Kamis, 11 September 2014

WAWASAN AL QUR'AN

Prof. Dr. Quraish Shihab

Disusun dalam format e-Book seperti ini oleh M. Arifin, S.Kom, M.A

KEBUTUHAN MANUSIA DAN SOAL MUAMALAH
 
MAKANAN

Makanan  atau  tha'am  dalam  bahasa  Al-Quran  adalah  segala
sesuatu  yang  dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun
termasuk dalam pengertian tha'am.  Al-Quran  surat  Al-Baqarah
ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan)
untuk objek berkaitan dengan air minum.
 
Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang  dalam  Al-Quran
sebanyak  48  kali yang antara lain berbicara tentang berbagai
aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang
menggunakan kosa kata selainnya.
 
Perhatian   Al-Quran   terhadap   makanan   sedemikian  besar,
sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i,
"Telah  menjadi  kebiasaan  Allah  dalam  Al-Quran  bahwa  Dia
menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal
tersebut   melalui   uraian   tentang   ciptaan-Nya,  kemudian
memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)."
 
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan
pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab
utama kewajaran beribadah kepada  Allah.  Begitu  antara  lain
kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106): 3-4,
 
    Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka
    makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi
    keamanan dari segala macam ketakutan.
 
PERINTAH MAKAN
 
Menarik  untuk  disimak bahwa bahasa Al-Quran menggunakan kata
akala dalam berbagai  bentuk  untuk  menunjuk  pada  aktivitas
"makan".  Tetapi  kata tersebut tidak digunakannya semata-mata
dalam arti "memasukkan  sesuatu  ke  tenggorokan",  tetapi  ia
berarti  juga  segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya
surat Al-Nisa 14): 4:
 
    Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang
    kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan.
    Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari
    mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah
    (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan)
    yang sedap lagi baik akibatnya.
 
Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus  bahkan
tidak   lazim   berupa   makanan,   namun  demikian  ayat  ini
menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin  tersebut.
Firman Allah dalam surat Al-An'am (61: 121)
 
    Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah
    atasnya (ketika menyembelihnya)
 
Penggalan  ayat  ini  dipahami  oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud
--mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan  untuk
melakukan  aktivitas  apa  pun yang tidak disertai nama Allah.
Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti
luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut
untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan  bahwa  aktivitas
membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
 
Boleh  jadi  menarik  juga  untuk dikemukakan bahwa semua ayat
yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan  makan,
baik  yang  ditujukan  kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas,
kepada Rasul: Ya  ayyuhar  Rasul,  maupun  kepada  orang-orang
mukmin:  ya  ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan
kata halal atau dan thayyibah (baik).  Ini  menunjukkan  bahwa
makanan   yang   terbaik  adalah  yang  memenuhi  kedua  sifat
tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat  yang
memerintahkan   orang-orang   Mukmin   untuk  makan,  lima  di
antaranya  dirangkaikan  dengan  kedua  kata   tersebut.   Dua
dirangkaikan  dengan  pesan  mengingat  Allah  dan  membagikan
makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali  dalam  konteks
memakan    sembelihan   yang   disebut   nama   Allah   ketika
menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
 
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya  --baik  ketika  berbuka
puasa maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingat
pesan-pesan-Nya.
 
APA YANG HALAL DIMAKAN?
 
Al-Quran menyatakan,
 
    Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi
    seluruhnya (QS Al-Baqarah [2]: 29).
 
    Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu
    segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber
    dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
 
Bertitik tolak dari kedua  ayat  tersebut  dan  beberapa  ayat
lain,  para  ulama  berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala
sesuatu  yang  ada  di  alam  raya  ini  adalah  halal   untuk
digunakan,  sehingga  makanan  yang  terdapat  didalamnya juga
adalah halal. Karena itu Al-Quran bahkan mengecam mereka  yang
mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia.
 
    Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
    diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan
    sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah,
    "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan
    itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS
    Yunus [10]: 59).
 
Pengecualian  atau  pengharaman  harus  bersumber  dari  Allah
--baik melalui Al-Quran maupun Rasul-- sedang pengecualian itu
lahir  dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan
yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya.  Atas
dasar   ini,   turun  perintah-Nya  antara  lain  dalam  surat
Al-Baqarah (2): 168,
 
    Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik
    dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
    mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya
    setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
 
Rincian pengecualian itu  tidak  jarang  diperselisihkan  oleh
para   ulama,   baik   disebabkan  oleh  perbedaan  penafsiran
ayatayat, maupun penilaian  kesahihan  dan  makna  hadis-hadis
Nabi Saw.
 
