Kamis, 11 September 2014

WAWASAN AL QUR'AN

Prof. Dr. Quraish Shihab

Disusun dalam format e-Book seperti ini oleh M. Arifin, S.Kom, M.A

KEBUTUHAN POKOK MANUSIA DAN SOAL MUAMALAH
 
HALAL BIHALAL
 
Al-Quran adalah kitab rujukan untuk  memperoleh  petunjuk  dan
bimbingan  agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk
memperoleh  pesan-pesan  kitab  suci  itu.  Pertama,   melalui
penjelasan  Nabi  Saw.,  para  sahabat beliau, dan murid-murid
mereka. Hal ini dinamai  tafsir  bir-riwayah.  Kedua,  melalui
analisis  kebahasaan  dengan  menggunakan  nalar yang didukung
oleh  kaidah-kaidah   ilmu   tafsir.   Ini,   dinamai   tafsir
bid-dinyah.   Ketiga,   melalui   kesan  yang  diperoleh  dari
penggunaan kosa  kata  ayat  atau  bilangannya,  yang  dinamai
tafsir bir-riwayah.
 
Kajian  ini  akan  mencoba  mencari  substansi  halal  bihalal
melalui Al-Quran dengan menitikberatkan  pandangan  pada  cara
yang ketiga.
 
Untuk  maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada
beberapa istilah yang lumrah  digunakan  dalam  konteks  halal
bihalal,  yaitu  Idul  Fitri,  halal bihalal, dan Minal 'Aidin
wal-Faizin.
 
IDUL FITRI
 
Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti  kembali,  yakni
kembali  ke  tempat  atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa
sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu  keadaan
atau  tempat,  kemudian  meninggalkan tempat atau keadaan itu,
lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
 
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?
 
Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara  lain  berarti
asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
 
Dalam  pandangan  Al-Quran,  asal  kejadian manusia bebas dari
dosa dan  suci,  sehingga  'idul  fithr  antara  lain  berarti
kembalinya    manusia    kepada    keadaan    sucinya,    atau
keterbebasannya dari segala dosa  dan  noda,  sehingga  dengan
demikian ia berada dalam kesucian.
 
Dosa  memang  mengakibatkan  manusia  menjauh  dari  posisinya
semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun  sesama
manusia.  Demikianlah  salah  satu  kesan  yang diperoleh dari
sekian banyak ayat Al-Quran.
 
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan
yaitu,  Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35).
Namun,  begitu  keduanya  melanggar  perintah  Allah   (karena
berdosa  dengan  memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan,
maka  Tuhan  mereka  menyeru  keduanya,  "Bukankah  Aku  telah
melarang  kamu  berdua  mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7]22).
 
Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di  atas  antara lain:
 
Pertama,  bahwa  sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama
Adam dan Hawa  berada  pada  suatu  posisi  berdekatan,  yakni
masing-masing  tidak  jauh  dari  pohon terlarang. Karena itu,
isyarat kata yang dipergunakan  untuk  menunjuk  pohon  adalah
isyarat  dekat,  yakni  "ini".  Tetapi,  ketika  Adam dan Hawa
melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah
pun  demikian,  sehingga  Allah  harus "menyeru mereka" (yakni
berbicara  dari  tempat  yang  jauh),  dan   ini   pula   yang
menyebabkan  Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat
jauh, yakni  "itu"  (perhatikan  kembali  bunyi  ayat-ayat  di atas).
 
Di  sini  terlihat  bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing
menjauh,  tetapi  jika  mereka  kembali,  masing-masing   akan
mendekat  sehingga  pada  akhirnya  akan  berada  pada  posisi
semula. Memang, tegas Al-Quran,
 
     Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari
     kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku,
     sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan
     jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]:
     186).
 
Kesadaran manusia  terhadap  kesalahannya  mengantarkan  Allah
mendekat  kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan
manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa  tobat  secara  harfiah
berarti  kembali.  Sehingga  dengan  demikian  Allah  pun akan
kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku
tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.
 
     Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia
     (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha
     Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:37).
 
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun,  namun  dapat
diperoleh  kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu
kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra'  [l7]:  8),  bahwa
Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
 
Hadis  Nabi  Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain,
 
     Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal,
     Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat
     kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila
     ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang
     menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
 
Kegembiraan Allah itu tercermin  dari  hadis  Rasulullah  Saw.
yang  diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah Saw. bersabda,
 
     Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada
     saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang
     mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir,
     kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak
     binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia
     berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia
     berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja
     binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun
     memegang tali kendalinya sambil berkata saking
     gembiranya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu."
 
