PENGANTAR PENDIDIKAN dan TEORI-TEORI BELAJAR
Pendahuluan
Rancangan dasar pendidikan pada prinsipnya adalah merupakan pengantar
pembangunan manusia “seutuhnya”. Dipandang secara semesta, pendidikan
adalah upaya-upaya yang telah dilakukan oleh orang tua dalam sebuah
keluarga, anggota masyarakat dalam lingkungan, guru-guru dalam
masyarakat, dan oleh pemerintah dalam sebuah negara yaitu dalam rangka
mewujudkan pembangunan manusia “seutuhnya”. Menelusuri pembangunan
manusia “seutuhnya” khususnya dalam dunia pendidikan, adalah tidak
mungkin tanpa memperhatikan peran pendidikan dan yang dapat diharapkan
darinya. Kaitan dengan ini, maka pendidikan formal (sekolah) harus
dianggap sebagai bagian masyarakat yang tidak lain adalah sebagai salah
satu alat pendidikan dan pelatihan yang terorganisasi bagi
anggota-anggota masyarakat untuk menegakkan harkat dan martabat dalam
rangka mendukung kemajuan bangsa.
Dalam konteks pendidikan formal (sekolah) sebagai salah satu alat
pendidikan dan pelatihan bagi anggota masyarakatnya, maka pendidikan
nonformal dalam hal ini adalah merupakan salah satu bagian dari
pelaksanaan pendidikan nasional. Sebab, pelaksanaan pendidikan sifatnya
dapat diberlakukan dalam keluarga, lembaga pendidikan dan dalam
masyarakat secara umum. Hal ini terlihat pada amanat UU RI No. 20/2003
tentang sistem pendidikan nasional. Dan pendidikan nonformal dijelaskan
pada BAB I/Pasal 1 Ayat (12) “bahwa pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang”. Kemudian lebih lanjut dijelaskan dalam
Pasal 26 Ayat (2) “bahwa pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional”. Dan Ayat (6) menjelaskan “hasil pendidikan nonformal
dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah
melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk
pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan”.
Dengan demikian, antara pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan
nonformal merupakan satu kesatuan jalur pendidikan nasional yang
diselenggarakan secara terpisah dengan tetap mengacu pada standar
nasional pemdidikan (SNP) sebagaimana yang telah diatur dalam UU RI No.
20/2003 tentang sistem pendidikan nasional. Kaitan dengan ini, maka
jalur-jalur pendidikan tersebut diselenggarakan tidak lain adalah untuk
melayani masyarakatnya dalam rangka pembangunan manusia “seutuhnya”.
Namun demikian, dalam konteks pembangunan manusia “seutuhnya” dewasa ini
pertanyaan yang paling penting yang harus dijawab adalah pendidikan
semacam apa yang berfaedah bagi orang Indonesia? Untuk menjawab dengan
“tepat” memang sangatlah sulit, namun jawaban tak langsung dan menyebar
secara umum untuk dikembangkan dan digalakkan adalah pendidikan yang
berguna. Yakni pendidikan yang mendorong pendidikan sebagai pergulatan
budaya, keikutsertaan pelajar (warga belajar), hubungan antar subjek,
langkah-langkah yang terarah pada perwatakkan yang mementingkan
masyarakat. Jika tidak, pendidikan tidak akan dapat berkembang sebagai
sarana pembangunan manusia “seutuhnya” yang sesuai dengan corak dan
karakteristik bangsa ini dan yang tetap berpatrol pada prinsip dasar
pendidikan itu sendiri sebagai pengantar pembangunan manusia
“seutuhnya”.
Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan pengantar bagi kita untuk
memasuki pada pembahasan yang sifatnya mendasar tentang asal-muasal
pendidikan. Dengan demikian, pada bagian ini kita terlebih dahulu akan
mendiskusikan tentang Apa itu Pendidikan?. Dan kemudian pembahasan inilah yang kita pakai sebagai jalan masuk untuk pembahasan-pembahasan pada bagian berikutnya
Bagian I
Apa itu Pendidikan?
Untuk dapat membahas tentang apa itu pendidikan? Maka kita akan memulainya dari pembahasan istilah pedagogi yang ditarik dari kata paid artinya anak. Dan agogos artinya,
membimbing atau memimpin. Dengan demikian, pedagogi secara harafiah
adalah berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin (mengajar)
anak. Selanjutnya, kata pedagogi juga kita kenal dalam bentuk paedagogi dan paedagogik. Paedagogi
artinya pendidikan, sedangkan paedagogik adalah ilmu pendidikan.
Keduanya berpengertian sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
merenungkan tentang gejala-gejala dalam perbuatan mendidik. Istilah
paedagogiek adalah berasal dari kata Yunani yaitu paedagogia yang
berarti pergaulan dengan anak-anak, dan paedagogos ialah seorang pelayan
atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan
menjemput anak ke dan dari sekolah sampai ke rumahnya. Dengan demikian,
nyatalah bahwa proses pendidikan pada anak-anak di Yunani kuno sebagian
besar diserahkan kepada paedagogos itu.
Paedagogos yang berasal dari kata paedos dan agoge yang
memiliki makna (saya membimbing atau memimpin anak) tersebut, mulanya
berkonotosi sebagai pelayan bujang (pekerja rendahan), namun dewasa ini
bergeser menjadi makna yang dipakai untuk suatu pekerjaan “mulia” yang
dikenal dengan sebutan paegoog (pendidik atau ahli didik). Yang
tugasnya adalah mendidik, membimbing, dan membantu anak (orang belum
dewasa) dalam pertumbuhannya agar dapat “berdiri sendiri” menuju ke arah
kedewasaan. Jadi, dari uraian singkat di atas maka dapatlah kita
simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar (sengaja) orang dewasa
untuk perkembangan jasmani dan rohani peserta didiknya menuju ke arah
kedewasaan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa makna pendidikan dewasa
inipun tidak hanya sebagai usaha sadar (sengaja) orang dewasa (guru)
untuk mengembangkan (anak) tetapi pendidikan lebih sebagai wahana
‘interaksi’ antara guru dengan murid (warga belajar) menuju proses
pemanusiaan manusia. Dengan perkataan lain bahwa anak tidak hanya
dilihat sebagai ‘objek’ pendidikan, tetapi juga sebagai ‘subjek’
pendidikan yang dapat ‘mengembangkan dirinya sesuai dengan kompetensi
dan potensi-potensi serta kebutuhan dasarnya dalam rangka aktualisasi
diri sebagai individu yang mandiri. Dengan demikian, makna dasar
pendidikan sebagai jembatan usaha pendewasaan anak dapat terealisasi
dalam hasil nyata dan ‘menggembirakan’ manakala anak benar-benar
diletakkan sebagai objek yang sekaligus dapat bertindak sebagai subjek
pendidikan itu sendiri.
Pada titik selanjutnya, ketika kita berbicara tentang pendidikan
sebagai ‘jalan’ untuk mendewasakan anak (manusia) yang belum dewasa agar
menuju kedewasaan, maka yang terpikir adalah masalah teori pendidikan,
metodenya, administrasinya, atau problem-problem didalamnya yang
kesemuanya itu menjadi aspek-aspek penting untuk memproses anak
(manusia) ke arah kedewasaan atau memanusiakan manusia. Sebagaimana yang
telah kita pahami bersama bahwa hal yang dipikirkan itu adalah
merupakan bagian dari “masalah” misi pendidikan yakni mewariskan ilmu
dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain;
pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum,
penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang terbeban (concern) baik itu seniman, budayawan, ataupun rohaniawan terhadap generasi selanjutnya.
Dengan begitu, apa yang terpikirkan oleh kita di atas sudah sejak
lama telah menjadi ‘pergulatan ilmiah’ diawal kelahiran pendidikan.
Dimana jika ditilik secara historis ‘barat’, maka pada awalnya
pendidikan digeluti oleh tokoh-tokoh agama misalnya. Apa yang terjadi di
Mesir kuno (sejak abad 30 SM) atau sebelumnya di Sumeria (Iraq utara
dimana disana terdapat cerita Taman Eden) adalah merupakan bukti sejarah
bahwa pendidikan telah diemban atau telah diberikan melalui kegiatan
kesenian atau budaya oleh orang-orang yang menggeluti pada bidangnya
masing-masing. Sumber ilmu pengetahuan mereka adalah dari ajaran
turun-temurun seperti yang termuat dalam kitab-kitab ‘suci’ dan
kitab-kitab kuno; misalnya di India (tepatnya di lembah Indus), pendeta
Hindu lewat kitab Veda-nya (1200 SM) mengajarkannya kepada generasi
penerus isi kitab tersebut. Budha (483 SM) juga banyak memperbaharui
kondisi sebelumnya, dan kemudian ajaran Budha menyebar ke daerah China
walaupun sebelumnya China mencatat mendapat mengaruh dari Confucius,
Laozi (Lao-Tzu) serta filsuf lainnya pada (770-256 SM). Sementara di
belahan Eropa, cikal bakal pendidikan adalah lewat pemikir-pemikir yang
sengat kental dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno melalui
cerita-cerita seperti Iiiad dan Odyssey (sekitar abad 8 SM). Namun,
sejak zamannya Socrates, Plato, Aristoteles, dan Isocrates ada perubahan
mendasar dalam konsep pendidikan.
Socrates (400 SM) menekankan prinsip-prinsip universal dalam
pengajarannya melalui kebenaran, keindahan, dan kebaikan secara umum
dengan bentuk metode pendekatan yang melibatkan kesadaran anak didiknya.
Plato sebagai murid Socrates, melanjutkan prinsip tersebut dan menjadi
orang pertama mendirikan sekolahan secara institusional (Academy). Kemudian
Aristoteles sebagai murid Plato, mengembangkan prinsip rasional sebagai
hal terpenting dalam pendidikan. Melalui prinsip rasional, manusia
dapat melihat fenomena alam dan memahami hukum-hukum alam sekaligus
untuk menangkis pendapat para ekstremis yang cenderung berpikir
irasional.
Secara institusional Yunani (tepatnya Yunani Utara) dapat dibilang
lebih maju cara berpikirnya, karena menjadikan pendidikan sebagai sarana
untuk mempersiapkan generasi muda menjadi calon pemimpin di bidang
pemerintahan atau masyarakat. Untuk dapat merealisasikan hal tersebut,
mereka menekankan pengajaran di bidang seni, filsafat, pertanian,
pengembangan kreativitas dan juga kesegaran jasmani. Namun demikian,
perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran pada objek pelajar (yang
dididik). Dimana Plutarach, lebih melihat bahwa pendidikan bagi orang
dewasa adalah lebih penting daripada pendidikan bagi anak-anak. Dengan
demikian, Isocrates meletakkan dasar prinsip-prinsip kepemimpinan
diarahkan kepada proses pembelajaran orang dewasa yang kemudian
ajarannya sangat mempengaruhi terhadap pendidikan di Romawi.
Lain halnya pada abad pertama, orang Romawi lebih mementingkan
keorganisasian sehingga pelajaran pidato, penguasaan massa, pengembangan
kepribadian merupakan kegiatan pendidikan yang sangat urgen pada zaman
itu. Mulailah pelajaran bahasa menjadi populer bersamaan dengan sistem
organisasi yang lebih baik, akibatnya keteknikan lebih maju yang sudah
pasti akan diikuti oleh arus informasi yang lebih maju pula. Dalam hal
ini yang patut dicatat adalah kontribusi Quintilian sebagai seorang
pendidik yang mulai melihat perlunya pendidikan melalui pertimbangan
(berdasarkan) perkembangan mental muridnya. Metode ini dikembangkan
dengan cukup baik di Romawi, sehingga menjadikan Romawi sebagai penguasa
tunggal kala itu. Dimana pendidikan dijadikan sebagai alat kekuasaan
dan memperlebar daerah kekuasaan.
Pendidikan (di zaman Renaissance)
Faktor keagamaan semakin berperan dalam perjalanan pendidikan
terutama sebelum abad X dan setelah runtuhnya kekuasaan Romawi. Hal ini
terlihat jelas terutama jika ditilik dari masyarakat ‘barat’ yang dimana
pengaruh Yahudi dan Kristen (khususnya Roman Katolik) yang cukup besar.
Pendidikan dilakukan di biara-biara dan diajarkan oleh Monk (pendeta
yang mengkhususkan pelayanan terhadap sesama). Namun perlu dicatat bahwa
dalam perjalanan pendidikan, peran agama seolah-olah ‘membodohi’
masyarakat ketika agama kala itu (Yahudi dan Roman Katolik) dipakai
penguasa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan
demikian, di abad ke V mulailah dibuat texbook untuk
masing-masing pengetahuan dalam satu koleksi (yang dikenal dengan seven
liberal art), namun pendidikan masih ‘itu-itu juga’ tidak banyak yang
berubah. Dalam artian pendidikan masih dipakai sebagai ‘alat’ kekuasaan
para ‘tiran’ dengan memperdayakan biara-biara sebagai sarana sosialisasi
atau pengabaran agama itu sendiri dengan memasukan unsur ‘kepentingan’
agar kekuasaan para penguasa dapat terus ‘langgeng’.
Suasana selanjutnya adalah pada abad IX dimana Raja Alfred yang
barangkali dapat dikatakan termasuk orang yang sangat peduli dibidang
pendidikan yakni mendorong untuk berdirinya biara-biara serta dibikinnya
kurikulum yang lebih mapan; dengan melepaskan nilai-nilai kepentingan
diluar kepentingan pendidikan. Pada perkembangan selanjutnya, juga
terjadi di Italia (Salermo), Jerman, Spanyol, England (Oxford College –
1249), Paris (Sorbone – 1253) dan tentunya juga di timur yang terlihat
serius mengelola ‘sekolahan’. Seperti Al-Azhar University yang didirikan
pada tahun 970, disamping itu di Maroco juga ada Al-Qarawiyin (859)
pada abad pertengahan. Dimasa ini, banyak terjadi kegiatan saling tukar
informasi pola barat dan timur yang tentunya saling menguntungkan dengan
tetap mengedepankan nilai-nilai peradaban masing-masing. Dan mungkin
hal inilah yang juga menjadi faktor utama munculnya faham humanisme dan
renaissance (kelahiran kembali).
