cara
tersebut.  Demikian  diriwayatkan  oleh Abu Daud. Yang penting
untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul  menekankan  pentingnya
menampilkan  kepribadian  tersendiri, yang berbeda dengan yang
lain. Dari sini dapat dimengerti mengapa Rasul Saw. bersabda:
 
     Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk kelompok
     kaum itu.
 
Kepribadian  imaterial   (ruhani)   bahkan   ditekankan   oleh
Al-Quran, antara lain melalui surat Al-Hadid (57): 16:
 
     Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
     untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
     kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka
     seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan
     Al-Kitab (orang Yabudi dan Nasrani). Berlalulah masa
     yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi
     keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
     fasik.
 
Seorang   Muslim  diharapkan  mengenakan  pakaian  ruhani  dan
jasmani yang menggambarkan identitasnya.
 
Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang  menentukan  mode
pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dan periode, bisa
saja menentukan  mode  yang  sesuai  dengan  seleranya.  Namun
demikian  agaknya  tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam
berpakaian tercermin pula identitas itu.
 
Tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah  gambaran
identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Quran.
Tetapi apa hukumnya? Baiklah  kita  membahasnya  dalam  bagian
berikut ini.
 
SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB
 
Wanita-wanita  Muslim,  pada  awal  Islam  di Madinah, memakai
pakaian  yang  sama  dalam  garis   besar   bentuknya   dengan
pakaian-pakaian  yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya.
Ini termasuk wanita-wanita  tuna  susila  atau  hamba  sahaya.
Mereka  secara  umum  memakai  baju dan kerudung bahkan jilbab
tetapi leher dan dada  mereka  mudah  terlihat.  Tidak  jarang
mereka   memakai   kerudung  tetapi  ujungnya  dikebelakangkan
sehingga telinga, leher  dan  sebagian  dada  mereka  terbuka.
Keadaan  semacam  itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk
menggoda  dan   mengganggu   wanita-wanita   termasuk   wanita
Mukminah.  Dan  ketika  mereka  ditegur menyangkut gangguannya
terhadap Mukminah, mereka berkata:  "Kami  kira  mereka  hamba
sahaya."  Ini  tentu  disebabkan  karena  ketika itu identitas
mereka sebagai wanita Muslimah tidak  terlihat  dengan  jelas.
Nah,  dalam  situasi  yang  demikian  turunlah  petunjuk Allah
kepada Nabi yang menyatakan:
 
     Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
     perempuan dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan
     atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian
     itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal
     (sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang
     baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha
     Pengampun lagi Maha Penyayang (QS A1-Ahzab [33]: 59).
 
Jilbab adalah  baju  kurung  yang  longgar  dilengkapi  dengan
kerudung penutup kepala.
 
Ayat  ini  secara  jelas  menuntun/menuntut kaum Muslimah agar
memakai pakaian  yang  membedakan  mereka  dengan  yang  bukan
Muslimah  yang memakai pakaian tidak terhormat lagi mengundang
gangguan tangan atau lidah yang usil. Ayat  ini  memerintahkan
agar  jilbab  yang  mereka  pakai hendaknya diulurkan ke badan
mereka.
 
Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak semula
telah   memakai   jilbab,   tetapi   cara  pemakaiannya  belum
menghalangi  gangguan  serta   belum   menampakkan   identitas
Muslimah.
 
Nah, di sinilah Al-Quran memberi tuntunan itu.
 
Penjelasan  serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur
(24): 31,
 
     Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah
     mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya
     dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
     yang tampak darinya. Hendaklah mereka
     mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan
     janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
     suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka,
     atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
     atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara
     lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
     mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
     mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak
     mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak
     yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah
     mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
     mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada
     Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung.
 
Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas.
Tetapi  yang  paling  banyak  menyita  perhatian  ulama tafsir
adalah larangan menampakkan zinah (hiasan)  yang  dikecualikan
oleh  ayat  di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara
minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].
 
Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah  berarti  hiasan  (bukan
zina  yang  artinya  hubungan  seks yang tidak sah); sedangkan
hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk  memperelok,
baik   pakaian  penutup  badan,  emas  dan  semacamnya  maupun
bahan-bahan make up.
 
Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah  yang
mereka  bahas  secara  panjang lebar sekaligus merupakan salah
satu kunci pemahaman ayat tersebut.
 
Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil
(satu  istilah  --  dalam  ilmu bahasa Arab yang berarti "yang
dikecualikan merupakan  bagian/jenis  dari  apa  yang  disebut
sebelumnya"),  dan  dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau
hiasan.
 
Ini  berarti  ayat  tersebut  berpesan:  "Hendaknya  janganlah
wanita-wanita   menampakkan   hiasan  (anggota  tubuh)  mereka
kecuali apa yang tampak."
 
Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang  tampak  tentu
sudah  kelihatan.  Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu,
lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya  pemahamam
redaksi tersebut.
 