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik
kesan  dari  penamaan  manusia  dengan kata al-Insan. Kata ini
--menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti
senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa
pada  dasarnya  manusia  selalu  merasa  senang  dan  memiliki
potensi  untuk  menjalin  hubungan  harmonis  antar sesamanya.
Dengan  melakukan  dosa  terhadap  sesama  manusia,   hubungan
tersebut  menjadi  terganggu  dan  tidak  harmonis lagi. Namun
manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat  ia
menyadari  kesalahannya,  dan  berusaha  mendekat kepada siapa
yang pernah ia lukai hatinya.
 
Dari  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  idul  fltri
mengandung  pesan  agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan
kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut  diperoleh
antara  lain  dengan  kesadaran  terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
 
HALAL BIHALAL
 
Kata halal dari segi  hukum  diartikan  sebagai  sesuatu  yang
bukan   haram;   sedangkan   haram  merupakan  perbuatan  yang
mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
 
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum  yaitu  wajib,  sunnah,
mubah,  makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok
halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk
ditinggalkan).  Nabi  Saw.  bersabda,  "Abghadu  al-halal  ila
Allah, ath-thalaq" (Halal yang  paling  dibenci  Allah  adalah
pemutusan hubungan suami-istri).
 
Jikalau  halal  bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu
tidak  akan  menyebahkan  lahirnya  hubungan  harmonis   antar
sesama,  bahkan  mungkin  dalam beberapa hal dapat menimbulkan
kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu,  sebaiknya  kata
halal  pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal
pengertian hukum.
 
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di
antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
 
     Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
     diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
     sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah
     telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu
     mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]: 59).
 
     Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
     disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan
     ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
     Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
     kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu
     adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi
     mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
 
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak,
terdapat  kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara
yang halal dan yang haram.  Jika  yang  mencampurbaurkan  saja
telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih
lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
 
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu
 
  a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
 
  b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
 
Perhatikan keempat ayat berikut
 
     Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang
     halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS
     Al-Baqarah [2]: 168)
 
     Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan
     makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang
     Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
 
     Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah
     dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil
     itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).
 
     Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka
     makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah
     diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
 
Kata  makan  dalam  Al-Quran   sering   diartikan   "melakukan
aktivitas  apa  pun."  Ini  agaknya  disebabkan  karena  makan
merupakan   sumber   utama   perolehan   kalori   yang   dapat
menghasilkan  aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat  di  atas  bermakna  perintah  melakukan  aktivitas,
sedangkan  aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus
thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat  jenis  halal
yang  diperkenalkan  oleh  hukum Islam, maka yang makruh tidak
termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
 
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib)
sebanyak  delapan  belas  kali,  yang  dapat  dirinci  sebagai berikut:
 
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang  yang  bertobat),
ash-shabirin  (orang-orang  sabar)  dan  shaffan wahida (orang
yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
 
Masing-masing dua kali terhadap  al-mutawakkilin  (orang  yang
berserah  diri  kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang
yang menyucikan diri).
 
Masing-masing  tiga  kali  terhadap  al-muttaqin  (orang  yang
bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima
kali terhadap al-muhsinin.
 
Kesan yang  ditimbulkan  oleh  angka-angka  itu  paling  tidak
mengisyaratkan  bahwa  sikap  yang paling disenangi oleh Allah
adalah al-muhsinin (orang-orang  yang  berbuat  baik  terhadap
mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali
dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal  yang
baik,  tidak  sekadar  perbuatan  halal  (boleh), tetapi tidak
menghasilkan kebaikan.
 
Dalam  Al-Quran  surat  Ali-'Imran   ayat   134   diisyaratkan
tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.
 
     Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat
     keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan
     orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan
     orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap
     mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat
     baik (terhadap orang yang bersalah).
 
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama  adalah  menahan  amarah,
tahap  kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat
baik terhadap orang yang bersalah.
 
MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN
 
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri  ada  Minal
'Aidin wal Faizin.
 
Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.
 
Kata  al-faizin  adalah  bentuk  jamak dari faiz, yang berarti
orang yang beruntung. Kata ini terambil dari  kata  fauz  yang
berarti keberuntungan.
 
Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan
berbagai bentuknya.  Masing-masing  delapan  belas  kali  pada
bentuk  kata  jadian  fauz/al-fauz  (keberuntungan), tiga kali
dalam bentuk mafaz  (tempat  keberuntungan),  dua  kali  dalam
bentuk  kata  kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk
al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk  kata  kerja  tunggal
yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang
terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena
tidak  ikut  berperang  bersama-sama  orang Islam, sehingga ia
tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.
 
     Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat
     berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu
     ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan
     telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak
     ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh,
     jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta
     rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum
     pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan
     dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya
     memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan
     harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).
 
Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi
orang  munafik,  keberuntungan adalah keuntungan material, dan
popularitas, dan keberuntungan itu  hanya  ingin  dinikmatinya
sendiri.    Keberuntungan    orang    lain   bukan   merupakan
keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab  dia
dikecam  oleh  ayat  di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran
yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan
kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan
kepada individu perorangan, melainkan kepada  bentuk  kolektif
(al-faizin atau al-faizun).
 
Yang  tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari
ayat-ayat  yang  berbicara  tentang  al-fauz  dalam   berbagai
bentuknya   itu   (kecuali  surat  Al-Nisa  [73]),  seluruhnya
bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, seba gai
ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:
 
     Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung
     Al-Hasyr [59]: 20).
 
     Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari
     neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia
     telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).
 
PENGAMPUNAN
 
Terdapat  beberapa  istilah  yang  digunakan  Al-Quran   untuk
menyebutkan  pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin
hubungan serasi antara manusia dengan  Tuhannya,  antara  lain
taba  (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara
(menutupi), dan shafah.
 
Masing-masing istilah  digunakan  untuk  tujuan  tertentu  dan
memberikan maksud yang berbeda.
a. Taubat (Tobat)
 
Terdahulu  telah  dikemukakan  bahwa  Al-Quran  mengisyaratkan
adanya dua pelaku tobat, yakni  Allah  dan  manusia.  Di  sini
dapat  ditambahkan  bahwa  ada  dua  macam  tobat (kembalinya)
Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya  tobat  manusia  secara
aktual.   Ketika  itu  ia  baru  dalam  bentuk  keinginan  dan
kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara
lain tercermin dari firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 186,
 
     Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
     maka sesungguhnya Aku dekat...
 
Kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan  memakai
huruf  Ya'  (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya
digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang  taat  atau  yang
bergelimang   di   dalam   dosa  tetapi  berkeinginan  kembali
kepada-Nya.
 
Perhatikan firman-Nya:
 
     Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah
     ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 29-30).
 
Dan firman-Nya:
 
     Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan
     telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali),
     janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS
     Al-Zumar [39]: 53)
 
Surat Al-Baqarah ayat 186  di  atas  menjelaskan  bahwa  Allah
dekat    dengan   hamba-hamba-Nya,   walaupun   mereka   masih
bergelimang dalam  dosa  dan  maksiat  tetapi  telah  memiliki
kesadaran untuk bertobat.
 
Tobat  Allah  (kembalinya  Allah)  terhadap  yang berkeinginan
dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:
 
     Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa
     kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) (QS
     Al-Baqarah [2]: 37).
 
Pemberian kalimat-kalimat  itu  memberi  isyarat  bahwa  Allah
membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang
berdosa, yang  terketuk  hatinya  untuk  kembali.  "Penerimaan
kalimat-kalimat  dari  Tuhan"  itulah  yang  mengantarkan Adam
mengajukan permohonan ampun kepada Allah.
 
Langkah pertama dari tobat Allah  ini,  antara  lain  dipahami
pula  dari  redaksi-redaksi  fashilat (penutup) ayat-ayat yang
berbicara tentang tobat-Nya.
 
Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:
 
     Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke
     jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan
     orang-orang saleh) dan hendak menerima tobatmu. Allah
     Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS Al-Nisa' [4]: 261.
 
     Maka barangsiapa bertobat (di antara pencuri-pencuri
     itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki
     diri, sesungguhnya Allah bertobat kepadanya (menerima
     tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
     Penyayang (QS Al-Ma-idah [5]: 39).
 
Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan  langkah  pertama
tobat  Allah,  yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui
terketuk hatinya atau  memiliki  kesadaran  terhadap  dosanya.
Langkah   tersebut   dilakukan  oleh  Allah  karena  Dia  Maha
Mengetahui  segala  sesuatu,  termasuk  bisikan-bisikan   hati
manusia,  dan  karena  Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah
Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang
wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia
selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh
dari Allah Swt.
 
Penutup  surat  Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat A1lah,
tetapi kali ini dia benar-benar  telah  "tobat"  (kembali)  ke
posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi
jika sang hamba yang berdosa bertobat  dan  memperbaiki  diri.
Allah   mendekatkan   diri   dan  kembali  ke  posisi  semula,
disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
 
b. Al-'Afw (Maaf)
 
Kata al-'afw terulang dalam Al-Quran sebanyak  34  kali.  Kata
ini pada mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:
 
Mereka  bertanya  kepadamu  tentang  hal yang mereka nafkahkan
(kepada orang).  Katakanlah,  "al-'afw"  (yang  berlebih  dari
keperluan) (QS Al-Baqarah [2]: 219).
 
