Kamis, 11 September 2014

WAWASAN AL QUR'AN

Prof. Dr. Quraish Shihab

Disusun dalam format e-Book seperti ini oleh M. Arifin, S.Kom, M.A

KEBUTUHAN POKOK MANUSIA DAN SOAL MUAMALAH
 
AKHLAK
 
Dalam Kamus Besar  Bahasa  Indonesia,  kata  akhlak  diartikan
sebagai  budi  pekerti  atau  kelakuan.  Kata  akhlak walaupun
terambil dari  bahasa  Arab  (yang  biasa  berartikan  tabiat,
perangai  kebiasaan,  bahkan  agama),  namun  kata seperti itu
tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk
tunggal  kata  tersebut  yaitu  khuluq  yang  tercantum  dalam
Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai  sebagai
konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
 
     Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi
     pekerti yang agung (QS Al-Qalam [68]: 4).
 
Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis  Nabi Saw.,
dan salah satunya yang paling populer adalah,
 
     Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
 
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di  atas,  yakni  akhlak
sebagai  kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak
atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa  firman  Allah
berikut  ini  dapat menjadi salah satu argumen keaneka-ragaman
tersebut.
 
     Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat
     beragam (QS Al-Lail [92]: 4).
 
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau  dari  berbagai  sudut,
antara  lain  nilai  kelakuan  yang  berkaitan dengan baik dan
buruk, serta dari objeknya, yakni kepada  siapa  kelakuan  itu
ditujukan.
 
BAIK DAN BURUK
 
Para  filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan
buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni  apakah
kelakuan  itu  merupakan  hasil pilihan atau perbuatan manusia
sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?
 
Tulisan ini tidak  akan  mengarungi  samudera  pemikiran  yang
dalam lagi sering menenggelamkan itu, namun kita dapat berkata
bahwa secara nyata terlihat  dan  sekaligus  kita  akui  bahwa
terdapat  manusia  yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya.
Ini berarti bahwa manusia  memiliki  kedua  potensi  tersebut.
Terdapat sekian banyak ayat Al-Quran yang dipahami menguraikan
hal hakikat ini, antara lain:
 
     Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya
     (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS
     Al-Balad [90]: 10).
 
     ...dan (demi) jiwa serta penyempurnaaaan ciptaannya,
     maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan
     ketakwaan (QS Asy-Syams [91]: 7-8).
 
Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia,  namun
ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih
dahulu menghiasi diri manusia daripada  kejahatan,  dan  bahwa
manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
 
Al-Quran   surat  Thaha  (20):  121  menguraikan  bahwa  Iblis
menggoda Adam sehingga,
 
     ... durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.
 
Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis,  Adam
tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk,
dan bahwa akibat godaan itu,  ia  menjadi  tersesat.  Walaupun
kemudian  Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi
pada kesuciannya.
 
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari  persamaan
konsep-konsep  pokok  moral  pada  setiap peradaban dan zaman.
Perbedaan --jika terjadi-- terletak  pada  bentuk,  penerapan,
atau  pengertian  yang  tidak  sempurna terhadap konsep-konsep
moral, yang disebut ma'ruf dalam bahasa  Al-Quran.  Tidak  ada
peradaban  yang  menganggap  baik  kebohongan,  penipuan, atau
keangkuhan.  Pun  tidak  ada  manusia   yang   menilai   bahwa
penghormatan  kepada  kedua  orang-tua  adalah  buruk. Tetapi,
bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi  cara
penghormatan   kepada   keduanya   berbeda-beda   antara  satu
masyarakat  pada  generasi  tertentu  dengan  masyarakat  pada
generasi  yang  lain.  Perbedaan-perbedaan  itu selama dinilai
baik oleh masyarakat dan masih dalam  kerangka  prinsip  umum,
maka ia tetap dinilai baik (ma'ruf).
 
Kembali   kepada   persoalan  kecenderungan  manusia  terhadap
kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir,
hadis-hadis Nabi Saw. pun antara lain menginformasikannya:
 
     Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah),
     hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang
     menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi (H Bukhari).
 
Seorang  sahabat  Nabi  Saw.  bernama  Wabishah   bin   Ma'bad
berkunjung  kepada  Nabi  Saw.,  lalu beliau menyapanya dengan
bersabda:
 
     "Engkau datang menanyakan kebaikan?" "Benar, wahai
     Rasul," jawab Wabishah. "Tanyailah hatimu! "Kebajikan
     adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang
     tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang
     mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun
     setelah orang memberimu fatwa." (HR Ahmad dan
     Ad-Darimi).
 