Kemudian pada abad 13 – 15 terjadi perubahan yang sangat mendasar,
dimana pendidikan lebih melihat pada pentingnya humanisme daripada
masalah keagamaan. Dengan perkataan lain, pengetahuan faham Yunani
ataupun masalah latin klasik berkembang menjadi awal terbentuknya
sekularisasi. Gerakan Renaissance (kelahiran kembali) ini dimulai dari
arah Itali yang kemudian begitu cepat menyebar dibelahan Eropa, yakni
yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar dibidang seni
arsitektur dan literatur. Sejarah mencatat bahwa Desiderius Erasmus
adalah tokoh pendidikan liberal, dimana ia berpendapat bahwa pengajaran
secara liberal adalah pilihan yang tepat, dan memahami maksud suatu
literatur merupakan lebih berguna daripada menghafal. Dengan demikian,
maka mulailah diselenggarakan pelajaran sejarah, perbintangan,
mythology, arkeology, dan scriptur yang kesemuanya itu diberikan bukan
untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan dipelajari secara terus menerus
sesuai dengan perkembangannya.
Selanjutnya pada abad ke XV merupakan ditemukannya alat cetak oleh
Johanes Gutenberg, dimana ditemukan alat cetak tersebut disadari sebagai
salah satu faktor pendorong perubahan dibidang pendidikan. Hal lain
yang juga berkembang di abad ini adalah sekitar tahun 1640 yaitu adanya
perhatian terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan secara
‘formal’ di sekolah umum (yang sebelum zaman ini para perempuan terjadi
semacam pembedaan). Kaitan dengan ini, maka kehadiran Renaissance
menjadi ‘angin’ perubahan dibidang agama, yakni terjadinya ‘reformasi’
agama (Kristen) oleh John Calvin, Martin Luther dan Huldreich Zwingli di
awal abad XVI yang telah banyak mempengaruhi terhadap pola pendidikan
pada zaman itu dari zaman sebelumnya (yang menjadikan pendidikan sebagai
alat kekuasaan penguasa dengan memperalat agama).
Reformasi dibidang agama tersebut adalah perjuangan untuk ‘merubah’
kekuasaan sentralisasi Roman Katolik yang membelenggu sektor pendidikan,
terutama sekali masalah bahasa dan kebebasan untuk melihat sesuatu yang
sebelumnya dianggap ‘sakral’. England misalnya, mulai memakai bahasa
inggris untuk pengantar pengajaran. Disamping itu, gerakan reformasi
tersebut juga telah mendorong peran keluarga dalam ‘membentuk’ generasi
yakni orang tua didorong untuk mengajarkan ajaran agama dan tidak
tergantung pada pemimpin agama (seperti pendeta atau romo). Martin
Luther juga mendorong terjadinya produktivitas berpikir dengan mengajak
pemerintah, orang tua, masyarakat dan lembaga pendidikan agar saling
bahu-membahu untuk menggulirkan reformasi disegala bidang (terutama
bidang agama dan pendidikan). Hal yang senada ditekankan oleh
Melanchthon seorang reformis dari Jerman, dengan ‘keras’ menegaskan
bahwa peran pemerintahlah yang harus dominan karena posisinya sebagai
penaggungjawab masalah pendidikan bagi warganya (bukannya diserahkan
sepenuhnya kepada lembaga keagamaan).
Sekelumit gambaran pengalaman perjalanan pendidikan dari masa ke masa
di atas, telah memberi pengertian umum kepada kita tentang asal-muasal
pendidikan. Pendidikan yang sejatinya adalah untuk pemanusiaan manusia
dalam rangka ‘membebaskan’ manusia dari tirai-tirai yang membelenggu dan
doktrin-doktrin yang ‘membutakan’ kreativitas manusia dari cara-cara
berpikirnya untuk dapat lebih progress. Dengan demikian, dewasa ini
carut-marut ‘perjalanan’ pendidikan telah dengan sendirinya mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh peradaban dan kultur masyarakatnya. Sehingga tidak
heran ketika corak dan model pendidikan di tiap negara-bangsa memiliki
karakteristik masing-masing dengan beragam ‘makna’ dan juga tujuannya.
Maka dewasa inipulah kita dapat mengenal dan menemukan beragam
orientasi dan program pendidikan dikembangkan dan diselenggarakan
diberbagai macam lingkungan, seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan
lingkungan masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks pengembangan dan
penyelenggaraan pendidikan macam itulah sehingga kita mengenal istilah tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat).
Tri pusat pendidikan ini sejatinya haruslah berlaku sistem “tiga
arah” untuk dapat menciptakan suasana pendidikan yang “demokratis” dan
pendidikan yang bermakna guna bagi kelangsungan ummat manusia yang
dididik (yang diberi pendidikan) sehingga cita-cita dasar pendidikan
untuk membangun manusia “seutuhnya” dapat diwujudkan dengan nyata.
Dengan demikian, pada titik ini kita akan diskusikan apa itu ‘tri pusat
pendidikan’?.
Pertama, pendidikan keluarga adalah pendidikan pertama dan utama
dalam memberikan nilai-nilai dasar “kehidupan” yang didalamnya terendap
nilai-nilai agama, budaya, lingkungan, sikap/perilaku, watak dan
karakteristik kepada anak-anaknya sebelum memasuki pendidikan di sekolah
(formil). Itu artinya, bahwa peran orang tua dalam keluarga sangatlah
strategis dalam “memagari” nilai-nilai kehidupan tersebut agar kemudian
tidak “ternoda” oleh nilai-nilai yang lain yang sifatnya merusak bagi
kelangsungan perkembangan anak-anaknya. Namun demikian, dewasa ini yang
terjadi adalah cenderung peran orang tua (keluarga) diabaikan oleh
banyak pihak tidak terkecuali orang tua (keluarga) itu sendiri yang
menganggap bahwa sekolahlah yang harus berinisiatif dan bertanggungjawab
penuh atas pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Akibatnya,
anggapan yang begini seolah-olah menempatkan peranan sekolah menjadi
“sentral” sehingga tidak heran kemudian yang terjadi adalah praktik
“pemaksaan” kehendak dilakukan oleh sekolah untuk membentuk anak
(peserta didik). Padahal anak (manusia) tidaklah dapat dibentuk,
melainkan hanya dapat diarahkan, dipengaruhi, dan dikembangkan
berdasarkan potensi (bakat) yang dibawa sejak lahir atau potensi-potensi
yang didapatnya dari lingkungan dimana ia (anak) berkembang. Sebab
pendidikan sekolah sejatinya berfungsi sebagai sarana lanjutan proses
pendidikan anak agar nilai-nilai kehidupan yang telah ditanamkan oleh
orang tua (keluarga) sebelumnya dapat dipertahankan serta dikembangkan
pada masing-masing jenjang pendidikan sesuai dengan perkembangan zaman
yang dihadapi.
Kedua, pendidikan formal (sekolah) adalah merupakan salah satu jalur
pendidikan yang “melanjutkan” pendidikan keluarga dalam rangka
mengembangkan potensi diri anak melalui proses pembelajaran yang lebih
sistematis dan terorganisir untuk tujuan mencapai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berdaya guna bagi kelangsungan hidup anak (bangsa) yang
cerdas dan berdaya saing, berakhlak baik, serta bertanggungjawab.
Pendidikan formal (sekolah) sebagaimana yang tertuang dalam BAB I Pasal 1
Ayat (11) UU RI No. 20/2003 adalah “jalur pendidikan yang terstruktur
dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi”. Dari bunyi perundangan tersebut, maka pendidikan
formal (sekolah) adalah jalur pendidikan yang diselenggarakan secara
sistematis dari jenjang yang kecil, menengah sampai ke jenjang yang
tinggi yang bersifat formal (resmi). Disebut formal (resmi), karena
penyelenggarannya dilaksanakan pada sekolah-sekolah atau pada perguruan
tinggi-perguruan tinggi baik negeri maupun swasta serta lembaga
pendidikan lainnya yang bersifat formil.
Ketiga, lingkungan pendidikan masyarakat adalah kegiatan pendidikan
yang dilakukan oleh masyarakat sebagai kelompok Warga Negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang
pendidikan. Artinya bahwa, dalam penyelenggaraan pendidikan dapatlah
dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu dalam proses memanusiakan
manusia. Dan dalam konteks ini yang perlu dicatat adalah bahwa orang tua
(keluarga), masyarakat, dan sekolah haruslah terjadi hubungan yang
harmonis. Yakni kepentingan antara tiga lingkungan pendidikan tersebut
harus bergerak dalam suasana yang “komunikatif” dan “sinerginitas” dalam
rangka untuk saling memberi, memerima, dan melengkapi satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian, terciptalah sistem komunikasi kepentingan
“tiga arah” yang berfungsi saling pengaruh dan mempengaruhi.
Dengan begitu, kita tidak lagi beranggapan bahwa pendidikan hanya
dapat diselenggarakan atau didapat lewat “sekolah” saja akan tetapi
pendidikan dapat diperoleh melalui apa dan dimana saja (tidak harus di
sekolah). Kaitan dengan ini, maka keberadaan pendidkan nonformal dan
informal harus betul-betul ditempatkan sebagai institusi pendidikan dan
pembelajaran yang kedudukannya “sama” dengan pendidikan di sekolah.
Sehingga masyarakat tidak lagi memandang bahwa pendidikan noformal (PLS)
dan pendidikan informal (keluarga dan masyarakat) hanya sekedar sebagai
pelengkap atau penambah pendidikan formal (sekolah), tetapi lebih
diletakan sebagai satu kesatuan institusi pendidikan yang sama-sama
berperan memanusiakan manusia.
Kaitan dengan ini, satu hal perlu sekali dicatat bahwa pendidikan
formal (sekolah) dalam perjalanan panjangnya telah mengalami
“kegagalan”; yakni banyaknya masyarakat Indonesia yang berada pada
kelompok buta huruf, gagal sekolah (putus sekolah) akibat dari
“kekakuan” aturan yang diterapkan oleh sekolah seperti beban biaya,
kurikulum yang kaku dan sebagainya. Maka dewasa ini “kegagalan”
pendidikan formal (sekolah) tersebut telah dibebankan kepada pendidikan
nonformal dan informal yakni yang kita kenal dengan program paket A, B,
dan paket C. Tidak hanya itu, pendidikan nonformal dan informal juga
mempunyai tugas yang lebih “luas” dibanding pendidikan formal (sekolah)
dalam rangka penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu terlihat dari
program pendidikan pada kelompok bermain (play group), PAUD, pendidikan life skills, pendidikan
pemberdayaan perempuan (kesetaraan), pendidikan keaksaraan, dan
pendidikan kepemudaan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik. Yang kesemuanya ini
diselenggarakan melalui satuan pendidikan nonformal yang terdiri atas
lembaga pelatihan, lembaga kursus, kelompok belajar, PKBM, majelis
taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Merevolusi Pendidikan Persekolahan
Apa yang telah diuraikan di atas, bahwa sekolah adalah salah satu
institusi pendidikan nasional yang bertugas dan bertanggungjawab untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa atau mempunyai tugas dan tanggungjawab
“memanusiakan manusia”. Tetapi apa yang terjadi, sejarah telah
membuktikan bahwa dalam perjalanannya yang “panjang”, eksistensi sekolah
sebagai salah satu lembaga pendidikan telah mengalami “kegagalan” dalam
menciptakan “sumber daya manusia” yang handal, mandiri, berkualitas dan
bermutu, kreatif, inovatif, demokratis, anamah, berahlak baik, serta
bertanggungjawab sebagaimana yang dicita-citakan bersama. “kegagalan”
sekolah dalam menciptakan sumber daya manusia Indonesia sebagaimana yang
dicita-citakan tersebut menurut hemat saya, dipicu oleh faktor-faktor
yang diantaranya adalah (1) penerapan sistem pendidikan nasional yang
sekian lama bersifat sentralistik. (2) kebijakan anggaran masih sangat
rendah (minim) terhadap bidang pendidikan termasuk untuk gaji tenaga
kependidikan dan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. (3)
kurikulum yang kaku. (4) peningkatan profesionalisme guru dan tenaga
kependikan yang tidak maksimal dan berkesinambungan. (5) adanya
kecenderungan pengelola sekolah untuk bertanggungjawab kepada
“birokrasi” dan bukannya pada masyarakat. (6) ganti Menteri Pendidikan,
ganti kekuasaan. Dan (7) pembuatan kebijakan pendidikan yang tidak
melibatkan unsur masyarakat atau stake holders (baca: Juwaidin dalam “Pendidikan yang Bobrok”).
Kaitan dengan faktor-faktor yang menjadi pemicu kegagalan pendidikan
dipersekolahan di atas, maka dewasa ini pendidikan di sekolah perlu
“direvolusi” yakni dengan merubah secara total “kebiasaan-kebiasaan”
yang merugikan bagi kelangsungan kehidupan proses pendidikan di sekolah
yang selama ini ditengarai telah “gagal” mencetak sumber daya manusia
sebagaimana yang dicita-citakan. Dengan demikian, pendidikan di
lingkungan sekolah perlu ditanamkan, dirumuskan, dan dilaksanakan
“paradigma baru” sebagai sebuah terobosan pemikiran tentang pendidikan
menuju sekolah masa depan yang tidak harus kaku. Kaitan dengan ini, maka
agenda strategis yang menjadi keharusan untuk segera kita pikirkan dan
dilaksanakan adalah mengkaji ulang sistem pendidikan nasional; dimana
sistem pendidikan nasional yang telah dibangun selama ini (baik zaman
Orde Baru maupun zaman yang tidak “jelas” ini), ternyata belum mampu
sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan nasional dan global dewasa
ini. Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan yang selama
ini merupakan fokus pembinaan masih menjadi masalah yang paling akut
dalam dunia pendidikan kita yakni jumlah angka penduduk usia pendidikan
dasar yang tidak “terurus” masih sangat besar, berjubelnya angka
buta/melek huruf, angka putus sekolah, dan juga angka pengangguran yang
melonjak naik akibat dari implementasi pendidikan di (sekolah) yang
tidak relevan dengan dunia kerja. Sementara itu, kualitas out-put pendidikan kita yang masih juga jauh dari harapan.