Yang  berlebih  seharusnya  diberikan  agar  keluar.  Keduanya
menjadikan sesuatu yang tadinya  berada  di  dalam  (dimiliki)
menjadi  tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata
al-'afw berkembang maknanya menjadi  keterhapusan.  Memaafkan,
berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam
hati.
 
Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf,
ditemukan  bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha
manusia  untuk   bertobat.   Sebaliknya,   tujuh   ayat   yang
menggunakan kata 'afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya
dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang
bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
 
     Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu
     sendiri (tidak dapat menahan nafsumu sehingga
     bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan
     bahwa itu haram) maka Allah memaafkan kamu (QS
     Al-Baqarah [2]: 187).
 
     Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin
     kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang
     yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau
     mengetahui pula para pembohong? (QS Al-Tawbah [9]: 43).
 
     Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang
     setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat
     baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura
     [42]: 40).
 
Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-'Imran ayat 152 dan
155,  juga Al-Maidah ayat 95 dan lOl. Ternyata tidak ditemukan
satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang
ada adalah perintah untuk memberi maaf.
 
     Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada
     Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur
     [24): 22).
 
Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk
tidak  menanti  permohonan  maaf  dari  orang  yang  bersalah,
melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka  yang
enggan   memberi   maaf   pada  hakikatnya  enggan  memperoleh
pengampunan dan Allah Swt. Tidak  ada  alasan  untuk  berkata,
"Tiada  maaf  bagimu",  karena  segalanya  telah  dijamin  dan
ditanggung oleh Allah Swt.
 
Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud  bukan  hanya
menyangkut  dosa  atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa
dan kesalahan-kesalahan besar.
 
Al-Quran  surat  Al-Baqarah  ayat  51-52,  berbicara   tentang
pemaafan  Allah  bagi  umat Nabi Musa a.s. yang mempertuhankan
lembu:
 
     Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa
     (memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu
     menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk
     disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang
     yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan
     kesalahanmu, agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]:
     51-52).
 
c. Al-Shafh (Lapang Dada)
 
Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak  delapan
kali  dalam  Al-Quran.  Kata  ini pada mulanya berarti lapang.
Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan
keluasannya.
 
Dari  sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat
tangan  dinamai   mushafahat   karena   melakukannya   menjadi
perlambang kelapangan dada.
 
Dari  delapan  kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di
antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.
 
Perhatikan ayat-ayat berikut:
 
     Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta
     melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
     penyayang (QS Al-Thaghabun [64]: 14).
 
     Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah
     kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]:
     22) .
 
     Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya
     Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan
     (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya) (QS
     Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]:
     lO9).
 
Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani  menyatakan
bahwa  al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf).
Pernyataan yang dikemukakan itu dapat dipahami melalui  alasan
kebahasaan sebagai berikut.
 
Seperti  dikemukakan  terdahulu  dari  kata  al-shafh lahirlah
shafhat yang berarti  halaman.  Jika  Anda  memiliki  selembar
kertas  yang  ditulisi  suatu  kesalahan, lantas kesalahan itu
ditulis dengan pensil, Anda tentu  dapat  mengambil  penghapus
karet  untuk  menghapusnya.  Seperti  demikianlah  ketika Anda
melakukan  'afw  (memberi  maaf).  Seandainya  kesalahan  pada
kertas  itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya
dengan Tipp Ex agar tidak terlihat  lagi,  dan  di  sini  Anda
melakukan   takfir  seperti  yang  akan  dijelaskan  kemudian.
Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti  sedikit
banyak,  lembaran  tersebut  tidak lagi sama sepenuhnya dengan
lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah,
di  sinilah  letak  perbedaan  antara al-shafh yang mengandung
arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut
seseorang  untuk  membuka  lembaran  baru  hingga  sedikit pun
hubungan  tidak  ternodai,  tidak  kusut,  dan  tidak  seperti
halaman yang telah dihapus kesalahannya.
 
Mushafahat  (jabat  tangan) adalah lambang kesediaan seseorang
untuk  membuka  lembaran  baru,  dan  tidak   mengingat   atau
menggunakan  lagi  lembaran  lama.  Sebab,  walaupun kesalahan
telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah.
 
Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf  dilanjutkan  dengan
perintah al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena
tidak mungkin membuka lembaran baru dengan  membiarkan  lembar
yang  telah  ada  kesalahannya  tanpa  terhapus.  Itu sebabnya
ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi  tidak  didahului
oleh  perintah  memberi  maaf,  dirangkaikan dengan jamil yang
berarti indah. Selain itu, al-shafh juga  dirangkaikan  dengan
perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak
(perhatikan firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Hijr [15]:  85,
serta Al-Zukhruf [43]: 89):
 
     Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik
     (Al-Hijri [5]: 85).
 
     Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan
     salam/kedamaian (QS Al-Zukhruf [43]: 84).
 
d. Al-Ghufran
 
Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada  mulanya
berarti  menutup.  Rambut  putih  yang disemir hingga tertutup
putihnya disebutkan dengan ghafara asy-sya'ra. Dari akar  kata
yang  sama,  lahir  kata  ghifarah, yang berarti sepotong kain
yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh  minyak
rambut.  Maghfirah  Ilahi  adalah "perlindungan-Nya dari siksa
neraka."
 
Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 31 dinyatakannya bahwa,
 
     Katakanlah, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
     ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi
     dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
     Maha Penyayang."
 
Kemudian dalam Al-Quran surat Al-Anfal (8): 29, dinyatakan,
 
     Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa
     kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
     furqan (petunjuk membedakan yang hak dan yang batil),
     dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu, serta
     yaghfir lakum (melindungi kamu dari siksa). Dan Allah
     mempunyai karunia yang besar.
 
Dari kedua ayat di atas  terlihat,  bahwa  kata  yaghfir  bila
dirangkaikan  dengan  menyebutkan  dosa,  berarti menutup dosa
dengan  sesuatu.  Sedangkan  bila  tidak  dirangkaikan  dengan
menyebutkan   dosa   --sebagaimana   ditunjukkan  dalam  surat
Al-Anfal ayat 29-- berarti melindungi manusia dari siksa  atau
bencana.  Baik  dalam  konteks  pertama  maupun konteks kedua,
ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa  ghufran  (pengampunan
atau  perlindungan)  tidak  dapat  diperoleh  kecuali  setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu.
 
Dari kedua ayat tersebut juga terbaca bahwa  syarat  penutupan
dosa  dan perlindungan dari siksa adalah berbuat kebajikan. Di
sini terlihat  salah  satu  perbedaan  antara  al-'afw  (maaf)
dengan  ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan
keduanya, yakni:
 
     Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah
     kami (QS Al-Baqarah [2]: 286).
 
TAKFIR
 
Untuk menutup dosa dengan pekerjaan  tertentu,  Al-Quran  juga
menggunakan  istilah  takfir.  Kata  ini,  terambil  dari kata
kaffara yang berarti menutup.
 
Al-Quran mempergunakan kata kaffara dengan berbagai  bentuknya
sebanyak  14  kali  (kecuali kaffarat), pelakunya ada1ah A11ah
Swt.
 
Yang  empat  kali  itu  selalu  digandengkan   dengan   syarat
melakukan  amal-amal  saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa
besar.
 
Perhatikan misalnya firman Allah:
 
     Apabila kamu menghindari dosa-dosa besar yang dilarang
     untuk melakukannya, akan Kami tutupi
     kesalahan-kesalahanmu (QS Al-Nisa' [4]: 3l).
 
     Orang-orang yang beriman dengan beramal saleh pasti
     Kami tutupi kesalahan-kesalahan mereka ... (QS
     Al-'Ankabut [29]: 7)
 
     Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal
     saleh, ditutupi kesalahan-kesalahannya (QS Al-Taghabun
     [64]: 9).
 
Dari keempat belas kali yang disebut itu, teramati  pula  tiga
belas  di  antaranya  dirangkaikan dengan kata as-sayyiat yang
diterjemahkan  sebagai  kesalahan-kesalahan   atau   dosa-dosa
kecil.  Hanya  satu  ayat  yang  tidak  menyebutkan  kata  as-
sayyiat, melainkan menggunakan istilah  aswa'  alladzi  'amilu
(perbuatan terjelek yang mereka lakukan), yang pada hakikatnya
dapat juga diartikan sebagai dosa-dosa kecil.
 
Nah, dari sini dapat dipahami bahwa dosa-dosa kecil  seseorang
dapat  ditoleransi  oleh  Allah  Swt.  akibat adanya amal-amal
saleh yang menutupinya .
 
Dalam konteks ini Nabi Saw. berpesan,
 
     Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan
     susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan
     itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak
     yang baik. (HR At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Abu
     Dzar).
 
Demikian sedikit dan banyak kesan yang  dapat  diperoleh  dari
ayat-ayat   Al-Quran   berkaitan   dengan   halal-bihalal/maaf
memaafkan. []

0 komentar:

Posting Komentar