Dengan demikian menjadi amat wajar  jika  ditemukan  ayat-ayat
Al-Quran  yang  mengisyaratkan  bahwa  manusia pada hakikatnya
--setidaknya pada awal masa perkembangan--  tidak  akan  sulit
melakukan   kebajikan,   berbeda   halnya   dengan   melakukan
keburukan.
 
Salah satu frase dalam surat Al-Baqarah ayat 286 menyatakan,
 
     Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang
     dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang
     dilakukannya
 
Oleh beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan  sebagai  bukti
apa  yang  disebut  di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat
bahwa kalimat "yang dilakukan" terulang dua kali: yang pertama
adalah  terjemahan  dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan
kata iktasabat.
 
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir  Al-Manar  menyatakan  kata
iktasabat,  dan  semua  kata  yang berpatron demikian, memberi
arti adanya  semacam  upaya  sungguh-sungguh  dari  pelakunya,
berbeda  dengan  kasabat  yang  berarti dilakukan dengan mudah
tanpa  pemaksaan.  Dalam  ayat  di  atas,  perbuatan-perbuatan
manusia  yang  buruk  dinyatakan  dengan  iktasabat, sedangkan
perbuatan yang  baik  dengan  kasabat.  Ini  menandakan  bahwa
fitrah   manusia  pada  dasarnya  cenderung  kepada  kebaikan,
sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya
dengan  keburukan  yang  harus dilakukannya dengan susah payah
dan keterpaksaan (ini tentu pada  saat  fitrah  manusia  masih
berada dalam kesuciannya).
 
Potensi  yang  dimiliki  manusia  untuk melakukan kebaikan dan
keburukan,  serta  kecenderungannya   yang   mendasar   kepada
kebaikan,   seharusnya   mengantarkan  manusia  memperkenankan
perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya  sesuai  dengan
fithrah  (asal  kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum
(30): 30 dinyatakan,
 
     Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
     (Al1ah). Itulah fithrah Allah yang telah menciptakan
     manusia menurut fithrah itu.
 
Di  sisi  lain,  karena  kebajikan  merupakan  pilihan   dasar
manusia,  kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban,
sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri:
 
     Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah
     engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu
     (QS Al-Isra' [17]: 14).
 
PERTANGGUNGJAWABAN
 
Atas dasar uraian di atas, Al-Quran membebaskan manusia  untuk
memilih  kedua  jalan  yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri
yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya.  Manusia  tidak
boleh  membebani  orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga
dosa orang lain dipikulkan ke  atas  pundaknya.  Tetapi  dalam
Al-Quran  surat  Al-An'am  ayat  164 dinyatakan bahwa tanggung
jawab tersebut baru  dituntut  apabila  memenuhi  syaratsyarat
tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.
 
     Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
     orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami
     mengutus seorang rasul... (QS Al-Isra' [17]: 15).
 
     Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
     kemampuannya... (QS Al-Baqarah [2]: 286)
 
Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik paling  tidak
dua kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
 
  1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan
     apa yang tidak diketahui atau tidak mampu
dilakukannya.
 
  2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa
     yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut
     diketahuinya.
 
Di  sisi  lain,  ditemukan  ayat-ayat  yang  menegaskan  bahwa
pertanggungjawaban  tersebut  berkaitan  dengan perbuatan yang
disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak.
 
Al-Quran secara tegas menyatakan:
 
     Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas
     sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia
     akan meminta pertanggungjawabanmu terhadap apa yang
     disengaja oleh hatimu... (QS Al-Baqarah [2]: 225).
 
     ...tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak
     menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka
     tidak ada dosa baginya... (QS Al-Baqarah [2]: 173).
 
Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi  kemampuan
untuk  memilih,  maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat
dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat  dan  kehendak
seseorang  mempunyai  peran yang sangat besar dalam nilai amal
sekaligus dalam pertanggungjawabannya.
 
     Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia
     beriman, dia mendapatkan kemurkaan Allah, kecuali
     orang-orang yang dipaksa kafir sedang hatinya tetap
     tenang dalam keimanan... (QS An-Nahl [16]: 106) .
 