Pada sisi lain, tantangan dan perkembangan lingkungan strategis (baik
nasional maupun internasional) dalam berbagai bidang kehidupan juga
semakin berat. Sementara ditingkat lokal, tuntatan masyarakat terhadap
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
lebih adil, terbuka, dan demokratis juga semakin santer disuarakan oleh
banyak anggota masyarakat kita. Hal ini terbukti dengan banyaknya
tuntutan anggota masyarakat dalam perbaikan tata hubungan antara pusat
dan daerah, desentralisasi penyelenggaraan pemerintah, pembagian tugas,
wewenang dan sumber daya yang lebih berimbang, serta tuntutan terhadap
pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta bertanggungjawab dalam
melaksanakan pembangunan untuk percepatan pencapaian tujuan yang
dicita-citakan secara nasional.
Kaitan dengan hal di atas, maka paradigma sistem pendidikan nasional
yang selama ini menjadi acua penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
perlu dikaji dan disempurnakan lagi mengingat bangunan pendidikan kita
selama ini yang berpedoman pada konsepsi input-output analisys atau education production function yakni bangunan pendidikan yang mempunyai akar teori pada bidang ekonomi produksi ialah yang meyakini bahwa apabila input diperbaiki, maka secara otomatis output akan
menjadi baik pula. Namun pada kenyataannya, landasan teori yang
berhasil di dunia industri ini tidaklah serta-merta dapat diterapkan
apalagi dijadikan pondasi dalam dunia pendidikan. Hal ini sadari bahwa
lembaga pendidikan (seperti sekolah) tidaklah dapat disamakan dengan
“pabrik” dalam dunia Industri, sebab input pendidikan bukan input yang bersifat statis tetapi input dinamis
yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor (khususnya faktor proses
dan konteks pendidikan). Untuk itu, paradigma sistem pendidikan nasional
haruslah mencakup kedua faktor tersebut yakni (proses dan konteks)
disamping faktor input dan output pendidikan. Jika
demikian halnya, maka masalah-masalah semacam kurikulum, kualitas guru,
metodepengajaran yang fektif dan partisipatif serta menyenangkan menjadi
sangat penting dalam proses pendidikan khususnya di (sekolah yang
selama ini terlalu ‘kaku”).
Dengan demikian dalam penyelenggaraan pendidikan nasional khususnya
di (sekolah), kedepan perlu adanya perhatian “serius” terhadap
perbaikaan (penyempurnaan) sistem pendidikan nasional. Perhatian serius
terhadap perbaikan atau penyempurnaan sistem pendidikan nasional
tersebut adalah ditujukan terutama pada aspek-aspek seperti; kurikulum,
sarana dan prasarana, masalah tenaga kependidikan, manajemen pendidikan
dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Aspek Kurikulum
Kurikulum pendidikan nasional yang hendak kita diskusikan disini
adalah kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kompetensi dasar (competency-based curriculum). Dalam
konsep ini, kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal yang
harus dikuasai oleh seorang peserta didik setelah yang bersangkutan
menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan/atau satu
satuan pendidikan. Dengan demikian, seorang peserta didik (seorang warga
belajar) tidak dapat melanjutkan pelajaran ke unit atau satuan
pendidikan berikutnya sebelum yang bersangkutan menguasai unit pelajaran
yang dipersyaratkan. Sehingga kurikulum berdasarkan kompetensi ini
diharapkan dapat menjamin tercapainya standar kualitas tamatan (lulusan)
lembaga pendidikan tertentu (yang selama ini menjadi masalah pendidikan
nasional kita karena kurikulum yang kita “imani” dewasa ini
tidak/kurang mencerminkan penekanannya pada kompetensi tertentu). Dengan
demikian, kita akan mendiskusikan tentang beberapa “persyaratan” harus
diperhatikan terkait dengan penerapan kurikulum model ini yaitu:
Pertama, penekenan materi kurikulum. Yakni kedepan kurikulum
pendidikan hendaknya ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup
menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat.
karena itu, mata pelajaran ilmu-ilmu dasar seperti matematika dan IPA
hendaknya menjadi inti pengembangan kurikulum disetiap jenis dan jenjang
pendidikan disamping itu materi pendidikan dan pelatihan keterampilan (life skills) juga harus diatur dalam materi kurikulum.
Sejalan dengan itu, mata pelajaran yang menjadi dasar keseluruhan
perkembangan kepribadian peserta didik (warga belajar) yaitu olah raga
dan kesenian juga perlu mendapatkan penekanan yang berimbang dalam
kurikulum pendidikan nasional kita. Tentu saja, kesemua mata materi
kurikulum pendidikan yang dituangkan dalam bentuk mata pelajaran
tersebut haruslah dikembangkan berdasarkan pendidikan moral dan etika
yakni melalui mata pelajaran pendidikan agama serta mata pelajaran
lainnya yang relevan sehingga output pendidikan kita memiliki pondasi yang kuat sebagai bangsa yang berbudi pekerti luhur serta bertanggungjawab.
Kedua, kurikulum pendidikan harus bersifat pedoman pokok kegiatan
pembelajaran siswa. Itu artinya, bahwa kurikulum tidak terlalu rinci dan
dapat dikembangkan atau diperdalam secara mandiri dan kreatif oleh para
guru sesuai dengan potensi siswa (warga belajar) yang bersangkutan,
disesuaikan dengan sumber daya pendukung, dan kondisi daerah setempat.
Prinsip kurikulum macam ini, menjadi sangat “cocok” dengan kondisi
keadaan dan tuntutan zaman mengingat “dunia” saat ini cepat berubah
sehingga banyak hal (termasuk kurikulum) menjadi cepat usang dan tidak
relevan.
Ketiga, kurikulum pendidikan sejatinya haruslah berpatokan pada
standar global/regional, berwawasan nasional, dan berbasis kawasan yang
dilaksanakan secara lokal. Dengan demikian, kualitas kurikulum
pendidikan setara dengan negara-negara lainnya yang mempunyai wawasan keunggulan, namun
dapat disesuaikan dengan kondisi lokal yang berbeda-beda sehingga
dengan kurikulum macam ini kita dapat memacu semangat kerja tetapi tidak
memaksakan kehendak.
Keempat, kurikulum pendidikan hendaknya merupakan satu kesatuan dan
kesinambungan dengan satuan dan jenjang pendidikan di atasnya. Sehingga
kurikulum satu satuan pendidikan merupakan landasan yang kokoh bagi
kurikulum pada satuan pendidikan selanjutnya. Misalnya, kurikulum
pendidikan di satuan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) haruslah
merupakan satu kesatuan dan berkesinambungan dengan jenjang pendidikan
di atasnya yakni SLTP dan seterusnya.
Kelima, pengembangan kurikulum tidak lagi menjadi ototritas pemerintah (pusat), tetapi merupakan shared activity dengan
pemerintah daerah (bahkan dengan komunitas/masyarakat). Pemerintah
cukup menangani kurikulum pendidikan yang sifatnya “inti” (core curriculum) yang umumnya meliputi: Matematika, IPA, dan Bahasa. Sedangkan kurikulum yang sifatnya extended disusun dan dikembangkan oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
Keenam, pengembangan kurikulum tidak diarahkan untuk menciptakan
“satu kurikulum tunggal” yang diberlakukan untuk semua tingkat usia
warga belajar. Tetapi kurikulum pendidikan hendaknya dapat dibedakan
untuk kelompok rata-rata, di atas rata-rata, dan dibawah rata-rata. Baik
itu dipengaruhi oleh faktor bawaan ataupun karena faktor ketersediaan
sumberdaya pendukung. Dengan demikian, kita dapat membedakan dengan
jelas cara mengukur tingkat pencapaian tujuan pembelajaran untuk setiap
kelompok anak (warga belajar).
Yang ketujuh adalah kurikulum pendidikan seyogianya memperhatikan
pendidikan yang terjadi dilingkungan keluarga dan masyarakat sebagai
satu kesatuan jalur pendidikan yang menjadi pilar pembelajaran sehingga
kegiatan dan proses pendidikan merupakan kolaborasi yang sinergis dari ketiga jalur pendidikan tersebut yang berfungsi saling memberi, menerima, dan mendukung satu dengan yang lainnya.
Aspek Manajemen Pendidikan
Pengaruh Sekolah terhadap Masyarakat
Apa yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam mempengaruhi perkembangan
masyarakatnya?. Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi satu-kesatuan
bagian dari tugas dan tanggungjawab sekolah sebagai salah satu institusi
pendidikan, maka dalam konteks sekolah dapat mempengaruhi perkembangan
masyarakatnya, orang menyebutnya sekolah sebagai lembaga investasi
manusiawi. Investasi jenis ini merupakan hal penting yang dapat
ditimbulkan sekolah bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat. Namun
demikian, manusia (masyarakat) itu sendirilah yang harus berperan
sebagai subjek setiap perkembangan, perubahan, dan kemajuan didalam
segi-segi kehidupannya. Kaitan dengan ini, sedikitnya ada tiga macam
pengaruh yang dapat dimainkan oleh pendidikan persekolahan terhadap
perkembangan masyarakat dilingkungannya yakni:
Pertama, mencerdaskan kehidupan masyarakat; dimana tingkat kecerdasan
masyarakat dapat dikembangkan melalui program pendidikan disekolah. Dan
masalah ini sepanjang sejarah persekolahan selalu menjadi isi dan arah
dari program pendidikan di sekolah-sekolah. Yakni baca-tulis, menghitung
raraban, dan pengetahuan umum. Hal inilah yang merupakan “ciri khas”
dari sekolah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (yang sampai
sekarang belum juga “cerdas”).
Kedua, membawa virus pembaharuan bagi perkembangan masyarakat;
sekolah haruslah dapat menjadi agen virus perubahan bagi perkembangan
masyarakatnya yang lebih baik, sebab pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah menghadapkan masyarakat pada peluang dan
sekaligus tantangan dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini memberi
isyarat bagi pendidikan di persekolahan untuk dapat melahirkan pemikiran
dan praktek-praktek baru yang inofatif sesuai dengan jenis dan
tingkatan dari masing-masing sekolah untuk diarahkan kepada perbaikan
kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, hal yang perlu diingat adalah
bahwa posisi sekolah haruslah mampu ditempatkan sebagai “transmisi” yang
akan dan selalu menangkap kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang
khas sebagai komponen penting dalam pendidikan.
Ketiga, memproduk masyarakat siap kerja (bukan siap latih); jika
selama ini sekolah hanya sebagai institusi yang mencetak manusia sekedar
hanya memiliki “ijazah”, maka sekarang perlu dikembangkan peran dan
fungsinya. Dimana sekolah tidak hanya berfungsi untuk menjadi sarana
transformasi (mentransfer) pengetahuan guru ke murid untuk siap latih
dan kemudian mendapat “ijazah” saja, tetapi lebih sebagai institusi yang
berkewajiban untuk menciptakan sumber daya manusia yang siap kerja.
Sebab untuk terjun dalam dunia kerja, seseorang memerlukan
kesiapan-kesiapan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Dengan demikian, kesiapan-kesiapan macam ini haruslah dinyatakan dalam
bentuk program dan isi kurikulum pendidikan pada masing-masing jenis dan
jenjang pendidikan dengan memperhatikan dan mengedepankan nilai-nilai
kultur masyarakat dimana pendidikan itu diselenggarakan.
Ketiga macam pengaruh yang dijelaskan di atas, merupakan agenda
penting yang harus diperankan oleh pendidikan dipersekolahan agar dapat
mengolah karakteristik masyarakatnya. Sehingga eksistensi sekolah
sebagai lembaga pendidikan yang terstruktur dan terorganisir tidak lagi
bermakna normatif (kaku) yang hanya terpaku pada “apa” yang tertuang,
tetapi harus dapat bergerak secara diealaborasi (fleksibel) untuk
melihat “bagaimana” sebenarnya yang terjadi terhadap masyarakat yang
notabenenya bertumbuh dan berkembang dengan dinamika dan identitas
tersendiri sesuai dengan pengalaman kesejahteraan (ekonomi), politik,
dan budayanya. Inilah yang disebut dengan karakteristik masyarakat itu,
karakteristik ini sejatinya haruslah menjadi komponen-komponen
terpenting dalam rangka menyusun program dan kurikulum pendidikan
mengingat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat selalu memunculkan
orientasi-orientasi dan tujuan-tujuan baru dari pendidikan itu sendiri.
Bagian II
Tujuan-tujuan Pendidikan
Bicara tentang tujuan pendidikan, maka pada prinsipnya tidaklah dapat
dilepaskan dari kondisi riil “lingkungan” dimana pendidikan itu
berlangsung. Dalam artian, bahwa tujuan pendidikan akan ditentukan oleh
perkembangan atau tuntutan zaman dan kebudayaan dimana kita hidup
(pandangan hidup manusia). Mengingat pandangan hidup manusia itu berbeda
dan berlainan, maka akan berbeda-beda pula titik berat
(penekanan/kecenderungan) serta orientasi yang hendak dicapai dalam
pendidikan itu. Misalnya, ada ahli didik yang menitikberatkan orientasi
pendidikan itu pada ketuhanan (agama). Itu artinya, bahwa semua kegiatan
pendidikan dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti
kepada Tuhannya. Dengan perkataan lain, anak dididik bukan untuk
kepentingan di dunia yang bersifat (hedonistik) belaka, tetapi didikan
yang diberikan kepada anak itu adalah merupakan persiapan untuk hidup
diakherat kelak. Begitupun sebaliknya, banyak orang yang lebih
mengutamakan pendidikan keduniawian dan bukan keakheratan dalam tujuan
pendidikanya.