Makanan  yang  diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi dalam tiga
kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.
 
1.  Tidak  ditemukan  satu  ayat  pun  yang  secara  eksplisit
melarang   makanan   nabati   tertentu.   Surat   'Abasa  yang
memerintahkan   manusia   untuk    memperhatikan    makanannya
menyebutkan  sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan
Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.
 
    Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.
    Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air
    (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan
    sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi
    itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kunna,
    kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta
    rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk
    binatang ternakmu (QS 'Abasa [80]: 24-32).
 
Kalaupun   ada   tumbuh-tumbuhan   tertentu,   yang   kemudian
terlarang,  maka  hal  tersebut  termasuk  dalam larangan umum
memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.
 
2. Adapun makanan jenis hewani, maka Al-Quran membaginya dalam
dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat.
 
Hewan  laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah,
Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14' menegaskan:
 
    Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar
    kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan
    sebangsanya).
 
Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai)
tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah [5]: 96:
 
    Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan
    yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi
    kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.
 
"Buruan  laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan
jalan usaha seperti mengail,  memukat,  dan  sebagainya,  baik
dari  laut,  sungai,  danau, kolam, dan 1ain-1ain. Sedang kata
"makanan yang berasal dari laut" adalah  ikan  dan  semacamnya
yang   diperoleh  dengan  mudah  karena  telah  mati  sehingga
mengapung. Makna ini dipahami dan  sejalan  dengan  penjelasan
Rasul   Saw.   yang   diriwayatkan   oleh   Bukhari,   Muslim,
At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu
Hurairah yang menyatakan tentang laut:
 
    Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya
 
Ini  menurut  banyak  ulama  sejalan  juga dengan firman Allah
dalam surat Al-Ma-idah (5): 96.
 
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di
darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan
para ulama, apalagi ia  bukan  datang  dari  Al-Quran,  tetapi
riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw.
 
Adapun  hewan  yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan
secara eksplisit  al-an'am  (unta,  sapi,  dan  kambing),  dan
mengharamkan  secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa
selainnya semua halal atau haram.
 
Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang  pengecualian  dari
makanan  yang  dihalalkan,  dalam soal ini ditemukan perbedaan
pendapat ulama tentang  hewan-hewan  darat  yang  dikecualikan
itu.
 
Imam  Malik  misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut,
karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
 
    Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
    kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang
    hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
    atau darah yang mengalir atau daging babi karena
    sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang
    disembelih atas nama selain Allah...
 
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram
dalam   batas-batas   yang  disebut  itu,  apalagi  masih  ada
ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang  juga  memberi
pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.
 
Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis
Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan  ayat
tersebut.  Karena  walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk
hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud
sebagai pengecualian hakiki.
 
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip
di atas adalah karena ia rijs (kotor).
 
Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya  mengetahui  sisi-sisi  rijs
(kekotoran)  baik  lahiriah  maupun  batiniah yang diakibatkan
oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa  segala  macam
binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah.
Di sinilah antara lain  fungsi  Rasul  Saw.  sebagai  penjelas
kitab  suci  Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi
Muhammad Saw. antara 1ain sebagai:
 
    Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan
    mengharamkan yang khabits (buruk).
 
Nah, atas dasar  inilah  dipertemukan  hadis-hadis  Nabi  yang
mengharamkan  makanan-makanan  tertentu  dengan ayat-ayat yang
menggunakan redaksi pembatasan di atas.  Misalnya  hadis  yang
mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang
memiliki cakar (buas), binatang yang hidup  di  darat  dan  di
air, dan sebagainya.
 
Di  samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu,
mengharamkan:
 
Memakan sembelihan yang disembelih  selain  atas  nama  Allah,
atau dalam bahasa ayat lain:
 
    Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama
    Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah
    kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121).
 
Dari   sini,  lahir  pembahasan  panjang  lebar  --yang  dapat
ditemukan  dalam  buku-buku  fiqih--   tentang   syarat-syarat
"penyembelihan"  yang  harus  dipenuhi  bagi kehalalan memakan
binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan
dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c)
anggota  tubuh  binatang  yang  harus  disembelih,  (d)   alat
penyembelihan.
 
Al-Quran  secara  eksplisit berbicara tentang butir a dan b di
atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d.
 
Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa,
 
    Makanan (sembelihan) Ahl Al-Kitab halal untuk kamu
 
Dari ayat  ini,  para  ulama  menyimpulkan  bahwa  penyembelih
haruslah  dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl
Al-Kitab (Yahudi/Nasrani).
 
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama  tentang
siapa  yang  dimaksud  dengan  Ahl  Al-Kitab,  dan apakah umat
Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai  Ahl
Al-Kitab.  Dan  apakah  selain  dari  mereka, seperti penganut
agama Budha dan  Hindu,  dapat  dimasukkan  ke  dalamnya  atau
tidak?  Betapapun,  mayoritas  ulama menilai bahwa hingga kini
penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar
tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap
halal, jika  memenuhi  syarat-syarat  yang  lain.  Salah  satu
syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih
binatang atas nama selain Allah.
 
Dalam konteks ini, sekali  lagi  kita  menemukan  rincian  dan
perbedaan  penafsiran  para  ulama,  menyangkut wajib tidaknya
menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan  bagaimana  dengan
Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,
 
    Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut
    nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman
    kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan
    (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah
    ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan
    kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu...
    (QS Al-An'am [6): 118-119).
 
Apakah  ayat  ini  berbicara  tentang  keharusan menyebut nama
Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat
yang  dinisbahkan  kepada  Imam  Ahmad  berpendapat  demikian.
Pendapatnya  ini  didukung  oleh  adanya  ayat  yang  melarang
memakan   sembelihan  yang  tidak  disebut  nama  Allah  serta
menilainya sebagai kefasikan:
 
    Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak
    disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya
    yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]:
    121).
 
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan
pendapat  di  atas,  hanya  saja  mereka  memberi  kelonggaran
sehingga menurut mereka, kalau  seseorang  lupa  membaca  nama
Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.
 
Ma~hab  Syafi'i  berpendapat  bahwa tidak disyaratkan menyebut
nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:
 
1 . Ayat yang membolehkan  memakan  sembelihan  Ahl  Al-Kitab,
sementara  mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam
penyembelihan,  namun  demikian  dihalalkan  untuk  kita,  ini
menunjukkan  bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat
yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban.  Atau,
dengan  kata  lain,  penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya
penyembelihan.
 
2. Hadis Rasul Saw., yang diriwayatkan  oleh  Bukhari  melalui
istri  Nabi  Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada
Nabi Saw. tentang daging  yang  mereka  tidak  ketahui  apakah
dibacakan  nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi
menjawab,
 
    Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah.
    Ketika itu para penanya, menurut Aisyah, baru saja
    melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan
    oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri
    Nabi Saw., Aisyah).
 
Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan  dengan  ini,  namun
secara  objektif  kita  dapat  berkata  bahwa tuntunan di atas
mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca  nama  Allah
ketika  menyembelih,  walaupun  tidak  harus dengan bismillah,
tetapi cukup dengan menyebut salah satu  nama-Nya  sebagaimana
pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
 
Walaupun   mazhab   Syafi'i  membolehkan  penyembelihan  tanpa
menyebut nama Allah, atau selama tidak  disembelih  atas  nama
selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab,
bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid  Ridha  menilai  halal
sembelihan  penganut  agama Budha, namun itu bukan serta merta
menjadikan  segala  macam  sembelihan  mereka  menjadi  halal.
Karena  masih  ada  syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang
masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa
cara yang tidak direstuinya, seperti:
 
    Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
    dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera
    disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang
    disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3).
 
Perlu  dicatat  bahwa  penyembelihan  yang dilakukan sementara
orang  ketika  membangun  bangunan  kemudian  menanam   kepala
binatang   yang   disembelih  itu  dengan  tuduan  menghindari
"gangguan makhluk halus"  merupakan  salah  satu  bentuk  dari
penyembelihan atas nama berhala.
 
3. Makanan olahan. Seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan,
bahwa minuman merupakan salah satu jenis  makanan,  maka  atas
dasar itu kita dapat berkata bahwa khamr (sesuatu yang menutup
pikiran] merupakan salah satu jenis makanan pula.
 
Al-Quran menegaskan bahwa:
 
    Dan dari buah kurma dan anggur kamu buat olah minuman
    yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada
    yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi
    orang yang memikirkan (QS Al-Nahl [16]: 67).
 
Ayat ini merupakan ayat pertama  yang  turun  tentang  makanan
olahan  yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat
pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya.
Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan olahan "memabukkan"
dan jenis makanan olahan yang baik sehingga  merupakan  rezeki
yang baik.
 
Pengharaman  segala  yang memabukkan dilakukan Al-Quran secara
bertahap; bermula di Makkah  dari  isyarat  yang  diberikannya
pada  ayat  di  atas, disusul dengan pernyataan tentang adanya
sisi baik dan buruk pada perjudian dan  khamr  yang  turun  di
Madinah  (QS  Al-Baqarah  [2]:  219): Mereka bertanya kepadamu
tentang khamr dan judi, jawablah bahwa dalam keduanya ada dosa
yang  besar dan manfaat untuk manusia. Dosanya lebih besar dan
manfaatnya. Disusul dengan  larangan  tegas  mendekati  shalat
bila dalam keadaan mabuk sehingga kamu menyadari apa yang kamu
ucapkan (QS Al-Nisa' [4]: 43), dan diakhiri dengan  pernyataan
tegas bahwa:
 
    Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
    khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
    nasib dengan panah, adalah perbuatan rijs (keji)
    termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
    perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung (QS
    Al-Ma-idah [5]: 90).
 
Khamr  terambil  dari  kata  khamara  yang  menurut pengertian
kebahasaan adalah "menutup". Karena itu, makanan  dan  minuman
yang  dapat  mengantar  kepada  tertutupnya  akal dinamai juga
khamr.
 
Sementara ulama menyatakan bahwa khamr adalah "perahan  anggur
yang  mendidih  atau  yang  dimasak". Abu Hanifah, Ats-Tsauri,
Ibnu Abi Laila, Ibnu  Syubrumah,  semuanya  berpendapat  bahwa
sesuatu  yang  memabukkan  bila  diminum  banyak, selama tidak
terbuat dari anggur, maka bila diminum sedikit dan atau  tidak
memabukkan maka dia dapat ditoleransi.
 
Pendapat  ini ditolak oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat
bahwa apa pun yang memabukkan, menutup  akal  atau  menjadikan
seseorang  tidak  dapat  mengendalikan  pikirannya walau bukan
terbuat dari anggur,  maka  dia  adalah  haram.  Pendapat  ini
antara lain berdasar sabda Rasul Saw. yang menyatakan:
 
    Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang
    memabukkan adalah khamr (HR Muslim melalui Ibnu Umar).
 
Di  sisi  lain  Imam  At-Tirmidzi,  An-Nasa'i,  dan  Abu  Daud
meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Jabir  bin  Abdillah  bahwa
Nabi Saw. bersabda:
 
    Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun
    tetap haram.
 
Dari   pengertian   kata  khamr  dan  esensinya  seperti  yang
dikemukakan di atas, maka segala  macam  makanan  dan  minuman
terolah  atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah
haram.
 
PESAN-PESAN AL-QURAN MENGENAI MAKANAN
 
Seperti  dikemukakan  di  atas,   ketika   berbicara   tentang
"perintah   makan",  Allah  Swt.  memerintahkan  agar  manusia
memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
 
Kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas"  atau
"tidak  terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari
ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.  Karena  itu  kata  "halal"
juga  berarti  "boleh".  Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup
segala sesuatu  yang  dibolehkan  agama,  baik  kebolehan  itu
bersifat  sunnah,  anjuran  untuk  dilakukan,  makruh (anjuran
untuk ditinggalkan) maupun  mubah  (netral/boleh-boleh  saja).
Karena  itu  boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi
tidak dianjurkannya, atau dengan kata  lain  hukumnya  makruh.
Nabi Saw. misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila
ia  baru  saja  memakan  bawang.  Nabi  bersabda   sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib:
 
    Rasul Saw. melarang memakan bawang putith kecuali
    setelah dimasak.
 
Dalam   riwayat   At-Tirmidzi   dikemukakan   bahwa  seseorang
bertanya: Apakah itu haram? Beliau menjawab:
 
    Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya.
 