Pertama,  memahami  illa  dalam arti tetapi atau dalam istilah
ilmu  bahasa  Arab  istisna'   munqathi'   dalam   arti   yang
dikecualikan  bukan  bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini
bermakna: "Janganlah mereka  menampakkan  hiasan  mereka  sama
sekali;  tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja
seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan.
 
Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat  itu.  Kalimat
dimaksud  menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih
kurang: "Janganlah mereka (wanita-wanita)  menampakkan  hiasan
(badan  mereka).  Mereka  berdosa  jika  demikian. Tetapi jika
tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa."
 
Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas--
tidak  menentukan  batas  bagi  hiasan yang boleh ditampakkan,
sehingga berarti seluruh  anggota  badan  tidak  boleh  tampak
kecuali dalam keadaan terpaksa.
 
Tentu  saja  pemahaman  ini, mereka kuatkan pula dengan sekian
banyak hadis, seperti sabda  Nabi  Saw.  kepada  Ali  bin  Abi
Thalib yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui
Buraidah:
 
Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama  dengan  pandangan
kedua.  Yang  pertama  Anda  ditolerir,  dan  yang  kedua anda
berdosa.
 
Riwayat berikut juga dijadikan alasan,
 
     Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada'
     menunggang unta bersama Nabi Saw., dan ketika itu ada
     seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh
     Al-Fadhl. Maka Nabi Saw. memegang dagu Al-Fadhl dan
     mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita
     tersebut secara terus-menerus.
 
Demikian  diriwayatkan  oleh  Bukhari  dari  saudara  Al-Fadhl
sendiri, yaitu Ibnu Abbas.
 
Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat A1-Quran,
 
     Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka
     mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).
 
Ayat  ini  walaupun  berkaitan  dengan permintaan sesuatu dari
istri Nabi, namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat
di atas, sebagai dalil pendapat mereka.
 
Ketõga,  memahami  "kecuali  apa  yang tampak" dalam arti yang
yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya  sehingga  harus
tampak."  Kebutuhan  disini  dalam  arti menimbulkan kesulitan
bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas  ulama  memahami
penggalan  ayat  tersebut  dalam arti ketiga ini. Cukup banyak
hadis yang mendukung pendapat ini. Misalnya:
 
     Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya
     kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua
     tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudran
     memegang setengah tangan belõau) (HR Ath-Thabari).
 
     Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya
     kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan (HR
     Abu Daud).
 
Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya  mengemukakan  bahwa
ulama  besar  Said  bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat
bahwa yang boleh dilihat hanya  wajah  wanita,  kedua  telapak
tangan  dan  busana  yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu
Abbas, Qatadah, dan Miswar bin  Makhzamah,  berpendapat  bahwa
yang  boleh  termasuk  juga  celak mata, gelang, setengah dari
tangan  yang  dalam  kebiasaan  wanita  Arab  dihiasi/diwarnai
dengan  pacar  (yaitu  semacam zat klorofil yang terdapat pada
tumbuhan  yang  hijau),  anting,   cincin,   dan   semacamnya.
Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban
menutup setengah tangan.
 
Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar  Universitas  Al-Azhar
Mesir,  mengemukakan  dalam  tafsirnya-yang menjadi buku wajib
pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu  Hanifah  berpendapat
kedua  kaki,  juga  bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan
bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya
bagi  wanita-wanita  miskin  di  pedesaan  yang  (ketika  itu)
seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan
mereka.  Pakar  hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua
tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan
untuk menutupnya menyulitkan wanita.
 
Dalam  ajaran  Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor yang
menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa
Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan
pun (QS Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa  Allah  menghendaki  buat
kamu kemudahan bukan kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).
 
Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi
berpendapat:
 
     Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita
     diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha
     menutup segala sesuatu yang berupa hiasan.
     Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan
     gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk
     perbaikan sesuatu dan semacamnya.
 
Kalau  rumusan  Ibnu  Athiyah  diterima,  maka  tentunya  yang
dikecualikan  itu  dapat  berkembang  sesuai  dengan kebutuhan
mendesak yang dialami seseorang.
 
Al-Qurthubi berkomentar:
 
     Pendapat (Ibnu Athiyah) ini baik. Hanya saja karena
     wajah dan kedua telapak tangan seringkali (biasa)
     tampak --baik sehari-hari maupun dalam ibadah seperti
     ketika shalat dan haji-- maka sebaiknya redaksi
     pengecualian "kecuali yang tampak darinya" dipahami
     sebagai kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang
     biasa tampak itu.
 
Demikian terlihat pakar hukum ini  mengembalikan  pengecualian
tersebut  kepada  kebiasaan  yang  berlaku.  Dari  sini, dalam
Al-Quran  dari  Terjemah-nya  susunan  Tim  Departemen  Agama,
pengecualian  itu  diterjemahkan  sebagai kecuali yang (biasa)
tampak darinya.
 