Ditinjau dari sudut anak (manusia) disamping kedua pendirian tersebut
di atas, ada pula pendidikan yang mementingkan anak itu sendiri sebagai
‘pribadi’, dan juga ada pendidikan yang mementingkan manusia (anak) itu
pada anggota masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, muncullah apa yang
disebut dengan pendidikan individual dan pendidikan kemasyarakatan.
J.J. Rousseau misalnya, penganjur aliran Naturalisme ini lebih
mementingkan pendidikan individual daripada pendidikan kemasyarakatan.
Alasannya, bahwa pada hakekatnya semua anak (manusia) sejak dilahirkan
adalah baik (suci). Bagaimana perkembangan selanjutnya, akan sangat
ditentukan atau dipengaruhi oleh lingkungan/pendidikan yang diterimanya.
Jika pendidikan/lingkungannya baik, maka anak itu akan baik, dan
apabila pendidikan/lingkungannya buruk, maka anak tersebut akan buruk
pula perkembangannya. Dengan demikian sebagai pendidik, Rousseau
menganjurkan “pendidikan alam”. Dimana anak (manusia0 hendaknya
dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya; manusia atau
lingkungan jangan banyak mencampurinya dan mengenai hukuman dalam
pendidikannyapun adalah “hukuman alam”; alamlah yang akan mendidiknya.
Dengan demikian, “alamlah” yang berperan dominan terhadap pendidikan
anak (manusia), maka aliran ini dalam ilmu pendidikan dikenal dengan pesimisme pedagogis.
Itu artinya, bahwa pandangan ini tidaklah serta-merta dapat diterima.
Sebab, bagaimana anak itu dapat memilih atau membedakan mana yang benar
dan salah atau mana yang baik dan buruk jika dalam pertumbuhan
sewajarnya anak tersebut diserahkan secara “utuh” kepada alamnya.
Bukankah anak itu adalah pribadi yang “labil”?, jika demikian maka anak
haruslah didampingi dan dibimbing oleh lingkungan atau pendidikan.
Karena bagaimanpun juga, anak adalah pribadi yang akan berkembang
menjadi manusia sosial yang saling bebaur dan berinteraksi dengan
masyarakat luas.
Jadi, masalah pandangan inilah yang membuat Rousseau berbeda dengan
John Dewey. Seorang ahli filsafat dan ahli didik berbangsa Amerika ini
berpendapat bahwa pendidikan kemasyarakatanlah yang lebih penting
daripada pendidikan individual. Tujuan pendidikan menurut Dewey adalah
membentuk manusia agar menjadi warga negara yang baik. Untuk itu, anak
sebagai warga negara dan sebagai anggota masyarakat harus dididik untuk
menjadi orang yang menurut pimpinan dan dapat memberikan pimpinan atau
menjadi seorang yang ahli dalam suatu teknik. Pendeknya, tujan
pendidikan menurut Dewey adalah hendaklah mempersiapkan anak untuk hidup
didalam masyarakat.
Namun demikian, pandangan inipun berat sebelah karena kemungkinan
akan menimbulkan kolektivisme. Yakni suatu pendapat yang tidak
menghargai “penentuan diri sendiri atas tanggungjawab sendiri’ pada
seseorang yang berarti pula individualitas dikesampingkan. Jadi,
jelaslah bagi kita bahwa pendidikan itu harus dapat maju secara
bersama-sama; pendidikan individual jangan diabaikan. Maka pendidikan
harus berdasarkan pada pribadi atau individualitas anak (manusia),
begitupun pendidikan kemasyarakatanpun harus tertanam baik pada
anak-anak mengingat manusia itu tidaklah hidup sendiri di atas muka bumi
ini tetapi juga sebagai anggota masyarakat yang terikat oleh
aturan-aturan dan larangan-larangan sosial. Maka dalam konteks
perkembangan dan pertumbuhan anak, pandangan-pandangan di atas harus
dipakai kedua-duanya sebagai pijakan untuk menentukan
orientasi-orientasi dari tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Macam-macam tujuan dalam kegiatan Pendidikan
Dalam rangka mencapai tujuan dalam kegiatan pendidikan, maka
pekerjaan pertama dan utama yang harus kita lakukan adalah merumuskan
terlebih dahulu tentang tujuan apa yang hendak dicapai nantinya pada
saat proses/setelah kegiatan pendidikan tersebut. Kaitan dnegan ini,
Bloom dalam Imam Sutari Bernadib (1994) membedakan tujuan yang hendak
dicapai dalam pendidikan itu menjadi tiga yakni (1) cognitive domain adalah
meliputi kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat tercapai setelah
dilakukannya proses belajar-mengajar. Kemampuan tersebut meliputi;
pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Keenam kemampuan tersebut bersifat hierarkis. Artinya, untuk mencapai
semuanya (kemampuan itu) haruslah sudah memiliki kemampuan sebelumnya.
(2) affective domain ialah berupa kemampuan untuk menerima,
membentuk, dan mengarakterisasi. Artinya, suatu kemampuan yang terdapat
pada setiap individu yang dilihat sebagai suatu aset untuk mengolah
kemampuan yang telah ada. (3) psychomotor domain yakni suatu
kemampuan yang terdiri dari persepsi, kesiapan, dan respon terpimpin.
Artinya, kemampuan yang berpontensi untuk mendorong ketangkasan dan
kecakapan agar lebih sigap terhadap persoalan yang dihadapkan (yang
dimunculkan).
Sehubungan dengan ketiga ranah inilah sehingga kemudian tujuan-tujuan
dalam pendidikan itu kita mengenalnya ada beberapa tujuan seperti
tujuan umum, tujuan khusus, tujuan tidak lengkap, tujuan sementara,
tujuan intermediet, dan tujuan insidental. Dimana (1) tujuan umum adalah
tujuan yang akan dicapai diakhir proses pendidikan yakni tercapainya
kedewasaan rohani dan jasmani peserta didik. Maksud kedewasaan jasmani
adalah jika petumbuhan jasmani sudah mencapai batas pertumbuhan, maka
pertumbuhan jasmani tidak akan berlangsung lagi. Sedangkan kedewasaan
rohani ialah peserta didik sudah mampu menolong dirinya sendiri, mampu
berdiri sendiri, dan mampu bertanggungjawa atas segala perbuatannya. (2)
tujuan khusus yakni pengkhususan tujuan umum atas dasar usia, jenis
kelamin, sifat, bakat, intelegensi, lingkungan sosial-budaya,
tahap-tahap perkembangan, tuntutan syarat pekerjaan, dan sebagainya.
Sedangkan yang ke (3) tujuan tidak lengkap yaitu tujuan yang
menyangkut sebagian aspek manusia. Misalnya, aspek psikologis, biologis,
atau sosiologis saja (yang akan mejadi tujuan). (4) tujuan sementara
merupakan tujuan yang sifatnya sementara. Dimana ketika tujuan sementara
berhasil dicapai, maka tujuan tersebut akan ditinggalkan dan diganti
dengan tujuan lain. Misalnya, orang tua ingin anaknya tidak bermain
“keluyuran” dengan cara meningkatkan jadwal belajar di rumah. Jika
tujuan itu sudah dicapai, maka akan diganti dengan tujuan yang lain
misalnya orang tua melarang anaknya pacaran sebelum tamat sekolah. (5)
tujuan intermediet adalah tujuan perantara bagi tujuan lainnya yang
pokok. Misalnnya, anak dibiasakan untuk tidak “merokok” dengan maksud
agar kelak ia (anak) tersebut mempunyai rasa tanggungjawa atas kesehatan
dan juga masalah keuangan. (6) tujuan insidental ialah tujuan yang
dicapai pada saat-saat tertentu yang sifatnya seketika dan spontan.
Misalnya, orang tua menegur anaknya agar berbicara sopan.
Dari keenam tujuan dalam kegiatan pendidikan yang uraikan di atas,
maka telah memberi pengertian dasar bagi kita bahwa didalam melakukan
aktivitas pendidikan hendaknya tujuan-tujuan tersebut menjadi
komponen-komponen terpenting yang tidak hanya dilihat sebagai tujuan
yang bersifat “parsial”. Tetapi lebih diletakkan sebagai rumusan tujuan
yang harus dicapai secara utuh dan berkesinambungan dalam rangka untuk
mencapai tujuan yang sebenarnya dari kegiatan pendidikan yang telah kita
lakukan.
Alat Pendidikan sebagai (Strategi dan Taktik)
Ketika kita bergumul dengan kegiatan pendidikan, maka yang akan
dihadapi adalah segudang problem yang senantiasa mewarnai
aktivitas-aktivitas kita dalam proses pendidikan itu. Mengingat dalam
proses pendidikan tersebut sarat dengan fenomena dan permasalahan yang
muncul, maka disinilah alat pendidikan sangat dibutuhkan sebagai
strategi dan taktik untuk mengantisipasi dan sekaligus digunakan untuk
pemecahan permasalahan yang dihadapi bersama. Dalam konteks ini, alat
pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi yang
memungkinkan terlaksananya “pekerjaan” pendidik, tetapi lebih untuk
mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi yang membantu pencapaian
tujuan pendidikan.
Dengan demikian, pada tiitk ini kita akan diskusikan mengenai alat
pendidikan yang kita bagi kedalam beberapa kategori yakni (1) alat
pendidikan positif dan negatif; alat pendidikan positif ialah merupakan
sesuatu tindakan pendidik (orang dewasa) yang dtujukan agar anak (warga
belajar) mengerjakan sesuatu yang “baik”. Misalnya, berupa pujian supaya
anak (warga belajar) mengulang pekerjaan yang menurut ukuran norma
adalah baik (positif). Sementara alat pendidikan negatif ialah sesuatu
tindakan yang ditonjolkan pendidik (orang dewasa) berupa sikap tegas
(disiplin) yang dimaksudkan agar anak (warga belajar) tidak mengerjakan
sesuatu yang buruk. Misalnya, membuat larangan dan/atau mempertegas
hukuman supaya anak (warga belajar) tidak mengulangi perbuatan yang
menurut ukuran norma adalah buruk (negatif). Namun demikian, membuat
larangan dan mempertegas hukuman haruslah dapat mencerminkan nilai-nilai
yang menjadi ciri khas dari proses pendidikan itu sendiri. (2) alat
pendidikan preventif dan korektif; alat pendidikan preventif merupakan
alat untuk mencegah anak (warga belajar) mengerjakan sesuatu yang tidak
baik, misalnya dengan cara berupa peringatan dan larangan. Sedangkan
alat pendidikan korektif adalah alat untuk memperbaiki “kesalahan” atau
“kekeliruan” yang telah dilakukan peserta anak (warga belajar), misalnya
dengan cara berupa “hukuman”. (3) alat pendidikan yang menyenangkan dan
tidak menyenangkan; alat pendidikan yang menyenngkan merupakan alat
yang digunakan agar anak (warga belajar) menjadi senang, misalnya dengan
ganjaran (hadiah). Alat pendidikan yang tidak menyenangkan yakni
dimaksudkan sebagai alat yang dapat membuat warga belajar merasa tidak
senang, misalnya dengan hukuman atau celaan.
Alat pendidikan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, memberi
pengertian bahwa dalam melakukan kegiatan pendidikan maka pada dasarnya
“kita” dapat menjadikannya sebagai “teknik” dalam rangka menghadapi
problem-problem salah satu komponen pendidikan yakni peserta didik
(warga belajar) sehingga proses pembelajaran dalam penyelenggaraan
pendidikan diasumsikan dapat memicu kelancaran proses pencapaian tujuan
yang telah dirumuskan. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa alat
pendidikan itu sejatinya haruslah diberlakukan tidak dalam bentuk yang
“menakutkan” bagi warga belajar. Dengan demikian, tindakan untuk
memberlakukan alat pendidikan tersebut hendaklah mengedepankan atau
mempertimbangkan “karakteristik” warga belajar sebagai aspek terpenting
dalam usaha pendidikan. Sehingga tujuan yang telah dirumuskan dalam
kegiatan atau penyelenggaraan pendidikan, dapat dicapai dengan maksimal.
Bagian II
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional tertuang dalam amanat UU RI No. 20/2003
tentang sistem pendidikan nasional Pasal (2) bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab. Dengan demikian, tujuan pendidikan
nasional tersebut dapat diwujudkan manakala dalam materi penyelenggaraan
pendidikan nasional itu mencerminkan adanya upaya perumusan, pembuatan
dan pelaksanaan kurikulum yang ‘ideal’ dan relevan dengan karakteristik
masyarakat (Stakeholders) sehingga cita-cita pendidikan dapat
diwujudkan dalam bentuk proses dan pencapaian hasil yang kita ingini
bersama. Dimana hasil tersebut adalah sesuatu yang terlahir dari
pendidikan nasional yang diharapkan dapat dan mampu memproduksi sumber
daya manusia yang handal yakni manusia Indonesia yang bermutu dan
berkualitas tinggi sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mewujudkan
manusia Indonesia “seutuhnya” bukan sekedar pepesan kosong belaka. Dalam
konteks ini, kurikulum perlu dirancang dan dirumuskan sesuai dengan
tuntutan dan kepentingan masyarakat (lokal) atau yang kita kenal dengan
kurikulum pendidikan yang berbasis kawasan.
Manajemen Sekolah Berbasis Perubahan Kurikulum
Pada pembahasan tentang “merevolusi pendidikan persekolahan”, kita
telah membicarakan mengenai gagasan kurikulum yang diharapkan dapat
diterapkan dalam penyelenggaran pendidikan nasional, maka pada bagian
ini kembali kita akan mendiskusikan tentang perubahan kurikulum melalui
manajemen berbasis sekolah yakni yang didasarkan pada konsep
pengembangan efektivitas sekolah dengan berpedoman pada fungsi-fungsi
sekolah yang ditetapkan oleh pengambil kebijakan di sekolah. Apabila
perubahan kurikulum dibatasi pada tingkat sekolah, kurikulum dapat
didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan dan kontent (isi) pada
level individu siswa, level program, atau level sekolah sebagai bahan
panduan guru untuk melakukan tugas mengajar dan siswa untuk melakukan
tugas belajar. Ada tiga pendekatan untuk melakukan perubahan kurikulum
di sekolah, yaitu: (1) perubahan kurikulum simplistik, (2) pengembangan
kompetensi guru, dan (3) perubahan kurikulum dinamis. Dalam melaksanakan
dari ketiga pendekatan tersebut beberapa faktor harus diperhatikan,
diantaranya perubahan alamiah atau kondisi, faktor atau penyebab
perubahan, cara memaksimumkan efektivitas, inisiatif perubahan, aturan
guru, dan kerangka waktu pelaksanaan. Pengembangan dan perubahan
kurikulum adalah suatu kegiatan yang amat penting dalam memperbaiki
proses pendidikan. Pengelola, praktisi, dan peneliti pendidikan
diharuskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan dan perbaikan
program-program efektivitas sekolah secara seksama.Yang dimaksud
efektivitas sekolah di sini adalah pengembangan konsep fungsi-fungsi
sekolah yang ditetapkan sebagai kapasitas sekolah untuk memaksimumkan
pencapaian pelaksanaan fungsi-fungsi sekolah sehingga sekolah mampu
menampilkan kinerjanya apabila diberikan sejumlah masukan.
Dalam perspektif model masukan (input) dan keluaran (output)
pendidikan, efektifitas sekolah sering diasumsikan sebagai suatu
kombinasi atau perbandingan antara apa yang telah dihasilkan sekolah (school output) dan apa yang telah dimasukkan ke dalam sekolah (school input).
Berdasarkan perspektif ini, Lockheed (1988) mengatakan jika masukan
sekolah dan proses sekolah (jumlah buku teks, organisasi kelas, strategi
mengajar, profesional pelatihan guru, dsb) ditetapkan sebagai non-monetary input, maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan non-monetary input
sekolah dapat disebut sebagai efektivitas sekolah. Hal ini berbeda
dengan efisiensi sekolah, yaitu jika masukan sekolah ditetapkan sebagai monetary input (biaya buku, gaji guru/pengelola, biaya per siswa, dsb.), maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan monetary input sekolah dapat disebut sebagai efisiensi sekolah.
Perubahan lingkungan pendidikan dapat dilihat dari perubahan berbagai
macam kebutuhan siswa, harapan masyarakat yang tinggi dan tuntutan
kebijakan pendidikan yang sangat kuat terhadap perubahan pendidikan,
tidak hanya pada tingkat nasional, melainkan juga pada tingkat sekolah.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh lembaga, kelompok, atau individu
dalam melakukan perubahan kurikulum baik pada tingkat nasional maupun
sekolah. Namun, perubahan tersebut belum memberikan hasil maksimal
terhadap perubahan keluaran pendidikan. Perubahan kurikulum sebagai
suatu bentuk perubahan yang direncanakan di sekolah dapat memberikan
perlawanan, dan kemudian penerapannya dapat dipengaruhi oleh perbedaan
faktor-faktor organisasi.
Walaupun terdapat beberapa penelitian tentang evaluasi kurikulum,
namun hasil penelitian tersebut sangat sedikit yang memberi petunjuk
pada praktisi dan peneliti pendidikan dalam menerapkan dan mengatur
perubahan kurikulum. Karena kurangnya kontribusi hasil penelitian,
penerapan perubahan kurikulum pada konteks organisasi sekolah tidak
dapat mempengaruhi faktor multilevel terhadap efektivitas
sekolah. Tanpa suatu model teori yang menghubungkan antara faktor
organisasi sekolah dan perubahan kurikulum, sangat sukar memahami
dinamika dan efektivitas perubahan sekolah. Terdapat dua konsep
mekanisme manajemen berbasis sekolah (MMBS) untuk memahami dan mengatur
perubahan kurikulum. Pertama, mengklarifikasi bagaimana konsep-konsep
kurikulum, efektivitas kurikulum dan perubahan kurikulum pada perbedaan
level. Kedua, menggambarkan bagaimana MMBS dapat berkontribusi pada
manajemen dan efektivitas pengembangan dan perubahan kurikulum.
Konsep Efektivitas Kurikulum
Penafsiran konsep kurikulum bagi peneliti dan praktisi pendidikan
dapat berbeda satu sama lain. Secara umum, konsep kurikulum dapat
didefinisikan sebagai suatu spesifik rangkaian pengetahuan, keterampilan
dan kegiatan untuk disampaikan kepada siswa. Penafsiran lain, konsep
kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang
direncanakan sebagai panduan guru untuk mengajar dan siswa untuk
belajar. Dalam penerapannya, penafsiran ini dapat ditetapkan lebih
lanjut dalam tiga level apakah (1) sebagai kurikulum nasional pada level
nasional, (2) sebagai kurikulum sekolah pada level sekolah, dan (3)
sebagai kurikulum mata pelajaran pada level mata pelajaran. Apabila
konsep ini dibatasi pada level sekolah, maka kurikulum dapat
didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan dan kontent (isi) pada
level individu siswa, level program, atau level sekolah untuk memandu
guru melakukan tugas mengajar dan siswa melakukan tugas belajar. Dengan
demikian, diskusi tentang perubahan kurikulum melalui manajemen berbasis
sekolah hanya membahas pada level sekolah.
Untuk memperluas wawasan pemikiran, perubahan dan pengembangan
kurikulum bertujuan untuk memaksimumkan efektivitas mengajar dan belajar
melalui perubahan kontent yang direncanakan, kegiatan dan rencana
perbaikan proses pendidikan. Jika cara berpikir ini diterima, diskusi
perubahan kurikulum dapat dihubungkan dengan konsep efektivitas
kurikulum. Konsep ini mengundang kritik karena sulit diketahui
efektivitas kurikulum bagi guru mengajar dan bagi siswa belajar. Kritik
selanjutnya, apakah faktor lain mampu mengkontribusi efektivitas
kurikulum. Konsepsi tentang efektivitas kurikulum dapat dilihat pada
Gambar 1 struktur efektivitas kurikulum.
Berdasarkan struktur ini, suatu kurikulum dikatakan efektif jika
dapat berinteraksi secara tepat dengan kompetensi guru. Interaksi ini
mampu memfasilitasi kinerja guru, membantu siswa dalam mengukur
pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhannya, dan memproduksi outcome pendidikan
yang diharapkan. Karakteristik awal kurikulum seperti tujuan nasional,
tujuan sekolah, manajemen sekolah, isi mata pelajaran, sumber dan
teknologi pendidikan dapat dijadikan dasar sebagai kurikulum sekolah.
Struktur tersebut menyarankan bahwa evaluasi efektivitas kurikulum dapat
meliputi kriteria proses dan outcomes seperti kinerja guru,
hasil dan pengalaman belajar siswa. Variabel yang dapat dimanipulasi,
diubah atau dikembangkan oleh peneliti dapat memperbaiki kinerja guru
dan outcomes sekolah serta pengalaman belajar siswa adalah variabel yang erat hubungannya dengan efektivitas kurikulum dan kompetensi guru.
Pendekatan Perubahan Kurikulum
Pengembangan konsep efektivitas kurikulum, dapat dikategorikan
menjadi tiga macam pendekatan untuk memaksimumkan efektivitas mengajar
dan belajar di sekolah melalui perubahan kurikulum sebagai berikut. Pendekatan Perubahan Kurikulum Simplistik. Kurikulum
dapat dikembangkan atau diubah secara simplistik pada level individu
siswa, program, atau level sekolah. Perubahan ini dapat disesuaikan
dengan kondisi level tersebut dengan berpedoman pada kompetensi guru dan
karakteristik siswa sebagai dasar untuk mencapai tujuan sekolah.
Pendekatan ini berasumsi bahwa guru adalah pasif, kompetensi guru adalah
statis, dan perubahan kurikulum dapat direncanakan dan diterapkan
secara efektif oleh pengelola sekolah atau tenaga ahli dari luar
sekolah.
Pendekatan Pengembangan Kompetensi Guru. Kompetensi
guru dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Pendekatan
ini berasumsi bahwa perubahan kurikulum dibebankan oleh pengelola
pendidikan atau tenaga ahli dari luar. Kompetensi guru dapat
dikembangkan secara mudah untuk memuaskan semua kebutuhan dan kurikulum
sekolah.
Pendekatan Perubahan Kurikulum Dinamis. Kedua
pendekatan kurikulum (simplistik dan kompetensi guru) dapat
dikembangkan dan diubah secara aktif dan dinamis dengan memaksimumkan
efektivitas pelaksanaan kurikulum melalui fasilitas pengajaran dan
pembelajaran. Pendekatan ini berasumsi bahwa: efektivitas kurikulum
adalah suatu konsep dinamis yang melibatkan siklus keberlanjutan dan
proses perubahan kurikulum dan kompetensi guru; kurikulum dapat
dikembangkan dan diubah secara efektif ketika guru (yang menerapkan)
selalu dilibatkan dalam proses; kompetensi guru dapat dikembangkan tidak
hanya untuk memuaskan pada tuntutan kurikulum yang ada atau kurikulum
yang diubah melainkan juga untuk mengembangkan kurikulum yang lebih
tepat untuk menyesuaikan karakteristik siswa, tujuan sekolah, dan
kondisi sekolah; dan perubahan efektivitas kurikulum dapat dilibatkan
tidak hanya pengelola pendidikan atau tenaga ahli dari luar tetapi juga
guru-guru untuk membantu dalam menyusun perencanaan kurikulum dan
pembuatan keputusan.
Pendekatan pertama dan kedua menerapkan program jangka pendek.
Keduanya memiliki perspektif secara mekanik yang dapat membantu dan
menerapkan perubahan kurikulum. Kedua pendekatan ini menghindari
dinamika alamiah dari perubahan kurikulum dan pengembangan guru serta
pentingnya aturan kegiatan guru, keterlibatan dan komitmen perencanaan
kurikulum dan pengembangan profesi guru. Karena menghindari dinamika
alamiah, perubahan kurikulum melalui dua pendekatan ini tidak dapat
membawa efektivitas jangka panjang untuk pengajaran dan pembelajaran.
Bahkan, jika ini tidak dilakukan, akan menimbulkan frustrasi guru
melalui perlawanan dan protes. Pendekatan ketiga betul-betul bersifat
aktif, dinamis dan alamiah sesuai dengan tuntutan kompetensi dan
partisipasi guru dalam keterlibatannya pada perencanaan kurikulum, serta
bertujuan jangka panjang, berlanjut, dan bersiklus.
Tabel 1
Perbandingan Antara Pendekatan Simplistik, Kompetensi Guru,
dan Dinamika dalam Perubahan Kurikulum
Perbandingan Antara Pendekatan Simplistik, Kompetensi Guru,
dan Dinamika dalam Perubahan Kurikulum
Jenis Pendekatan | Pendekatan Perubahan Kurikulum Simplistik | Pendekatan Pengemb. Kompetensi Guru | Pendekatan Perubahan Kurikulum Dinamika |
Perubahan alamiah |
|
||
Fokus perubahan |
|
||
Cara memaksimum- kann efektifitas |
|
||
Penginisiatif perubahan |
|
||
Aturan guru |
|
||
Kerangka waktu |
|
Pendekatan perubahan kurikulum perlu menggunakan suatu perspektif
jangka panjang. Perspektif ini memerlukan konsistensi konsep strategi
manajemen sekolah dengan analisis multilevel di sekolah dan menekankan
pengembangan staf pada level individu, kelompok dan sekolah. Aturan dan
partisipasi guru diasumsikan betul-betul amat penting dalam perencanaan
dan perubahan kurikulum. Pendekatan ini mencari bentuk yang lebih
meyakinkan untuk mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran melalui
perubahan dan pengembangan kurikulum dan kompetensi guru.
Pendekatan dinamis lebih memiliki kekuatan dalam perubahan konsepsi
pengembangan kurikulum. Seperti yang telah disebutkan di atas, perubahan
kurikulum dan pengembangan kompetensi guru, yang tercakup dalam
pendekaan dinamis, adalah amat penting untuk pengembangan efektivitas
pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Pertanyaannya adalah bagaimana
inisiatif sekolah untuk mempertahankan efektivitas pencapaian pengajaran
dan pembelajaran yang telah dirancang sesuai dengan tujuan-tujuan
sekolah? Bagaimana pelaksanaan MMBS mampu mengkontribusi pendekatan
perubahan kurikulum?
Bila menggunakan konsep dinamis kurikulum, semua bentuk perubahan
kurikulum yang terjadi dalam suatu kontek organisasi meliputi antara
lain faktor guru, norma kelompok, struktur organisasi, budaya sekolah,
pemberian insentif/gaji, dan kepemimpinan. Pertanyaannya adalah
bagaimana hubungan antara perubahan kurikulum dan pengembangan guru
apabila terdapat faktor-faktor organisasi? Hal ini telah dijelaskan
sebelumnya, MMBS dapat berinisiatif dan menyokong suatu proses berlanjut
untuk pengembangan sekolah yang meliputi perubahan kurikulum dan
pengembangan kompetensi guru. Didasarkan pada konsep manajemen pada
level individu, kelompok dan sekolah, kontribusi MMBS terhadap perubahan
kurikulum dapat dilihat pada Gambar 2 dan dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Model Organisasi Perubahan Kurikulum
Perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru terjadi dalam
tiga level kontek organisasi sekolah yang meliputi level individu, level
kelompok/program, dan level sekolah. Perubahan kurikulum dan
pengembangan kompetensi guru merupakan pengembangan mutual yaitu
dikembangkan satu sama lain dan diperkuat oleh setiap tiga level konten
organisasi sekolah dalam waktu jangka panjang. Perubahan kurikulum dan
pengembangan kompetensi guru pada level individu dipengaruhi oleh
hirarki level kelompok atau program dan level sekolah secara menyeluruh.