Kata thayyib dari segi  bahasa  berarti  lezat,  baik,  sehat,
menenteramkan,  dan  paling  utama.  Pakar-pakar tafsir ketika
menjelaskan kata ini dalam konteks perintah  makan  menyatakan
bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau
rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga  yang
mengartikannya  sebagai  makanan  yang  mengundang selera bagi
yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.
Kita  dapat  berkata  bahwa  kata thayyib dalam makanan adalah
makanan yang sehat, proporsional, dan aman.  Tentunya  sebelum
itu adalah halal.
 
a.  Makanan  yang  sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi
yang cukup dan  seimbang.  Dalam  Al-Quran  disebutkan  sekian
banyak  jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan,
misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]:  27),  pangan  hewani
(QS  Ghafir [40]: 79), ikan (QS Al-Nahl [16]: 14), buah-buahan
(QS Al-Mutminun [23]: 19; Al-An'am [6]: 14l), lemak dan minyak
(QS  Al-Mu'minun  [23]:  21),  madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan
lain-lain. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini,  menuntut
kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
 
b.  Proporsional,  dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan,
tidak berlebih,  dan  tidak  berkurang.  Karena  itu  Al-Quran
menuntut  orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya
dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang
ideal.
 
    Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun
    sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan
    penyusuan (QS Al-Baqarah [2]: 233).
 
Dalam  konteks  ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna
firman Allah:
 
    Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
    mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah
    halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas.
    Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
    melampaui batas (QS Al-Maidah [5]: 87).
"Mengharamkan yang baik dan halal" mengandung arti  mengurangi
kebutuhan,  sedang  "melampaui  batas"  berarti meebihkan dari
yang wajar. Demikian terlihat Al-Quran dalam uraiannya tentang
makan  menekankan  perlunya  "sikap  proporsional"  itu. Makna
terakhir ini sejalan dengan ayat yang  lain  yang  petunjuknya
lebih jelas, yaitu:
 
    Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
    Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang
    berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
 
Rasul menjelaskan bahwa:
 
    Termasuk berlebih-lebihan (bila) Anda makan apa yang
    Anda tidak ingini.
 
Dalam hadis lain Rasul Saw. mengingatkan:
 
    Tidak ada yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari
    perut, cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang
    dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhkan
    perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan,
    sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan
    (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi melalui
    sahabat Nabi Miqdam bin Ma'di Karib).
 
c.  Aman.  Tuntunan  perlunya  makanan  yang aman, antara lain
dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Ma-idah (5): 88 yang
menyatakan,
 
    Dan makanlah dan apa yang direzekikan Allah kepada
    kamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu percaya
    terhadap-Nya.
 
Dirangkaikannya   perintah   makan  di  sini  dengan  perintah
bertakwa,  menuntun   dan   menuntut   agar   manusia   selalu
memperhatikan   sisi   takwa   yang  intinya  adalah  berusaha
menghindar  dari   segala   yang   mengakibatkan   siksa   dan
terganggunya rasa aman.
 
Takwa   dari   segi   bahasa  berarti  "keterhindaran",  yakni
keterhindaran dari  siksa  Tuhan,  baik  di  dunia  maupun  di
akhirat.  Siksa  Tuhan  di  dunia  adalah  akibat  pelanggaran
terhadap hukum-hukum (Tuhan yang berlaku di) alam ini,  sedang
siksa-Nya   di  akhirat  adalah  akibat  pelanggaran  terhadap
hukum-hukum syariat.  Hukum  Tuhan  di  dunia  yang  berkaitan
dengan makanan misalnya adalah: siapa yang makan makanan kotor
atau  berkuman,  maka  dia  akan  menderita  sakit.   Penyakit
--akibat  pelanggaran  ini-- adalah siksa Allah di dunia. Jika
demikian, maka perintah  bertakwa  pada  sisi  duniawinya  dan
dalam  konteks  makanan,  menuntut  agar  setiap  makanan yang
dicerna tidak mengakibatkan penyakit  atau  dengan  kata  lain
memberi  keamanan  bagi pemakannya. Ini tentu di samping harus
memberinya keamanan bagi kehidupan ukhrawinya.
 