Nah, Anda boleh bertanya,  apakah  "kebiasaan"  yang  dimaksud
berkaitan dengan kebiasaan wanita pada masa turunnya ayat ini,
atau kebiasaan wanita di setiap masyarakat Muslim  dalam  masa
yang  berbeda-beda?  Ulama  tafsir memahami kebiasaan dimaksud
adalah kebiasaan pada masa  turunnya  Al-Quran,  seperti  yang
dikemukakan Al-Qurthubi di atas.
 
Sebelum  menengok  kepada pendapat beberapa ulama kontemporer,
ada baiknya kita melanjutkan sedikit lagi uraian ayat di atas,
menyangkut kerudung.
 
     Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas
     juyubi-hinna (dada mereka).
 
Juyub  adalah  jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian
atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.
 
Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan  kerudung
(penutup  kepala).  Apakah  ini  berarti bahwa kepala (rambut)
juga harus ditutup? Jawabannya, "ya". Demikian  pendapat  yang
logis,    apalagi   jika   disadari   bahwa   "rambut   adalah
hiasan/mahkota wanita". bahwa ayat ini tidak  menyebut  secara
tegas  perlunya  rambut  ditutup,  hal ini agaknya tidak perlu
disebut. Bukankah mereka telah memakai kudung  yang  tujuannya
adalah menutup rambut?
 
PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB
 
Di  atas  --semoga  telah  tergambar--  tafsir serta pandangan
ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan  jilbab
dan  batas  aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat
tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun  amanah
ilmiah  mengundang  penulis  untuk  mengemukakan pendapat yang
berbeda  --dan  yang  boleh   jadi   dapat   dijadikan   bahan
pertimbangan  dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh
mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
 
Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang
diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam
Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:
 
     Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh
     --dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan
     terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat
     dipaksakan pula terhadap kaum itu.
 
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa  contoh  dari  Al-Quran
dan  Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah
surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar
mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:
 
     Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan
     kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
     wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan
     jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu
     supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak
     diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat
     orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang
     tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian
     (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
 
     Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:
 
     Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan
     perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan
     perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar
     mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik)
     sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII,
     hlm. lO).
 
Tetapi   bagaimana  dengan  ayat-ayat  ini,  yang  menggunakan
redaksi perintah?
 
Jawabannya --yang sering  terdengar  dalam  diskusi--  adalah:
Bukankah  tidak  semua  perintah yang tercantum dalam Al-Quran
merupakan  perintah  wajib?  Pernyataan  itu,  memang   benar.
Perintah  menulis  hutang-piutang  (QS  Al-Baqarah  [2]:  282)
adalah salah satu contohnya.
 
Tetapi bagaimana  dengan  hadis-hadis  yang  demikian  banyak?
Jawabannya  pun  sama.  Bukankah seperti yang dikemukakan oleh
Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis  Nabi  yang  merupakan
perintah,   tetapi   perintah  dalam  arti  "sebaiknya"  bukan
seharusnya. (Lihat  kembali  uraian  tentang  memakai  pakaian
sutera, cincin, emas pada buku ini).
 
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya
kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi  teks
ayat  itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama
kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai
kerudung,   atau  yang  menampakkan  tangannya,  bahwa  mereka
"secara  pasti  telah  melanggar  petunjuk  agama".   Bukankah
Al-Quran  tidak  menyebut  batas  aurat? Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda pendapat.
 
Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena  pakaian
lahir  dapat  menyiksa  pemakainya  sendiri  apabila  ia tidak
sesuai dengan bentuk badan si pemakai.  Demikian  pun  pakaian
batin.  Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai
hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron  terbaik
buat manusia.
 
***
 
Sebagai  akhir  dari  uraian  tentang wawasan Islam menyangkut
pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.
 
Pertama: Al-Quran dan  Sunnah  secara  pasti  melarang  segala
aktivitas  --pasif  atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila
diduga  dapat  menimbulkan  rangsangan  berahi  kepada   1awan
jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.
 
Kedua,  Tuntunan  Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana
terlihat dalam surat Al-Ahzab dan  Al-Nur--  yang  dikutip  di
atas,  ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan
pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada
surat Al-Ahzab (33): 59.
 
Ajakan  bertobat  agaknya  merupakan isyarat bahwa pelanggaran
kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada
lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap
orang  dituntut  untuk  berusaha  sebaik-baiknya  dan   sesuai
kemampuannya.  Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan
ampun  dari  Allah,  karena  Dia  Maha  Pengampun  lagi   Maha
Penyayang.
 
Pernyataan  bahwa  Allah  Maha  Pengampun  lagi Maha Penyayang
--semoga-- mengandung arti bahwa  Allah  mengampuni  kesalahan
mereka  yang  lalu  dalam  hal  berpakaian.  Karena  Dia  Maha
Penyayang dan mengampuni pula  mereka  yang  tidak  sepenuhnya
melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka
sadar akan kesalahan dan kekurangannya  serta  berusaha  untuk
menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar