Kamis, 11 September 2014

WAWASAN AL QUR'AN

Prof. Dr. Quraish Shihab

Disusun dalam format e-Book seperti ini oleh M. Arifin, S.Kom, M.A

KEBUTUHAN POKOK MANUSIA DAN SOAL MUAMALAH
 
KESEHATAN
 
(1/2)
Islam menetapkan tujuan pokok  kehadirannya  untuk  memelihara
agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.
 
Setidaknya  tiga  dari  yang  disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa  Islam  amat  kaya
dengan tuntunan kesehatan.
 
Paling   tidak   ada  dua  istilah  literatur  keagamaan  yang
digunakan untuk menunjuk tentang  pentingnya  kesehatan  dalam
pandangan Islam.
 
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
 
2. Afiat.
 
Keduanya  dalam  bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk
sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata  "afiat"
dipersamakan  dengan  "sehat". Afiat diartikan sehat dan kuat,
sedangkan  sehat  (sendiri)  antara  lain  diartikan   sebagai
keadaan  baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari
sakit).
 
Tentu pengertian  kebahasaan  ini  berbeda  dengan  pengertian
dalam    tinjauan    ilmu   kesehatan,   yang   memperkenalkan
istilah-istilah  kesehatan  fisik,   kesehatan   mental,   dan
kesehatan masyarakat.
 
Walaupun  Islam  mengenal  hal-hal  tersebut, namun sejak dini
perlu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan,
yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat.
 
Istilah  sehat  dan  afiat masing-masing digunakan untuk makna
yang berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut  salah
satunya  (secara  berdiri  sendiri), karena masing-masing kata
tersebut dapat mewakili makna yang dikandung  oleh  kata  yang
tidak disebut.
 
Pakar bahasa  Al-Quran  dapat  memahami  dari  ungkapan  sehat
wal-afiat  bahwa  kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena
wa yang berarti "dan" adalah kata  penghubung  yang  sekaligus
menunjukkan  adanya  perbedaan  antara  yang  disebut  pertama
(sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas  dasar  itu,
dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.
 
Dalam  literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw.
ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat,
di samping permohonan memperoleh sehat.
 
Dalam   kamus   bahasa  Arab,  kata  afiat  diartikan  sebagai
perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala  macam  bencana
dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh
secara  sempurna  kecuali  bagi   mereka   yang   mengindahkan
petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai
berfungsinya  anggota  tubuh  manusia  sesuai  dengan   tujuan
penciptaannya.
 
Kalau  sehat  diartikan  sebagai  keadaan  baik  bagi  segenap
anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan  bahwa  mata  yang
sehat  adalah  mata  yang  dapat  melihat maupun membaca tanpa
menggunakan kacamata. Tetapi,  mata  yang  afiat  adalah  yang
dapat  melihat  dan  membaca objek-objek yang bermanfaat serta
mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang,  karena
itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.
 
KESEHATAN FISIK
 
Telah  disinggung  bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal
berbagai jenis kesehatan, yang diakui  pula  oleh  pakar-pakar
Islam.
 
Majelis  Ulama  Indonesia  (MUI),  misalnya,  dalam Musyawarah
Nasional  Ulama  tahun  1983  merumuskan   kesehatan   sebagai
"ketahanan  jasmaniah,  ruhaniah,  dan  sosial  yang  dimiliki
manusia, sebagai karunia Allah  yang  wajib  disyukuri  dengan
mengamalkan     (tuntunan-Nya),     dan    memelihara    serta
mengembangkannya."
 
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga
jenis kesehatan itu.
 
Dalam  konteks  kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi
Muhammad Saw.:
 
     Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.
 
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang  bermaksud
melampaui  batas  beribadah,  sehingga  kebutuhan jasmaniahnya
terabaikan dan kesehatannya terganggu.
 
Pembicaraan  literatur  keagamaan  tentang  kesehatan   fisik,
dimulai dengan meletakkan prinsip:
 
     Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
 
Karena itu dalam konteks  kesehatan  ditemukan  sekian  banyak
petunjuk  Kitab  Suci  dan  Sunah Nabi Saw. yang pada dasarnya
mengarah pada upaya pencegahan.
 
Salah satu sifat manusia  yang  secara  tegas  dicintai  Allah
adalah  orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan digandengkan
dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222:
 
     Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat,
     dan senang kepada orang yang membersihkan diri.
 
Tobat  menghasilkan  kesehatan  mental,  sedangkan  kebersihan
lahiriah menghasilkan kesehatan fisik.
 
Wahyu  kedua  (atau  ketiga)  yang diterima Nabi Muhammad Saw.
adalah:
 
     Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam
     kekotoran (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5).
 
Perintah tersebut  berbarengan  dengan  perintah  menyampaikan
ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt.
 
Terdapat  hadis  yang  amat  populer  tentang  kebersihan yang
berbunyi:
 
     Kebersihan adalah bagian dari iman.
 