Efektivitas perubahan kurikulum pada level kelas atau individu
(yaitu: pengaruh pada pengajaran dan pembelajaran) ditetapkan secara
langsung oleh interaksi antara perubahan kurikulum dan kompetensi guru
dan karakteristik siswa dan kelas; dan juga dipengaruhi secara langsung
oleh perubahan kurikulum dan pengembangan guru pada level
kelompok/program dan pada level sekolah secara menyeluruh. Berdasarkan
prinsip kesesuaian MMBS, efektivitas perubahan kurikulum dapat
dipengaruhi oleh dua bentuk kesesuaian: (1) kesesuaian antara perubahan
kurikulum dan pengembangan kompetensi guru dan (2) kesesuaian antara
level. Kedua kesesuaian ini membentuk suatu matrik kesesuaian seperti
ditunjukkan pada Tabel 2. Kesesuaian ditetapkan dalam konsep (kognitif)
konsistensi dalam tujuan, objektif, nilai, dan asumsi (tentang
perubahan, pengembangan, manajemen, pengajaran, dan pembelajaran) dan
konsistensi dalam operasional (tentang koordinasi, perluasan yang baik,
kesesuaian refleksi kekuatan iklim sekolah, yaitu kekuatan tukar menukar
nilai, kepercayaan, dan asumsi di antara anggota (Schein 1992) dan
dipercaya untuk menetapkan efektivitas sekolah. Kesesuaian di antara
level dan antara level merupakan perubahan dan pengembangan efektivitas
perubahan kurikulum untuk pengajaran dan pembelajaran di sekolah.
Perbedaan Karakteristik
Perbedaan karakteristik perubahan kurikulum dan pengembangan
kompetensi guru adalah suatu perbedaan level yang dibentuk oleh variasi
dari faktor-faktor organsisasi, pada level individu, program, dan
sekolah. Perubahan kurikulum pada level individu sering dilakukan dengan
individu kurikulum, basis kelas/basis kemampuan, dan reviu serta
evaluasi kurikulum. Pengembangan kompetensi guru sering dilakukan dengan
individu melalui evaluasi formatik atau supervisi klinik guru
(Bollington, Hopkins dan West, 1990; Cheng, 1993d; Valentine, 1992).
Fokus perubahan kurikulum pada level program adalah program
instruksional yang menunjukkan suatu rangkaian unit kurikulum seperti
kurikulum berbasis mata pelajaran atau kurikulum berbasis format untuk
beberapa tujuan program spesifik. Misalnya, program pendidikan sains
meliputi unit kurikulum seperti biologi, fisika, dan kimia. Secara umum,
banyak program pengajaran dan program nonpengajaran diterapkan dalam
suatu sekolah. Mekanisme perubahan kurikulum pada level ini dapat
disusun dengan program perencanaan, struktur, kebijakan, dan
reviu/evaluasi (Cheng, 1993d). Secara khusus, perencanaan pengajaran
sebagai komponen kritis adalah suatu proses dari arahan program
pengembangan dan objektifitas kurikulum, pengembangan kegiatan dan
konten pengajaran dan pembelajaran, sumber dan fasilitas pengajaran
organisasi dan perancangan prosedur implementasi. Pengembangan
kompetensi guru pada level kelompok meliputi kelompok, tim berbasis atau
program tim pengembang (Dyer, 1987; Maeroff, 1993). Mekanisme
pengembangan terdiri dari hubungan kelompok, kepemimpinan, norma dan
refleksi dan belajar. Untuk membangun suatu program secara khusus
diperlukan pengembangan tim/kelompok.
Secara keseluruhan sekolah, perubahan dan pengembangan kurikulum pada
level sekolah dapat diarahkan melalui strategi manajemen sekolah atau
perencanaan pengembangan sekolah dengan menekankan pada analisis
internal sekolah dan lingkungan eksternal dan perspektif jangka panjang
(Hagreaves dan Hopkins, 1991). Komponen penting yang dapat
mengkontribusi perubahan kurikulum meliputi perencanaan kolaborasi,
perencanaan sekolah (termasuk misi sekolah, tujuan, kebijakan, dan
strategi), struktur sekolah dan evaluasi/reviu sekolah. Pengembangan
guru pada level ini adalah pengembangan guru secara menyeluruh.
Kontribusi komponen terhadap pengembangan guru dapat meliputi manajemen
sumber daya manusia, manajemen program pengembangan staf, manajemen
partisipasi, budaya organisasi, interaksi sosial, kepemimpinan dan
organisasi belajar.
Perubahan kurikulum pengembangan kompetensi guru berfokus pada dua
perbedaan aspek dari efektivitas persekolahan. Pertama, aspek struktur
dan perencanaan dan kedua aspek manusia. Kedua aspek ini dapat
didasarkan pada MMBS. Mekanisme ini meliputi manajemen strategi pada
level sekolah dan manajemen praktis pada level kelompok dan individu.
Manajemen strategi adalah suatu proses yang dapat menggunakan sekolah
sebagai suatu kesatuan hubungan yang tepat untuk lingkungannya,
memperbaiki kinerja sekolah, mencapai tujuan sekolah dan memenuhi syarat
misi sekolah. Manajemen praktis lebih menekankan pada pendekatan
kelompok atau individu perorangan. Manajemen persekolahan meliputi
kesesuaian komponen seperti analisis lingkungan, perencanaan dan
struktur, ketetapan pengarahan guru/staf, dan konstruksi monitoring dan
evaluasi. Komponen ini merupakan suatu siklus proses belajar yang
mengkontribusi pada pengembangan kurikulum berlanjut dan pengembangan
staf pada level individu, program/kelompok dan sekolah.
Manajemen pada level kelompok dan level individu juga merupakan suatu
siklus proses belajar yang memberi dukungan pada siklus perubahan
kurikulum dan pengembangan staf pada dua level ini. Gambar 3
memperlihatkan sebuah contoh proses siklus pada level program yang
meliputi program analisis, perencanaan, implementasi serta monitoring
dan evaluasi. Proses siklus memberikan suatu mekanisme untuk mengubah
dan mengembangkan kurikulum pada level program. Contoh Proses Siklus
pada Level Program adalah sebagai berikut:
Lama setiap proses siklus pengembangan kurikulum dapat berbeda dari
satu tahun sampai tiga tahun sesuai dengan perbedaan antara level,
program, dan individu. Secara strategi, proses siklus pada level sekolah
mengarah pada level program dan individu, dan level program dapat
mengarah pada level individu. Proses siklus ini memberi kesempatan pada
perbaikan berlanjut, pengembangan kurikulum dan kompetensi guru.
Kesesuaian antara perubahan kurikulum dan pengembangan guru dan
kesesuaian antara level tentang konsistensi konsep dan operasional
pelaksanaan merupakan hal yang amat penting untuk meyakinkan efektivitas
perubahan kurikulum. Kesesuaian sering diyakini melalui pengembangan
misi sekolah, tujuan dan kebijakan sekolah, dan tukar pikiran/informasi
di antara nilai-nilai sekolah, kepercayaan dan asumsi di antara anggota
sekolah. Oleh karena itu, pengembangan budaya sekolah tentang
efektifitas persekolahan perlu ditekankan (Beare,1990).
Kepemimpinan dan Partisipasi
Penggunaan MMBS sebagai ukuran efektivitas manajemen sekolah terhadap
perubahan kurikulum, tingkat dan strategi kepemimpinan merupakan hal
yang amat penting dan diperlukan dalam pengelolaan pendidikan baik di
tingkat pusat, wilayah, kabupaten maupun di tingkat sekolah. Secara
khusus, kepemimpinan adalah tanggungjawab bagi pemimpin untuk
memfasilitasi kegiatan pengajaran dan pembelajaran, serta mengkordinasi
pelaksanaan kurikulum antara level individu, program dan sekolah. Untuk
meyakinkan kesesuaian penentuan misi dan tujuan sekolah, manajemen
program pengajaran dan pembelajaran dapat mempromosikan suatu iklim
mengajar dan belajar yang positif dan kondusif bagi sekolah. Dengan
demikian, kepemimpian sekolah amat penting dan tidak boleh diabaikan
dalam pengelolaan sekolah secara menyeluruh.
Kesuksesan perubahan kurikulum melibatkan transformasi perilaku guru,
skill, motivasi, konsep dan percaya tentang manajemen pengajaran dan
pembelajaran. Oleh sebab itu, transformasi kepemimpinan adalah suatu
komponen amat penting untuk memproses perubahan kurikulum dan
pengembangan kompetensi guru. kepemimpinan pengajaran dan pembelajaran
serta kepemimpinan transformasional telah dijadikan suatu konsep
perubahan dari tingkat dan strategi kepemimpinan.
Partisipasi dan kepemimpinan guru ditentukan oleh efektivitas
persekolahan dan perubahan pendidikan (Conley and Bacharch, 1990;
Lieberman, 1988; Mortimore, 1993). Dalam perencanaan dan manajemen
perubahan kurikulum pada level individu, program atau sekolah,
partisipasi guru (dan juga partisipasi orang tua, siswa atau alumni)
merupakan kontribusi yang cukup besar bagi perubahan kurikulum: (1)
memberi informasi pentingnya sumber daya manusia bagi partisipan tentang
pengalaman, pengetahuan dan keterampilan untuk menyusun perencanaan
lebih baik dan menerapkan perubahan kurikulum; (2) menghasilkan kualitas
keputusan yang tinggi dan perencanaan perubahan kurikulum yang baik
dengan melibatkan perbedaan perspektif dan keahlian; (3) mempromosikan
tanggungjawab yang lebih besar, akuntabilitas, komitmen dan dukungan
kuat untuk menerapkan dan menghasilkan perubahan kurikulum; (4)
berpartisipasi dalam manajemen perubahan kurikulum dan memberi suatu
format tentang arti pengembangan atau pembangunan budaya; (5)
berpartisipasi dalam manajemen perubahan kurikulum dan memberi
kesempatan bagi individu dan kelompok untuk memperkaya pengalaman dan
mengharapkan pengembangan profesional; (6) berpartisipasi dalam
perencanaan dan pembuatan keputusan pada perubahan kurikulum, memberi
informasi yang lebih banyak, mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
mengatasi perlawanan secara teknis dan psikologis tentang perubahan
pelaksanaan ketidakefektifan pada setiap perbedaan level; dan (7)
berpartisipasi dalam perencanaan untuk membantu meyakinkan kesesuaian
antara perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru diantara
level secara efektif.
Berdasarkan analisis di atas, MMBS mampu memberi suatu kerangka
komprehensif untuk melakukan manajemen perubahan kurikulum. Pelaksanaan
kurikulum dalam manajemen berbasis sekolah dapat memberi informasi
praktis sebagai bahan renungan, perbandingan dan diskusi bagi pengelola,
peraktisi dan peneliti pendidikan.
Dengan berpijak dari uraian di atas, maka pada titik ini dapatlah
kita tarik sebuah kesimpulan untuk menjawab atas pertanyaan tentang apa
yang dimaksud kurikulum yang ideal itu? hal ini dapat dijawab dengan
menjelaskan mengenai manajemen sekolah berbasis perubahan kurikulum
adalah suatu wacana pemikiran yang berlandaskan pada konsep pengembangan
efektivitas sekolah. Melalui manajemen seperti ini, pengembangan
efektivitas sekolah dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengklasifikasi
bagaimana konsep-konsep kurikulum, efektivitas kurikulum, dan perubahan
kurikulum pada level individu siswa, level program, dan/atau level
sekolah. Oleh sebab itu, jika manajemen berbasis sekolah, pengembangan
efektivitas sekolah, dan perubahan kurikulum merupakan hubungan yang
cukup kuat dalam melakukan kontribusi perubahan kurikulum, maka hubungan
tersebut akan menjadi hubungan struktur efektivitas kurikulum.
Melalui pengembangan struktur efektivitas kurikulum, perubahan
kurikulum dapat dikategorikan ke dalam tiga macam pendekatan: (1)
pendekatan perubahan kurikulum simplistik; (2) pendekatan pengembangan
kompetensi guru; dan (3) pendekatan perubahan kurikulum dinamis. Untuk
mencapai ketiga pendekatan ini, berbagai jenis kendala yang perlu
dilakukan, diantaranya perubahan alamiah atau kondisi, faktor atau
penyebab perubahan, cara memaksimumkan efektivitas, inisiatif perubahan,
aturan guru dan kerangka waktu pelaksanaan. Namun demikian, kesuksesan
perubahan kurikulum amat penting untuk melakukan transformasi perilaku
guru, skill, motivasi, konsep dan percaya pada manajemen pengajaran dan
pembelajaran yang dia akan lakukan. Oleh sebab itu, perencanaan
manajemen perubahan kurikulum di level sekolah, partisipasi atau
keterlibatan guru, orang tua atau masyarakat, siswa, dan alumni amat
penting kontribusinya dalam melakukan pengembangan efektivitas sekolah.
Pendeknya, kurikulum yang ideal itu adalah kurikulum yang disusun dan
diselenggarakan dengan melibatkan partisipasi guru, orang tua, siswa,
dan masyarakat (stakeholders) sebagai aspek terpenting dari pendidikan itu sendiri.
Bagian III
Perlukah Anak (manusia) dididik?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pertumbuhan seorang anak
(manusia) tidaklah dapat disamakan secara mutlak dengan pertumbuhan
hewan, binatang ataupun pertumbuhan pada sebatang tanaman. Memang dalam
dunia hewan, kita dapat mengatakan bahwa mereka (hewan) pun mendidik
anak-anaknya. Tetapi dapatkah kita mengatakan bahwa cara hewan dan
manusia mendidik anak-anaknya adalah sama?, tentu kita dapat menjawabnya
tidak. Karena dalam dunia hewan sering terjadi gejala-gejala aneh yang
kadang-kandang bertentangan dengan alam pikiran kita (manusia).
Misalnya, seekor anak ular yang baru menetas dari telornya dengan
secepat-cepatnya ia merangkak naik ke pohon-pohon. Kalaulah tidak
berlaku demikian, ia pasti disergap dan dimakan oleh predator lainnya.
Demikian juga yang berlaku pada kambing atau kuda yang beranak, pada
waktu anak-anaknya masih lemah disusuinya dan dibersihkan dengan air
ludahnya. Dan pada saat tertentu anak-anak hewan tersebut tidaklah lagi
bergantung pada induk-induknya, mereka dilepas untuk dapat hidup dengan
caranya sendiri.