Al-Quran surat Al-Isra ayat 23-24 memerintahkan kepada seorang
anak agar menghormati kedua orang-tuanya, khususnya kalau usia
mereka sudah tua (karena ketika telah uzur boleh  jadi  mereka
melakukan  hal-hal  yang menjengkelkan). Anak dilarang berkata
uf (cis),  dan  harus  memilih  kata-kata  yang  baik,  sambil
merendahkan  diri  kepada  keduanya.  Ayat  ini disusul dengan
firman-Nya:
 
     Tuhanmu lebih mengetahui yang ada dalam hatimu. Jika
     seandainya kamu orang baik-baik (Allah akan
     memaaafkan sikap dan ke1akuan yang telah kamu lakukan
     dengan terpaksa, tidak sadar, atau yang berada di
     luar kontrol kemampuanmu), karena Allah Maha
     Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra'
     [17]: 25).
 
TOLOK UKUR KELAKUAN BAIK
 
Tolok ukur kelakuan baik dan  buruk  mestilah  merujuk  kepada
ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan
ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa  yang  dinilai  baik  oleh
Allah,  pasti  baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya,
tidak mungkin Dia menilai kebohongan  sebagai  kelakuan  baik,
karena kebohongan esensinya buruk.
 
Di  sisi  lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia
memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat  Thaha
(20): 8 menegaskan:
 
     (Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai
     Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).
 
Rasulullah  Saw.  juga  memerintahkan  umatnya  agar  berusaha
sekuat   kemampuan  dan  kapasitasnya  sebagai  makhluk  untuk
meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya,
 
     Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
 
Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw.,  beliau
menjawab,
 
          Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al-Quran
          (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
 
Semua sifat Allah tertuang dalam  Al-Quran.  Jumlahnya  bahkan
melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.
 
Sifat-sifat  Allah  itu  merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia
Esa di dalam zat, sifat, dan  perbuatan-Nya?  Karenanya  tidak
wajar   jika  sifat-sifat  itu  dinilai  saling  bertentangan.
Artinya, semua sifat  memiliki  tempatnya  masing-masing.  ada
tempat  untuk  keperkasaan  dan  keangkuhan Allah, juga tempat
kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika  seorang  Muslim
meneladani  sifat  Al-Kibriya'  (Keangkuhan  Allah),  ia harus
ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan  kecuali
dalam  konteks  ancaman  terhadap  para  pembangkang, terhadap
orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul  Saw  melihat
seseorang  yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau
bersabda,
 
     "Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali
     dalam kondisi semacam ini."
 
Seseorang yang berusaha  meneladani  sifat  Al-Kibriya'  tidak
akan   meneladaninya  kecuali  terhadap  manusia-manusia  yang
angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan,
 
     "Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah".
 
Ketika  seorang  Muslim  berusaha  meneladani   kekuatan   dan
kebesaran  Ilahi,  harus  diingat  bahwa  sebagai  makhluk  ia
terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya  harus  sama-sama
kuat.   Kekuatan  dan  kebesaran  itu  mesti  diarahkan  untuk
membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk  menopang
yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran
mengulang-ulang  kebesaran  Allah,  Al-Quran  juga  menegaskan
bahwa:
 
     Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang,
     angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).
 
Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya,  ia  harus
menyadari   bahwa   istilah   yang  digunakan  Al-Quran  untuk
menunjukkan sifat  itu  adalah  Al-Ghani.  Ini  yang  maknanya
adalah  tidak  membutuhkan  --dan bukan kaya materi-- sehingga
esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan  berdiri  sendiri
atau  tidak  menghajatkan  pihak  lain,  sehingga  tidak perlu
membuang air muka untuk meminta-minta.
 
     Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya,
     karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273)
 
Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa
dirinya amat membutuhkan Allah:
 
     Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah
     orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir[35]: 15).
 
Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang  lain,  yang
harus  diteladaninya,  seperti  Maha  Mengetahui, Maha Pemaaf,
Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.
 
Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang  atau  masyarakat
jika  menjadikan  sifat-sifat  Allah  sebagai  tolok ukur, dan
tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat  sebagai  tolok
ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda
antara seseorang  dengan  yang  1ain,  bahkan  seseorang  yang
berada  dalam  kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda,
dengan kondisi  lainnya.  Boleh  jadi  suatu  masyarakat  yang
terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.
 