Penggalan surat Al-Nisa' (4): 4 mengingatkan:
 
    Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya (QS
    Al-Nisa' [4]: 4)
 
Ayat ini walaupun tidak turun dalam konteks  petunjuk  tentang
makanan,  tetapi  penggunaan  kata  akala yang pada prinsipnya
berarti "makan" dapat dijadikan petunjuk bahwa memakan sesuatu
hendaknya yang sedap serta berakibat baik.
 
Pada  akhirnya  kita  dapat  menyimpulkan  pesan Allah tentang
makan dan makanan dengan firman-Nya dalam surat Al-An'am  (6):
142 setelah menyebut berbagai jenis makanan nabati dan hewani:
 
    Makanlah apa yang direzekikan Allah dan jangan ikuti
    langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh
    kamu yang sangat nyata.
 
PENGARUH MAKANAN
 
Tidak  dapat  disangkal  bahwa makanan mempunyai pengaruh yang
sangat  besar  terhadap  pertumbuhan  dan  kesehatan   jasmani
manusia.  Persoalan  yang  akan  diketengahkan  di sini adalah
pengaruhnya terhadap jiwa manusia.
 
Al-Harali seorang ulama besar (w. 1232  M)  berpendapat  bahwa
jenis   makanan   dan  minuman  dapat  mempengaruhi  jiwa  dan
sifat-sifat  mental   pemakannya.   Ulama   ini   menyimpulkan
pendapatnya   tersebut  dengan  menganalisis  kata  rijs  yang
disebutkan Al-puran sebagai alasan untuk mengharamkan  makanan
tertentu,  seperti keharaman minuman keras (QS Al-Ma-idah [5]:
90) bangkai, darah, dan daging babi (QS Al-An'am [6]: 145).
 
Kata rijs menurutnya mengandung arti "keburukan  budi  pekerti
serta  kebobrokan  moral".  Sehingga,  apabila  Allah menyebut
jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs,  maka  ini
berarti  bahwa  makanan  tersebut  dapat menimbulkan keburukan
budi pekerti.
 
Memang   kata    ini    juga    digunakan    Al-Quran    untuk
perbuatan-perbuatan buruk yang menggambarkan kebejatan mental,
seperti judi dan penyembahan berhala (QS Al-Maidah  [5]:  90).
Dengan  demikian,  pendapat Al-Harali di atas, cukup beralasan
ditinjau dari segi bahasa dan penggunaan Al-Quran.
 
Sejalan  dengan  pendapat  di  atas   adalah   pendapat   yang
dikemukakan   oleh  seorang  ulama  kontemporer,  Syaikh  Taqi
Falsafi, dalam bukunya Child between Heredity  and  Education.
Dalam  buku  ini,  dia  menguatkan pendapatnya dengan mengutip
Alexis  Carrel,  pemenang  hadiah  Nobel  Kedokteran.   Carrel
menulis  dalam  bukunya  Man  the Unknown lebih kurang sebagai
berikut:
 
    Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung
    oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran
    manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum
    lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak
    dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
    kualitas dan kuantitas makanan.
 
Nah jika demikian, terlihat bahwa  makanan  memiliki  pengaruh
yang  besar  bukan  saja  terhadap jasmani manusia tetapi juga
jiwa dan perasaannya. Beberapa  penelitian  menunjukkan  bahwa
minuman   keras  merupakan  langkah  awal  yang  mengakibatkan
langkah-langkah  berikut  dari   para   penjahat.   Hal   ini,
disebabkan  antara  lain  oleh pengaruh minuman tersebut dalam
jiwa dan pikirannya.
 
Dalam konteks agama, tidak  dapat  diragukan  adanya  pengaruh
makanan  terhadap  selain  jasmani. Rasulullah Saw. mengaitkan
antara terkabulnya doa dengan makanan halal.  Beliau  bersabda
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:
 
    Wahai seluruh manusia. Sesungguhnya Allah Mahabaik. Dia
    tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia
    memerintahkan kaum mukmin sebagaimana memerintahkan
    para Rasul dengan firman-Nya, "Wahai Rasul, makanlah
    rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu".
    (Kata perawi) Rasul kemudian menjelaskan seorang
    pejalan kaki, kumal, dan kotor, menengadahkan kedua
    tangannya ke langit berdoa, "Wahai Tuhan, Wahai Tuhan
    ... (tetapi) makanannya haram, minumannya haram,
    pakaiannya haram, makan dari barang haram, maka
    bagaimana mungkin ia dikabulkan?"
 