Untuk itu, jelaslah bagi kita bahwa manusia dan hewan (binatang)
dalam mendidik anak-anaknya jelas berbeda. Dimana binatang mendidik
anak-anaknya secara instingtif yakni kepandaian “mendidik” yang ada pada
binatang bukan karena dipelajari dari binatang yang lain. Melainkan
kepandaian yang sudah ada pada tiap-tiap jenis binatang dan sifatnya
tetap tidak berubah dan hampir tidak berubah. Begitupun kemampuan untuk
belajar yang ada pada binatang nmuda tersebut adalah merupakan
kemampuan-kemampuan yang sudah ada dalam pembawaan dan akan berkembang
dengan sendirinya tanpa pengaruh dari luar; belajar seperti inilah dalam
ilmu psikologi disebut dengan belajar instingtif.
Namun demikian, dalam beberapa hal memang ada persamaan yang umummnya
terletak pada persamaan pertumbuhan biologis saja, yakni perkembangan
yang berhubungan dengan perkembangan jasmaniah. Sedangkan pada manusia
haruslah diperhitungkan juga pada perkembangan psikisnya. Hal
inilah yang memungkinkan “manusia harus dididik” dengan cara yang
berbeda dengan binatang. Disamping itu jika ditilik secara sosiologi,
ada perbedaan mendasar antara manusia dan binatang. Yakni dimana
binatang adalah mahluk alam yang tidak “berkebudayaan”, sementara
manusia adalah mahluk yang berbudi pekerti dan berfikir (berakal) dari
anggota persekutuan masyarakat sosial.
Dalam konteks manusia sebagai mahluk yang berbudi pekerti dan
berfikir (berakal) itulah, maka manusia dapat memilih mana yang akan
dilakukan dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk serta
mana hak dan mana kewajiban. Begitu pula manusia sebagai bagian dari
anggota persekutuan masyarakat, dimana kita menyadari bahwa persekutuan
masyarakat itu terdapat bermacam-macam corak dan ragam golongannya.
Sehingga menyebabkan karakteristik tersendiri pada manusia yang hendak
dididik. Kaitan dengan ini, manusia (anak) yang masih labil tersebut
sekali lagi harus mendapatkan pertolongan, bantuan, pimpinan, dan
didikan dengan cara “humanistik” dari orang dewasa (orang tua, guru, dan
masyarakat) dalam rangka menuju “kedewasaan” anak.
Kedewasaan anak yang dimaksud disini adalah merupakan kedewasaan
dalam konteks perkembangan dan pertumbuhan anak (manusia)sebagai
individu. Kata kedewasaan secara teoretik-normatif adalah merupakan ciri
yang lebih dari proses sebuah kondisi yakni sebuah proses dimana
orang-orang terus berusaha mencapai aktualisasi diri dan pemenuhan diri
antara jasmani dan rohaninya. Mengingat manusia itu tidak dapat
dipisahkan dari jasmani dan rohaninya, maka arti kedewasaan adalah
kematangan seseorang baik jasmani dan rohaninya yang memiliki penetapan
sendiri atas tanggungjawab sendiri dalam bentuk dan wujud yang stabil.
Pendeknya, kedewasaan adalah kepribadian seseorang baik psikis maupun
moril telah menjadi stabil (tetap).
Dengan kestabilan itulah yang memungkinkan orang dapat mengadakan
hubungan-hugungan kemasyarakatan seperti hidup berkeluarga, memilih
(mencari) pekerjaan, hidup dalam perkumpulan-perkumpulan serta
berorganisasi dalam kemasyarakatan. Orang dewasa sadar akan stabilitas
dan kestabilan itu, ia benar-benar tahu siapa dirinya, ia tidak
bergantung pada pendapat orang lain tentang harga diri dan
kesanggupannya. Hal ini jugalah yang membedakannya dengan anak kecil
(belum dewasa) yang cenderung selalu meminta penghargaan dan keputusan
dari orang lain jika ia melakukan sesuatu. Dengan demikian, jelaslah
bagi kita bahwa kata kedewasaan menunjuk pada kematangan dan keserasan
antara jasmani dan rohani seseorang. Sehingga kedewasaan tidak hanya
dilihat sebagai kematangan jasmani (usia) seseorang saja, tetapi
haruslah dilihat kematangan psikis (intelegensinya) juga karena makna
kedewasaan itu tidak memisahkan antara jasmani dan rohani sebab manusia
adalah mahluk pribadi keduanya.
Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan antara gejala-gejala keanakkan dan kedewasaan:
Anak-anak | Dewasa |
Mencari bentuk | Menampakkan diri sebagai bentuk |
Tak mempunyai ketetapan | Mempunyai ketetapan |
Tak ada kemerdekaan | Meredeka |
Kelihatan mudah berubah | Tetap (stabil) |
Lemah | Kuat |
Memerlukan bantuan | Membantu |
Sangat mudah terpengaruh | Tahu mengambil/menentukan jalan |
Dari perbandingan gejala-gejala keanakkan dan kedewasaan di atas,
maka dapatlah kita menarik sebuah kesimpulan umum bahwa anak adalah
memiliki kecenderungan sebagai individu yang masih dalam keadaan ambivalen (labil)
sedangkan kedewasaan cenderung berada dalam keadaan stabil (tetap).
Dengan demikian, maka pada titik ini kita akan dapat mengatakan bahwa
kecenderungan-kecenderungan anak yang masih dalam keadaan labil tersebut
adalah merupakan isyarat bahwa anak (manuisa) haruslah mendapat didikan
atau bantuan pendidikan dari orang lain untuk menjadikan diri (anak)
sebagai individu yang dewasa dalam proses perkembangannya. Namun
demikian, orang dewasa (guru) tidaklah dapat serta-merta menjadikan
kondisi anak yang “labil” tersebut sebagai alasan untuk menempatkan anak
sebagai “objek” pendidikan yang selalu tunduk kepada ‘perintah’ dan
hanya dapat mengikuti “apa” yang tertuang dalam kurikulum. Tetapi, guru
(orang dewasa) hendaklah menempatkan anak disamping sebagai objek juga
harus dipandang sebagai subjek pendidikan yang tidak harus kaku pada
muatan-muatan kurikulum yang bersifat “normatif”, karena anak mempunyai
potensi untuk berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhannya.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan Anak
Dalam hal perkembangan anak (muda) menjadi (dewasa) adalah merupakan
persoalan yang sangat akut dibicarakan oleh banyak kita. Betapa tidak,
dalam konteks anak (manusia) sebagai individu jasmani dan rohani adalah
merupakan aspek “terumit” dalam proses perkembangannya. Sebab dalam
perkembangannya, anak (manusia) terdapat banyak faktor yang akan
mempengaruhinya. Diantaranya adalah pembawaan dan lingkungan. Sehingga pada titik ini, tak
heran ketika para ahli biologi, psikologi, ahli didik dan ahli-ahli
lainnya telah betahun-tahun lamanya memikirkan dan berusaha mencari
jawaban atas pertanyaan; perkembangan anak (manusia) itu bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan?.
Memang untuk mejawab secara “pasti” sangatlah sulit apakah perkembangan
anak (manusia) tersebut dipengaruhi oleh pembawaan ataukah lingkungan
atau kedua-duanya sama-sama berperan dalam mempengaruhi perkembangan
itu?. Pertanyaan inilah yang setidaknya telah melahirkan beberapa
pendirian atau aliran yang kelihatannya masing-masing hadir dengan
paradigma (sudut pandang) yang berbeda-beda dalam melihat faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak (manusia) tersebut).
Sebagaimana yang telah kita diskusikan di muka, bahwa aliran-aliran
tersebut adalah memiliki kecenderungan-kecenderungan yang masing-masing
hanya menonjolkan faktor-faktor tertentu saja yang paling berperan
dominan terhadap perkembangan anak (manusia). Aliran-aliran yang
dimaksud adalah:
a. Nativisme (1788-1880)
Nativisme yang berasal dari bahasa latin nativus berarti
“karena kelahiran” merupakan aliran yang dianjur oleh Arthur
Schopenhaver. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu
adalah telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak
lahir. Potensi-potensi yang terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang
menentukan hasil perkembangan manusia selanjutnya. Menurut aliran
nativisme bahwa pendidikan/lingkungan tidak dapat mengubah sifat-sifat
pembawaan, artinya pendidikan tidak dapat berperan merubah atau
mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam diri individu.
Ekstrimnya, pendidikan tidak diperlukan dalam proses perkembangan
manusia.
b. Naturalisme
Naturalisme yang berasal dari kata nature yakni alam atau
apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini hampir senada dengan aliran
nativisme. Penganjur aliran ini adalah J.J. Rousseau seorang filosof
Prancis yang hidup di tahun 1712 – 1778 berpendapat bahwa manusia sejak
lahir di dunia mempunyai pembawaan baik namun pembawaan tersebut akan
menjadi rusak karena pengaruh lingkungan. Dengan perkataan lain, dalam
perkembangan selanjutnya akan sangat ditentukan oleh pendidikan yang
diterima atau yang mempengaruhinya. Jika pendidikannya baik maka baik
pulalah ia (anak) itu, tetapi ketika pendidikan atau lingkungan dimana
ia (anak) tersebut melangsungkan perkembanganya buruk, maka buruk
pulalah ia (anak) itu. Dalam aritan, bahwa manusialah yang merusak anak
itu.
Olehnya demikian, aliran ini menganjurkan agar dalam proses
perkembangan anak tersebut diserahkan kepada “pendidikan alam” yakni
anak dibiarkan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau
masyarakat tidak perlu mencampurinya. Hal ini dapat kita buktikan pada
tiga prinsip pembelajaran yang dianjurkan oleh aliran Naturalisme yakni
(1) anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri yang kemudian
diyakini akan terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan
pertumbuhan dan perkembangan didalam dirinya secara alami. (2) guru
(orang dewasa) hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
Dimana guru berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang
menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke
arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk
memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Itu artinya, tanggung
jawab belajar terletak pada peserta didik (anak) itu sendiri. (3)
program pendidikan di sekolah atau institusi pendidikan lainnya harus
disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar
yang berorientasi pada pola belajar anak didik. Artinya, anak didik
diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai
dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, Naturalisme merupakan aliran pendidikan yang menekankan pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar (kegiatan pendidikan).
c. Empirisme {John Lock}
Jika aliran Nativisme dan Naturalisme beranggapan bahwa perekembangan
manusia itu tidak “perlu” ada intervensi pendidikan/lingkungan, tetapi
dibiarkan pada proses alamiah berdasarkan pembawaan sebagai potensi
dasar yang dibawa sejak lahir, maka aliran Empirisme berpendapat
sebaliknya yakni dalam perkembangan anak menjadi dewasa itu sama sekali
harus ditentukan oleh pendidikan/lingkungan dan pengalaman yang
diterimanya sejak kecil. Aliran ini beranggapan bahwa manusia-manusia
dapat dididik untuk menjadi apa saja (ke arah yang baik ataupun ke arah
yang buruk) menurut kehendak pendidikan/lingkungan yang mempengaruhinya.
Hal ini dapat kita perhatikan dari apa yang dikemukakan oleh tokohnya
yakni John Locke yang hidup di tahun 1632 – 1794. Seorang filosof
Inggris ini menjelaskan pandangan aliran Empirisme lewat teorinya yang
dikenal dengan Tabulae rasae (meja lilin). Teori ini
menyebutkan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ibarat “kertas putih
kosong/bersih” kemudian akan mempunyai corak atau bentuk (makna)
manakala disentuh atau digoresi/diisi oleh lingkungan dengan pemberian
pendidikan. Sementara faktor bawaan dari orang tua (keturunan) tidaklah
dipentingkan lagi, akan tetapi pengaruh empiris yang didapat dari
pengalaman melalui hubungan anak dengan lingkungan (sosial, budaya, dan
alam) pengaruhnya sangatlah besar dalam perkembangan dan pertumbuhan
anak selanjutnya.
Menurut aliran ini, pendidik sebagai faktor luar sangat memegang
peranan penting. Dimana pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi
anak, dan anak akan menerima sepenuhnya pendidikan yang diberikan/yang
didapatnya tersebut sebagai pengalaman. Sehingga pengalaman tersebut
dapat membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai dengan
dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Dengan perkataan lain,
Empirisme menganjurkan konsep pembelajaran yakni anak dididik melalui
pengalamannya dan pengalaman-pengalaman itu ditentukan oleh si pendidik
(anak didik hanya menerima pendidikan sebagai pengalaman tanpa
memperhitungkan potensi-potensi intern yang dibawa anak sejak lahir).
Kaitan dengan ini, kaum Behavioris sependapat dengan
pandangan Empirisme, bahwa dimana pendidikan/lingkungan yang didapat
dalam pengalaman anak (manusia) itulah yang akan menentukan perkembangan
manusia selanjutnya. Sebagai contoh kata-kata Waston seorang Behavioris
tulen dari Amerika yang dikutip dalam tulisan (M. Ngalim Purwanto,
1984), adalah ‘berilah saya sejumlah anak yang baik keadaan badannya dan
situasi yang saya butuhkan; dan dari setiap orang anak, entah yang mana
yang saya jadikan seorang dokter, pedagang, ahli hukum, atau jika
memang dikehendaki akan dijadikan sebagai pengemis atau seorang
pencuri’.
Kata-kata Waston di atas, merupakan pandangan yang sangat ekstrim
dalam dunia pendidikan. Kata-kata tersebut menggambarkan seolah-olah
anak (manusia) dapat dibentuk sesuai kehendaknya, padahal manusia
tidaklah dapat dibentuk melainkan hanya dapat dikembangkan sesuai
potensi-potensi yang terdapat dalam diri individu-individu. Itu artinya,
bahwa aliran Empirisme dan juga kaum Behavoirisme memiliki kelemahan
yakni hanya mementingkan faktor pengalaman. Sementara kemampuan dasar
yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, banyak anak yang
berbakat juga dapat berhasil meskipun lingkungan dimana ia (anak)
tersebut berkembang tanpa didukung oleh lingkungan yang baik (maksimal).