SASARAN AKHLAK
 
Akhlak  dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,
jika etika dibatasi pada sopan santun  antar  sesama  manusia,
serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
 
Akhlak  lebih  luas  maknanya  daripada yang telah dikemukakan
terdahulu  serta  mencakup  pula  beberapa  hal   yang   tidak
merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap
batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup  berbagai
aspek,  dimulai  dari  akhlak  terhadap  Allah,  hingga kepada
sesama  makhluk  (manusia,  binatang,   tumbuh-tumbuhan,   dan
benda-benda tak bernyawa).
 
Berikut   upaya  pemaparan  sekilas  beberapa  sasaran  akhlak
Islamiyah.
 
a. Akhlak terhadap Allah
 
Titik  tolak  akhlak  terhadap  Allah  adalah  pengakuan   dan
kesadaran  bahwa  tiada  Tuhan  melainkan  Allah. Dia memiliki
sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang  jangankan
manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
 
     Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu
     memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan kepada diri-Mu.
 
Demikian ucapan para malaikat.
 
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran  mengajarkan  kepada  manusia
untuk    memuji-Nya,   Wa   qul   al-hamdulillah   (Katakanlah
"al-hamdulillah"). Dalam  Al-Quran  surat  An-Nam1  (27):  93,
secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,
 
     Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan
     memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya,
     maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai
     dari apa yang kamu kerjakan."
 
     Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan
     kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang
     terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160).
 
Teramati bahwa semua makhluk  --kecuali  nabi-nabi  tertentu--
selalu   menyertakan   pujian   mereka   kepada  Allah  dengan
menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
 
     Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan
     mereka (QS Asy-Syura [42]: 5).
 
     Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS Ar-Ra'd [13]: 13).
 
     Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih
     (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya (QS Al-Isra'[17]: 44).
 
Semua itu menunjukkan bahwa  makhluk  tidak  dapat  mengetahui
dengan  baik  dan  benar  betapa  kesempurnaan dan keterpujian
Allah  Swt.  Itu  sebabnya   mereka   --sebelum   memuji-Nya--
bertasbih  terlebih  dahulu  dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai  pujian  yang  mereka  ucapkan  tidak   sesuai   dengan
kebesaran-Nya.    Bertitik    tolak   dari   uraian   mengenai
kesempurnaan Allah, tidak heran kalau  Al-Quran  memerintahkan
manusia  untuk  berserah  diri  kepada-Nya, karena segala yang
bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
 
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan  manusia  untuk
menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS
Al-Muzzammil (73): 9:
 
     (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan
     melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil(pelindung).
 
Kata "wakil"  bisa  diterjemahkan  sebagai  "pelindung".  Kata
tersebut  pada  hakikatnya  terambil dari kata "wakala-yakilu"
yang berarti mewakilkan.
 
Apabila seseorang mewakilkan kepada orang  lain  (untuk  suatu
persoalan),  maka  ia  telah  menjadikan  orang  yang mewakili
sebagai dirinya sendiri dalam  menangani  persoalan  tersebut,
sehingga  sang  wakil  melaksanakan  apa yang dikehendaki oleh
orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
 
Menjadikan  Allah  sebagai  wakil  sesuai  dengan  makna  yang
disebutkan   di  atas  berarti  menyerahkan  segala  persoalan
kepada-Nya.  Dialah  yang  berkehendak  dan  bertindak  sesuai
dengan   kehendak  manusia  yang  menyerahkan  perwakilan  itu
kepada-Nya.
 
Makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika  tidak
dijelaskan  lebih  jauh.  Pertama  sekali  harus diingat bahwa
keyakinan tentang Keesaan  Allah  antara  lain  berarti  bahwa
perbuatan-Nya  esa,  sehingga  tidak  dapat  disamakan  dengan
perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Sebagai  contoh,
Allah  Maha  Pengasih  (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim). Kedua
sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat
dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan
dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu
akan berakibat gugurnya makna keesaan.
 
Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah
Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua  maha
yang   mengandung   pujian.   Manusia   sebaliknya,   memiliki
keterbatasan pada segala hal. Jika  demikian  "perwakilan"-Nya
pun berbeda dengan perwakilan manusia.
 