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama  sebagai  hadis  dha'if.
Kendati   begitu,  terdapat  sekian  banyak  hadis  lain  yang
mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:
 
     Iman, terdiri dan tujuh puluh sekian cabang, puncaknya
     adalah keyakinan bahwa "Tiada Tuhan selain Allah, dan
     yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan"
     (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
 
Perintah  menutup  hidangan,  mencuci  tangan  sebelum  makan,
bersikat  gigi,  larangan bernafas sambil minum, tidak kencing
atau buang air di tempat yang tidak  mengalir  atau  di  bawah
pohon,   adalah   contoh-contoh  praktis  dari  sekian  banyak
tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum
dunia  mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan
dalam salah satu sabdanya,
 
     Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah,
     janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian
     berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.
 
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan  sumber  utama
penyakit:  Al-ma'idat  bait  adda'.  Dan karena itu, ditemukan
banyak sekali tuntutan --baik dari Al-Quran maupun hadis  Nabi
Saw.-- yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.
 
Al-Quran   juga  mengingatkan,  Makan  dan  minum  dan  jangan
berlebih-lebihan.  Allah  tidak  senang  kepada   orang   yang
berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
 
Penjabaran  peringatan  itu  dijelaskan  oleh  Rasulullah Saw.
dengan sabdanya,
 
     Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam
     lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam
     beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun
     harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya,
     seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya
     untuk pernafasannya (Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi).
 
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar,  baik  agamawan
maupun   ilmuwan,   berpendapat   bahwa  jenis  makanan  dapat
mempengaruhi  mental  manusia.  Al-Harali   (wafat   1232   M)
menyimpulkan  hal  tersebut  setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena  makanan  dan
minuman tersebut rijs.
 
     Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang
     mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua
     itu kotor (QS Al-An'am [6]: 145).
 
Kata  rijs  diartikan  sebagai  keburukan  budi  pekerti  atau
kebobrokan  mental.  Pendapat  serupa  dikemukakan antara lain
oleh seorang  ulama  kontemporer  Syaikh  Taqi  Falsaf1  dalam
bukunya  Child  between  Heredity and Education, yang mengutip
pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown.  Carrel,
peraih  hadiah  Nobe1  bidang  kedokteren  ini,  menulis bahwa
pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap
aktivitas  jiwa  dan  pikiran  manusia  belum diketahui secara
sempurna, karena belum diadakan eksperimen  dalam  waktu  yang
memadai.  Namun  tidak  dapat diragukan bahwa perasaan manusia
dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
 
Para ulama sering  mengaitkan  penyakit  dengan  siksa  Allah.
Al-Biqa'i    dalam   tafsirnya   mengenai   surah   Al-Fatihah
mengemukakan sabda Nabi Saw.,
 
     Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia
     mendidik hamba-hamba-Nya.
 
Pendapat ini didukung oleh  kandungan  pengertian  takwa  yang
pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan
di akhirat. Siksa Allah di dunia,  adalah  akibat  pelanggaran
terhadap  hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan
bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang  yang
makan  makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan,
sehingga penyakit merupakan  siksa-Nya  di  dunia  yang  harus
dihindari oleh orang yang bertakwa.
 
Dari  sini  dapat  dimengerti  bahwa  Islam memerintahkan agar
berobat pada saat ditimpa penyakit.
 
     Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan
     Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya,
     selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR Abu Daud
     dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).
 
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis  tentang
keharusan  berobat,  maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat
dari Al-Quran dan hadis  cukup  untuk  dijadikan  dasar  dalam
upaya   kesehatan   dan   pengobatan.   Sebagai  contoh  dapat
dikemukakan persoalan transplantasi,  baik  dari  donor  hidup
maupun  donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan
kesepakatan dalam bidang hukum  agama  yang  berkaitan  dengan
topik  bahasan  ini  dapat  membantu menemukan pandangan Islam
dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain
adalah:
 
  1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal,
     kesehatan, dan harta benda umat manusia.
 
  2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah
     yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk
     disalahgunakan atau diperjualbelikan.
 
  3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang
     dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa
     membedakan ras atau agama.
 
  4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang
     hidup, maupun yang telah wafat.
 
  5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang
     hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah
     kepentingan orang yang hidup.
 
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama  kontemporer  menetapkan
bahwa    transplantasi    dapat    dibenarkan   selama   tidak
diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia  --yang  hidup
maupun  yang  mati--  terjaga  sepenuhnya.  Salah satu jaminan
tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
 
Alasan penolakan yang sering  terdengar  dari  kalangan  orang
kebanyakan  (awam)  bahwa  setelah si penerima donor sehat, ia
mungkin dapat  menyalahqunakan  kesehatannya,  dan  ini  dapat
mengakibatkan  dosa,  terutama bagi "pemilik" organ (jenazah),
atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak
sepenuhnya   dapat  diterima.  Kemurahan  dan  keadilan  Tuhan
mengantar-Nya untuk tidak  menuntut  pertanggungl.awaban  dari
seseorang  terhadap  sesuatu  yang  tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:
 
     Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu,
     tetapi memandang hati dan perbuatan kamu.
 