Demikian, sebagian dari dampak makanan terhadap manusia.
 
MENGAPA BINATANG ATAU MAKANAN TERTENTU DIHARAMKAN?
 
Banyak   analisis   yang   dikemukakan   para   pakar  tentang
sebab-sebab  diharamkannya  binatang  atau  makanan  tertentu.
Babi, misalnya, dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan
cacing  yang  sangat  berbahaya  terhadap  kesehatan  manusia.
Tenasolium  adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak
dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan meter.
Pada 1968 ditemukan sejenis kuman yang merupakan penyebab dari
kematian sekian banyak pasien di  Belanda  dan  Denmark.  Pada
1918,  flu Babi pernah menyerang banyak bagian dari dunia kita
dan menelan korban jutaan orang. Flu ini kembali  muncul  pada
1977,  dan  di  Amerika Serikat ketika itu dilakukan imunisasi
yang menelan biaya 135 juta  dolar.  Demikian  sekelumit  dari
bahaya  babi, sebagaimana dikemukakan oleh Faruq Musahil dalam
bukunya Tahrim Al-Khinzir fi Al-Islam.
 
Lemak   babi   mengandung   complicated   fats   antara   lain
triglycerides,  dan dagingnya mengandung kolestrol yang sangat
tinggi, mencapai lima  belas  kali  lipat  lebih  banyak  dari
daging    sapi.   Dalam   Encydopedia   Americana   dijelaskan
perbandingan antara  kadar  lemak  yang  terdapat  pada  babi,
domba,   dan   kerbau.  Dalam  kadar  berat  yang  sama,  babi
mengandung 50% lemak, domba 17%, dan kerbau tidak  lebih  dari
5%.  Demikian keterangan Ahmad Syauqi Al-Fanjari dalam bukunya
Ath-Thib Al-Wiqaiy fi Al-Islam.
 
Banyak lagi analisis dan  jawaban  yang  diberikan  menyangkut
sebab-sebab diharamkannya sekian banyak makanan. Bukan di sini
tempatnya, bahkan bukan penulis yang memiliki  otoritas  untuk
menjelaskannya.
 
Memang  kita  boleh  saja  bertanya,  dan atau mencari jawaban
tentang mengapa  Allah  Swt.  mengharamkan  makanan  tertentu.
Boleh  jadi  kita  puas  atau  tidak  puas dengan jawaban yang
diberikan, tetapi adalah  amat  bijaksana  jika  jawaban  yang
ditemukan  itu  --walau  sangat  memuaskan--  tidak  dijadikan
sebagai satu-satunya jawaban.
 
Imam  Al-Ghazali  memberikan   ilustrasi   menyangkut   'illat
(katakanlah  "sebab"  atau  "hikmah")  dari  larangan-larangan
Ilahi. "Seorang ayah memiliki anak  yang  tinggal  bersama  di
satu   rumah.   Sebelum   kematian   menjemputnya,  sang  ayah
mewasiatkan kepada anaknya: 'Jika engkau ingin  memugar  rumah
ini  silakan,  tetapi  tumbuhan yang terdapat di serambi rumah
jangan ditebang.' Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal,
dan  anak pun memperoleh rezeki yang memadai. Rumah dipugarnya
dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir,  'Apakah
gerangan  sebabnya  ayah  melarang  menebangnya?'  Pikirannya,
kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum.
Dan di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan tumbuhan
lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia  pun  memutuskan
menebang tumbuhan itu dan menggantikannya dengan tumbuhan yang
lebih sedap. Tetapi apa  yang  terjadi?  Tidak  lama  kemudian
muncul  seekor  ular, yang hampir saja menerkamnya, dan ketika
itu ia sadar  bahwa  rupanya  aroma  tumbuhan  itu,  merupakan
penangkal  kehadiran  ular.  Ia hanya mengetahui sebagian dari
'illat larangan ayahnya' bukan  semuanya,  bahkan  bukan  yang
terpenting  darinya."  Demikian  lebih  kurang  ilustrasi Imam
Al-Ghazali.
 
Demikian  sedikit  dari  banyak  petunjuk   Al-Quran   tentang
makanan.  Kita  dapat  menyimpulkan bahwa Al-Quran merintahkan
kepada kita untuk makan yang halal  dan  thayyib,  serta  yang
lezat tetapi baik akibatnya.[]

0 komentar:

Posting Komentar