Benar  bahwa  wakil  diharapkan  dan  dituntut  untuk memenuhi
kehendak  yang  mewakilkan.  Namun,  karena  dalam  perwakilan
manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang
mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja  orang
yang  mewakilkan  tidak  menyetujui  atau membatalkan tindakan
sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia  merasa
--berdasarkan  pengetahuan  dan  keinginannya--  tindakan sang
wakil  merugikan.  Jika  seseorang  menjadikan  Allah  sebagai
wakil,  hal  serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia
telah  menyadari  keterbatasan  dirinya,  dan  menyadari  pula
Kemahamutlakan Allah Swt. Oleh karena itu, ia akan menerimanya
dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu
perbuatan Tuhan.
 
     Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui
     (QS Al-Baqarah: 216).
 
     Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi
     wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
     menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
     pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS
     Al-Ahzab [33]: 36).
 
Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada
Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.
 
Perbedaan   kedua   adalah   dalam   keterlibatan  orang  yang
mewakilkan.
 
Jika Anda mewakilkan orang lain  untuk  melaksanakan  sesuatu,
Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda
tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu  telah  dikerjakan
oleh sang wakil.
 
Ketika  menjadikan  Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut
untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
 
Perintah   bertawakal    kepada    Allah    --atau    perintah
menjadikan-Nya  sebagai  wakil-- terulang dalam bentuk tunggal
(tawakkal) sebanyak sembilan  kali,  dan  dalam  bentuk  jamak
(tawakkalu)   sebanyak   dua  kali.  Semuanya  didahului  oleh
perintah melakukan sesuatu,  lantas  disusul  dengan  perintah
bertawakal.  perhatikan  misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat
61:
 
     Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah
     kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.
 
Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah
 
     Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila
     kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya
     kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu
     benar-benar orang yang beriman.
 
Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah,  dan
segala  yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun
harus percaya bahwa:
 
     Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
     dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan
     (kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa' [4]: 79).
 
Al-Quran memberi contoh bagaimana  seharusnya  seorang  Muslim
mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.
 
Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah:
 
     Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat,
     bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan)
     mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).
 
Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan  dinyatakan  bersumber
dari  Allah  yang  memberi  nikmat. Perhatikan redaksi ayat di
atas "yang telah  Engkau  anugerahi  nikmat".  Tetapi,  ketika
berbicara  tentang  jalan  orang-orang  sesat  dan  yang  akan
mendapat  murka,  tidak  dinyatakan  "jalan  orang-orang  yang
Engkau  murkai,"  tetapi  "yang  dimurkai," karena murka dapat
mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada
Allah.
 
Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim a.s.:
 
     Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku (QS
     Asy-Syu'ara' [26]: 80).
 
Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan
bahwa  ia  berasal  dari  Tuhan,  tetapi,  apabila  aku  sakit
kesembuhan yang merupakan  sesuatu  yang  terpuji,  dinyatakan
bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".
 
Sekali  lagi,  bacalah  firman  Allah dalam surat Al-Kahf yang
mengisahkan perjalanan Nabi Musa a.s.  bersama  seorang  hamba
pilihan Allah (Khidir a.s.).
 
Ketika  sang  hamba  Allah itu membocorkan perahu, dia berucap
"Aku  ingin  merusaknya"  (ayat  79),  ini  disebabkan  karena
pembocoran  perahu  tampak  sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi
ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh,  kalimat
yang  digunakan  adalah  "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82),
karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu. Ketika
Khidhir  membunuh  seorang  bocah  dengan  maksud  agar  Tuhan
menggantikan  dengan  bocah  yang  lebih  baik,  redaksi  yang
digunakannya   adalah   "Maka  kami  berkehendak"  (ayat  81).
Kehendaknya  adalah  pembunuhan,  dan  kehendak  Tuhan  adalah
penggantian anak dengan yang lebih baik.
 
b. Akhlak terhadap sesama manusia
 
Banyak  sekali  rincian  yang  dikemukakan  Al-Quran berkaitan
dengan perlakuan terhadap sesama  manusia.  Petunjuk  mengenai
hal  ini  bukan  hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal
negatif seperti  membunuh,  menyakiti  badan,  atau  mengambil
harta  tanpa  alasan  yang benar, melainkan juga sampai kepada
menyakiti hati dengan  jalan  menceritakan  aib  seseorang  di
belakangnya,  tidak  peduli aib itu benar atau salah, walaupun
sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
 
     Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
     daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang
     menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah
     [2]: 263).
 
Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang  hendaknya
didudukkan  secara  wajar.  Nabi  Muhammad  Saw.  --misalnya--
dinyatakan sebagai manusia seperti manusia  yang  lain,  namun
dinyatakan  pula  bahwa  beliau  adalah  Rasul yang memperoleh
wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau  berhak  memperoleh
penghormatan  melebihi  manusia  1ain.  Karena  itu,  Al-Quran
berpesan kepada orang-orang Mukmin:
 
     Jangan meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi
     (saat berdialog), dan jangan pula mengeraskan suaramu
     (di hadapannya saat beliau diam) sebagaimana
     (kerasnya) suara sebagian kamu terhadap sebagian yang
     lain... (QS Al-Hujurat [49]: 2).
 
     Janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rasul di
     antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada
     sebagian (yang lain) (QS An-Nur [24]: 63).
 
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati.
 
Al-Quran juga  menekankan  perlunya  privasi  (kekuasaan  atau
kebebasan pribadi).
 
     Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
     rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin
     dan memberi salam kepada penghuninya (QS An-Nur [24]:27).
 
     Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak
     lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang
     yang belum balig di antara kamu meminta izin kepada
     kamu tiga kali (yaitu waktu) sebelum shalat subuh,
     ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah
     hari, dan sesudah shalat isya ... (QS An-Nur [24):58).
 
Salam yang diucapkan  itu  wajib  dijawab  dengan  salam  yang
serupa,  bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang
lebih baik (QS An-Nisa' [4]: 86).
 
Setiap   ucapan   haruslah   ucapan   yang   baik,    Al-Quran
memerintahkan,
 
     Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS A1-Baqarah [2]: 83).
 
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai  dengan  keadaan
dan  kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang
benar,
 
     Dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab[33]: 70).
 
Tidak wajar  seseorang  mengucilkan  seseorang  atau  kelompok
1ain,  tidak  wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau
menceritakan   keburukan   seseorang,   dan    menyapa    atau
memanggilnya  dengan  sebutan  buruk  (baca  Al-Hujurat  [49]:
11-12) .
 
Yang melakukan kesalahan  hendaknya  dimaafkan.  Pemaafan  ini
hendaknya  disertai  dengan  kesadaran  bahwa  yang  memaafkan
berpotensi  pula  melakukan  kesalahan.  Karena  itu,   ketika
Misthah  --seorang  yang  selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a.--
menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya,  Abu  Bakar
dan  banyak  orang  lain  bersumpah  untuk tidak lagi membantu
Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan:
 
     Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
     kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
     tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya),
     orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah
     dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta
     berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah
     mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha
     Penyayang (QS An-Nur [24]: 22).
 
Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat
Ali Imran (3): 134, yaitu:
 
     Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan
     memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka
     yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya),
     sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik.
 
Di dunia Barat, sering dinyatakan, bahwa "Anda boleh melakukan
perbuatan  apa  pun selama tidak bertentangan dengan hak orang
lain",  tetapi  dalam  Al-Quran   ditemukan   anjuran,   "Anda
hendaknya   mendahulukan   kepentingan   orang  lain  daripada
kepentingan Anda sendiri."
 
     Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka
     sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan (QS
     Al-Hasyr [59]: 9).
 
Jika ada orang yang digelari gentleman --yakni  yang  memiliki
harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut {terutama
kepada    wanita)--    seorang    Muslim    yang     mengikuti
petunjuk-petunjuk  akhlak Al-Quran tidak hanya pantas bergelar
demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang  demikian  dalam
bahasa Al-Quran disebut al-muhsin.
 
c. Akhlak terhadap lingkungan
 
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah  segala  sesuatu  yang
berada  di  sekitar  manusia,  baik binatang, tumbuh-tumbuhan,
maupun benda-benda tak bernyawa.
 
Pada  dasarnya,  akhlak  yang  diajarkan   Al-Quran   terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
 
Kekhalifahan  menuntut  adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam.  Kekhalifahan  mengandung
arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap
makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
 
Dalam  pandangan  akhlak  Islam,  seseorang  tidak  dibenarkan
mengambil  buah  sebelum  matang,  atau  memetik bunga sebelum
mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan  kepada
makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
 
Ini   berarti   manusia   dituntut   untuk  mampu  menghormati
proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses
yang   sedang  terjadi.  Yang  demikian  mengantarkan  manusia
bertanggung jawab,  sehingga  ia  tidak  melakukan  perusakan,
bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan
harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
 
Binatang, tumbuhan,  dan  benda-benda  tak  bernyawa  semuanya
diciptakan  oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua
memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan
sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan
yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
 
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am  (6):  38  ditegaskan
bahwa  binatang  melata  dan  burung-burung  pun  adalah  umat
seperti manusia  juga,  sehingga  semuanya  --seperti  ditulis
Al-Qurthubi  (W.  671  H)  di  dalam  tafsirnya-- "Tidak boleh
diperlakukan secara aniaya."
 