Demikian sabda  Nabi  Muhammad  Saw.  yang  diriwayatkan  oleh
Muslim.  Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat
mengurangi kalau enggan berkata  "menghilangkan"  kekhawatiran
di  atas.  Kalau  niat  pemberi  izin  untuk  membantu  sesama
manusia, dan dia menduga keras bahwa  bantuan  tersebut  tidak
akan  disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru,
maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika  yang  memberi  izin
sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu
saja ia tidak terbebaskan dari dosa.  Di  sini  terlihat  pula
peranan izin.
 
Dapat  ditambahkan  bahwa  Al-Quran  menegaskan bahwa, "Barang
siapa  yang  menghidupkan   seseorang,   maka   dia   bagaikan
menghidupkan  manusia  semuanya..."  (QS  Al-Maidah  [5): 32).
"Menghidupkan" di sini bukan  saja  yang  berarti  "memelihara
kehidupan",  tetapi  juga  dapat mencakup upaya "memperpanjang
harapan hidup" dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
 
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat  Al-Quran  dipahami
dalam   konteks   peristiwa   paling   mutakhir  dalam  bidang
kesehatan.
 
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan  upaya
hanyalah  "sebab",  sedangkan  penyebab  sesungguhnya di balik
sebab atau upaya itu adalah Allah Swt.,  seperti  ucapan  Nabi
Ibrahim  a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara'
(26): 80'
 
     Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan
     aku.
 
KESEHATAN MENTAL
 
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa  ada  keluhan  fisik  yang
terjadi  karena  gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan
penyakit perut yang diderita saudaranya  setelah  diberi  obat
berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi
Saw. bahwa, "Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).
 
Al-Quran Al-Karim memang  banyak  berbicara  tentang  penyakit
jiwa.  Mereka  yang  lemah  iman dinilai oleh Al-Quran sebagai
orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
 
Dari  hadis-hadis  Nabi  diperoleh  petunjuk,  bahwa  sebagian
kompleks  kejiwaan  tercipta  pada  saat janin masih berada di
perut ibu, atau bahkan  pada  saat  hubungan  seks  (pertemuan
sperma  dan  ovum),  demikian  juga  ketika  bayi  masih dalam
buaian.
 
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar
menciptakan  suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada
saat bayi berada dalam  kandungan,  sebagaimana  memerintahkan
kepada  para  orang-tua  untuk  memperlakukan anak-anak mereka
secara wajar.
 
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak  yang  sedang
digendong,  kemudian  pipis  membasahi  pakaian  Nabi.  Ibunya
merenggut bayi tersebut dengan kasar.  Namun  Nabi  menegurnya
dengan bersabda,
 
     Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan
     kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi
     apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau
     renggut dengan kasar)?
 
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar  ilmu  jiwa,  sebagian
kompleks  kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui
penyebab utamanya  pada  perlakuan  yang  diterimanya  sebelum
dewasa.
 
Agaknya  kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang
penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh  jadi
tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
 
Dalam  Al-Quran  tidak  kurang sebelas kali disebut istilah fi
qulubihim maradh,
 
Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal  dan
hati.  Sedang  kata  maradh  biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci  pakar  bahasa  Ibnu  Faris  mendefinisikan  kata
tersebut  sebagai  "segala  sesuatu yang mengakibatkan manusia
melampaui batas keseimbangan/kewajaran  dan  mengantar  kepada
terganggunya  fisik,  mental,  bahkan kepada tidak sempurnanya
amal seseorang."
 
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak
ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
 
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya
penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
 
Penyakit-penyakit  akal  yang  disebabkan  bentuk   berlebihan
adalah  semacam  kelicikan,  sedangkan  yang  bentuknya karena
kekurangan adalah ketidaktahuan akibat  kurangnya  pendidikan.
Ketidaktahuan   ini   dapat  bersifat  tunggal  maupun  ganda.
Seseorang   yang   tidak   tahu    serta    tidak    menyadari
ketidaktahuannya   pada  hakikatnya  menderita  penyakit  akal
berganda.
 
Penyakit akal berupa ketidaktahuan  mengantarkan  penderitanya
pada keraguan dan kebimbangan.
 
Penyakit-penyakit    kejiwaan    pun    beraneka   ragam   dan
bertingkat-tingkat. Sikap angkuh,  benci,  dendam,  fanatisme,
loba,  dan  kikir  yang  antara  lain disebabkan karena bentuk
keberlebihan   seseorang.   Sedangkan   rasa   takut,   cemas,
pesimisme,   rendah   diri   dan   lain-lain   adalah   karena
kekurangannya.
 
Yang akan memperoleh keberuntungan  di  hari  kemudian  adalah
mereka  yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti
bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:
 
     Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna
     (tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang
     kepada Allah dengan hati yang sehat.
 
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu  yang  sehat  dari
segala  macam  penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan, karena:
 
     Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan
     memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28).
 
Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang
kesehatan.[]
 

0 komentar:

Posting Komentar