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat
petunjuk   Al-Quran   yang  melarang  melakukan  penganiayaan.
Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut  atau
menebang  pepohonan  pun  terlarang,  kecuali  kalau terpaksa,
tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam  arti  harus  sejalan
dengan   tujuan-tujuan   penciptaan   dan   demi  kemaslahatan
terbesar.
 
     Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau
     kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka
     itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5).
 
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada
kesadaran  bahwa  apa  pun  yang  berada  di  dalam  genggaman
tangannya,   tidak   lain   kecuali    amanat    yang    harus
dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di
bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara,  dan  setiap
tetes   hujan   yang  tercurah  dari  langit  akan  dimintakan
pertanggungjawaban   manusia   menyangkut   pemeliharaan   dan
pemanfatannya",   demikian   kandungan  penjelasan  Nabi  Saw.
tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur  (102):  8
yang   berbunyi,  "Kamu  sekalian  pasti  akan  diminta  untuk
mempertanggungjawabkan nikmat  (yang  kamu  peroleh)."  Dengan
demikian  bukan  saja  dituntut  agar  tidak  alpa  dan angkuh
terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut
untuk  memperhatikan  apa  yang  sebenarnya  dikehendaki  oleh
Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
 
     Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang
     berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan)
     yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf[46]: 3).
 
Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh  manusia  untuk  tidak
hanya  memikirkan  kepentingan  diri  sendiri,  kelompok, atau
bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus  berpikir  dan
bersikap   demi  kemaslahatan  semua  pihak.  Ia  tidak  boleh
bersikap sebagai penakluk alam  atau  berlaku  sewenang-wenang
terhadapnya.  Memang,  istilah  penaklukan  alam tidak dikenal
dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul  dari  pandangan  mitos
Yunani  yang  beranggapan  bahwa  benda-benda  alam  merupakan
dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus ditaklukkan.
 
Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah  Allah.  Manusia
tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan
yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
 
     Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah
     bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai
     kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)
 
Jika  demikian,  manusia  tidak  mencari  kemenangan,   tetapi
keselarasan   dengan   alam.  Keduanya  tunduk  kepada  Allah,
sehingga mereka harus dapat bersahabat.
 
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani  Nabi  Muhammad
Saw.  yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu).
Untuk  menyebarkan  rahmat  itu,  Nabi  Muhammad  Saw.  bahkan
memberi  nama  semua  yang menjadi milik pribadinya, sekalipun
benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan  kesan  adanya
kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran
untuk bersahabat dengan pemilik nama.
 
Sebelum  Eropa  mengenal  Organisasi  Pencinta  Binatang  Nabi
Muhammad Saw. telah mengajarkan,
 
     Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
     binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.
 
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih
ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat
juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan  akar
kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah
 
     Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain.
 
     Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang
     ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat)
     dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
 
Ini berarti bahwa alam  raya  telah  ditundukkan  Allah  untuk
manusia.  Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Namun pada saat yang sama,  manusia  tidak  boleh  tunduk  dan
merendahkan  diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan
Allah untuknya, berapa pun harga  benda-benda  itu.  Ia  tidak
boleh   diperbudak   oleh  benda-benda  itu.  Ia  tidak  boleh
diperbudak    oleh    benda-benda    sehingga     mengorbankan
kepentingannya  sendiri.  Manusia dalam hal ini dituntut untuk
selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun  asalkan
yang   diraihnya   serta  cara  meraihnya  tidak  mengorbankan
kepentingannya di akhirat kelak.
 
                              ***
 
Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian  ini AKHLAK.htm dengan  menyatakan
bahwa  keberagamaan  seseorang  diukur  dari  akhlaknya.  Nabi
bersabda,
 
     Agama adalah hubungan interaksi yang baik.
 
Beliau juga bersabda:
 
     Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan
     (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi
     akhlak yang luhur (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).[]

0 komentar:

Posting Komentar