Dan juga banyak anak yang gagal (tidak berhasil) meskipun berada dalam
lingkungan yang mendukung sekalipun.
d. Konvergensi
Ketiga pendapat yang telah diuraikan di atas merupakan
pandangan-pandangan yang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing
dalam melihat perkembangan anak (manusia). Yang satu menitikberatkan
pada lingkungan sebagai faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan
dan yang lainnya menitikberatkan pada faktor pembawaan. Maka pada titik
ini kita akan mendiskusikan satu pandangan lagi mengenai perkembangan
anak (manusia) tersebut yakni hukum konvergensi. Awal mula pandangan ini
adalah berasal dari seorang ahli ilmu jiwa berbangsa Jerman William
Stern yang hidup di tahun 1871 – 1939, ia berpendapat bahwa pembawaan
dan lingkungan keduanya menentukan perkembangan manusia. Dimana
perkembangan manusia itu akan ditentukan atau merupakan hasil dari dua
faktor yakni lingkungan dan pembawaan. Dimana anak yang berpembawaan
baik dan didukung oleh lingkungan dan pendidikan yang baik, maka
perkembangan anak tersebut akan menjadi semakin lebih baik. Sedangkan
bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
didukng oleh lingkungan/pendidikan yang sesuai dengan perkembangan bakat
tersebut. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan
perkembangan anak secar optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang
dibawa sejak lahir.
Namun demikian, belum tepatlah kiranya jika pandangan konvergensi
tersebut serta-merta diperuntukkan bagi perkembangan manusia, mungkin
lebih tepat bila hal itu dialamatkan kepada perkembangan hewan atau
binatang.
Sebagai contoh, benarkah jika kita mengatakan ‘si Mizan adalah
merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya si Mizan?. Ketika
jawabannya ‘benar’, maka seolah-olah si Mizan itu ‘hanya’ merupakan
hasil dari proses alam yaitu pembawaan dan lingkungan belaka. Jika
pembawaannya begini dan lingkungannya begitu, maka manusia akan demikian
pula. Jika demikian halnya, maka apa bedanya dengan proses mencari
hasil dari ‘angka-angka’ dalam pengetahuan matematika?. Kalau memang
proses perkembangan manusia sama halnya dengan rumus-rumus pengetahuan
matematika, maka dapat dipastikan bahwa tugas guru (ahli pendidik) akan
lebih mudah yaitu tinggal mencari jalan untuk mengetahui pembawaan
seseorang (kalau saja pembawaan itu dapat diketahui dengan pasti), dan
kemudian mengusahakan suatu lingkungan atau pendidikan yang cocok
(relevan) dengan pembawaan tersebut.
Sekali lagi, proses perkembangan binatang dengan manusia tidaklah
dapat disamakan. Sebab perkembangan binatang adalah merupakan hasil dari
pembawaan dan lingkungannya, binatang hanya ‘terserah’ pada pembawaan
keturunan dan pengaruh lingkungannya. Dimana perkembangan pada binatang
seluruhnya ditentukan oleh kodrat dan hukum-hukum alam. Sementara
manusia tidak hanya dari pembawaan dan lingkungannya, melainkan manusia
lebih memiliki pengalaman ‘empirik’ yang dapat mempengaruhi
perkembangannya.
Dengan berpijak pada uraian di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa
jika ditanya tentang ‘perkembangan manusia itu bergantung pada pembawaan
ataukah kepada lingkungan?’, atau manakah yang lebih dasar atau lebih
kuat mempengaruhi perkembangan manusia itu?. Maka kita dapat mengatakan
bahwa itu bukanlah bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya, sebab
hal itu adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak ada jawabannya.
Begitu juga W. Stern tidak menerangkan seberapa besar perbandingan
pengaruh kedua faktor tersebut dan hingga dewasa ini dominasi pengaruh
kedua faktor itu belumlah dapat ditetapkan.
e. Aliran Esensialisme
Esensialisme merupakan aliran pendidikan yang bersumber dari filsafat
idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan kedua aliran filsafat
tersebut adalah bersifat eklektik, artinya dua aliran tersebut bertemu
sebagai pendukung Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus
bersendikan nilai-nilai yang mendatangkan kestabilan. Dalam artian,
nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman hidup
sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Sebagai contoh, apa yang terjadi
pada pendidikan di zaman Renaisans yang telah menjadikan nilai-nilai
kebudayaan (terutama nilai-nilai agama) sebagai akar pendidikan adalah
menurut aliran Esensialis merupakan cerita sejarah yang patut dicatat
untuk diikuti dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang esensial
dalam pendidikan.
Tokoh-tokoh pendidikan Renaisans yang memberikan pandangannya
terhadap pentingnya menjadikan nilai-nilai “kebudayaan” sebagai akar
pendidikan adalah pertama Johan Amos Cornenius (1592-1670) yang
berpadangan bahwa segala yang berhubungan dengan sesuatu yang
“diajarkan” agar diberikan melalui “indra” karena merupakan pintu
gerbangnya jiwa. Tokoh kedua ialah Johan Frieddrich Herbart (1776-1841)
yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa
seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu adanya penyesuaian
dengan hukum kesusilaan. (proses untuk mencapai tujuan pendidikan oleh
Herbert adalah disebut sebagai pengajaran). Tokoh ketiga yaitu William
T. Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah
menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakan
dan bersendikan kesatuan spiritual. Dimana sekolah atau institusi
pendidikan lainnya merupakan lembaga yang memelihara nilai-nilai yang
telah turun-temurun dan mejadi penuntun penyesuaian orang pada
masyarakat.
Dengan demikian, ketiga pendapat dari tokoh-tokoh di atas bagi kita
dapat menyimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar
nilai-nilai esensial adalah menjadi landasan dasar pendidikan. Yakni
nilai-nilai yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah
turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman Renaisans. Dimana
Renaisans menurut aliran Esensialisme merupakan zaman yang patut
dijadikan sebagai “corong” sejarah yang banyak berbicara tentang
nilai-nilai dasar kehidupan manusia melalui kegiatan pendidikan.
f. Aliran Progresivisme
John Dewey merupakan tokoh aliran Progresivisme, ia berpendapat bahwa
manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi
serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah
yang dapat mengancam dirinya. Aliran Progresivisme berpandangan bahwa
peserta didik (warga belajar) mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu
ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika
dibanding mahluk lain. Itu artinya, bahwa peningkatan kecerdasan menjadi
tugas pendidik yang secara teori mengerti dan memahami karakter peserta
didiknya.
Dimana perserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani
dan rohani, namun juga termanifestasikan didalam tingkah laku dan
perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani dalam hal
ini adalah terutama kecerdasan merupakan hal penting yang harus
dioptimalkan. Dengan perkataan lain, peserta didik diberi kesempatan
untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya sehingga suasana belajar
timbul/muncul di dalam maupun di luar sekolah ataupun lembaga
pendidikan lainnya.
g. Aliran Perenialisme
Perenialisme merupakan aliran pendidikan yang memandang bahwa
kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan
dasar pendidikan sekarang. Aliran ini berpandangan tentang pendidikan
ialah proses belajar untuk berpikir. Dengan demikian, peserta didik
harus dibiasakan untuk berlatih sejak dini. Inilah yang dewasa ini kita
kenal dengan pendidikan anak usia dini (PAUD). Tokoh aliran Perenialisme
adalah Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquino. Tokoh-tokoh ini mempunyai
berpendirian terhadap aktivitas pembelajaran dalam proses pendidikan
yakni menganjurkan pada proses awal pembelajaran, peserta didik
haruslah beri kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan
berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih tinggi;
seperti berlogika, retorika, dan bahasa. Itu artinya, bahwa kemampuan
dasar manusia itu perlu dikembangkan secara bertahap dan
berkesinambungan sehingga tujuan-tujuan pendidikan dapat diwujudkan.
h. Aliran Konstruktivisme
Giambatista Vico adalah seorang epistemolog Italia yang merupakan
jargon gagasan pokok aliran Konstruktivisme, ia dipandang sebagai
cikal-bakal lahirnya aliran ini. Ia berpendapat bahwa Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia merupakan tuan dari ciptaan itu.
Artinya, Tuhan adalah sang yang mengetahui sesgala sesuatu, dan manusia
hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico,
pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk dan
pengetahuan tidak dapat dilepas dari subjek yang “mengetahui”. Manusia
sebagai tuan disini masksudnya adalah sebagai mahluk yang mempelajari
sesuatu yang dicipta dan diketahui Tuhan untuk kemaslahatan kehidupan
dunia.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran ini dikembangkan oleh Jean
Pieget melalui toeri perkembangan kognitif. Pieget mengemukakan bahwa
pengetahuan merupakan interaksi kontinyu antara individu satu dengan
lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu
barang. Menurut Pieget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual
antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru.
Pieget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif, dipengaruhi oleh
tiga proses dasar yakni (1) asimilasi adalah perpaduan data baru dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki. (2) akomodasi yakni penyesuaian
struktur kognitif terhadap situasi baru. Dan (3) akuilibrasi ialah
penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi
dan akomodasi. Dengan demikian, pandangan ini dapat memberi konfirmasi
kepada kita untuk menyimpulkan bahwa aliran Konstruktivisme adalah
aliran pendidikan yang menegaskan bahwa pengetahuan mutlak merupakan
sesuatu yang hanya diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri
seseorang; melalui pengalaman yang diterimanya lewat pancaindra.
Dengan demikian, aliran ini (Konstruktivisme) menolak adanya transfer
pengetahuan yang dilakukan dari seseorang kepada orang lain. Dengan
alasan bahwa pengetahuan bukan “barang” yang bisa dipindahkan begitu
saja, sehingga jika pembelajaran hanya ditujukan untuk kegiatan transef
ilmu pengetahuan, maka perbuatan macam itu akan sia-sia saja.
Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran lebih ditujukan
untuk menggali pengetahuan. Itu artinya, bahwa ilmu pengetahuan tidaklah
serta-merta bersumber dari seseorang (guru) saja, melainkan ilmu
pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui apa dan dimana saja lewat
proses kegiatan ilmiah dalam rangka mengembangkan potensi (bakat) yang
dibawa manusia sejak lahir dan upuya-upaya mendapkan lingkungan yang
dapat mendukung aktualisasi potensi-potensi tersebut.
Keturunan dan Pembawaan
Setelah kita menguraikan bagaimana pendapat para ahli tentang
pengaruh pembawaan dan lingkungan terhadap perkembangan manusia, maka
timbullah sekarang pertanyaan ‘apakah sebenarnya yang dimaksud dengan
pembawaan dan keturunan itu?. Dengan demikian, marilah kita
mendiskusikan apa yang dimaksud dengan kedua hal tersebut
Keturunan, kita dapat mengatakan bahwa sifat-sifat atau
ciri-ciri yang terdapat pada seorang anak adalah ‘keturunan’ jika itu
diwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dari generasi yang
satu ke generasi yang lain (M. Ngalim Purwanto, 1984). Namun demikian,
kita haruslah hati-hati benar sebelum memutuskan suatu sifat atau
ciri-ciri yang terdapat pada seseorang tersebut merupakan keturunan
ataukah bukan. Meskipun kita melihat suatu sifat atau ciri-ciri yang
sama antara orang tua dan anaknya, tapi hal itu belum dapat kita jadikan
sebagai sebuah kesimpulan bahwa sifat atau ciri-ciri pada anak itu
diterima melalui keturunan.
Misalnya saja, si bapak ‘malas’ dan anaknya juga malas, ini belum
berarti bahwa kemalasan anak itu adalah keturunan. Mungkin sifat malas
pada anak itu disebabkan karena dengan tiada sadar anak itu ‘meniru’
dari bapaknya, hal inilah yang dapat juga kita katakan akibat dari
pengaruh lingkungan. Contoh lain adalah seorang ibu atau bapak mempunyai
kesamaan dengan anaknya dalam hal ‘gerak-gerik’ pada waktu berjalan,
inipun tidak dapat tergesa-gesa kita menyimpulkan bahwa itu adalah
keturunan. Mungkin saja sifat-sifat itu itupun karena ditiru oleh anak
dari gerak-gerik orang tuanya pada waktu berjalan; jadi lingkungan
menjadi kemungkinan mempengaruhinya.
Disamping itu juga, perlu dicatat bahwa belum pasti suatu sifat atau
ciri-ciri yang terdapat pada seseorang yang merupakan keturunan itu
diterimanya secara langsung dari orang tuanya. Mungkin juga sifat-sifat
keturunan itu diwarisinya dari nenek atau buyutnya, sebab kita
mengetahui bahwa tidak semua individu dari suatu generasi menunjukkan
sifat-sifat yang menurun. Dapat juga sifat-sifat tersebut tersembunyi
beberapa generasi. Dengan demikian, sifat-sifat yang memiliki
kemungkinan dapat ditiru oleh ‘generasi’ yang lain adalah belumlah dapat
disimpulkan dengan pasti sebagai hasil ‘keturunan’ melainkan juga dapat
diakibatkan oleh pengaruh lingkungan.
Pembawaan, agar lebih jelas lagi pengertian kita tentang
keturunan dan bagaimana hubungannya atau adakah perbedaannya dengan
pembawaan. Uraian berikut akan menjelaskan kepada kita bahwa pembawaan
adalah seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi) yang terdapat pada
suatu individu dan selama masa perkembangan benar-benar dapat
diwujudkan (direalisasikan). Pengertian umum dari pembawaan tersebut
memberi isyarat kepada kitta untuk mengatakan bahwa anak atau manusia
itu sejak dilahirkan dengan ‘normal’ telah mempunyai kesanggupan
(potensi) untuk berjalan, berlari, berkata-kata, untuk makan dan minum,
dan lain-lain.
Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa bermacam-macam potensi yang
ada pada anak (manusia) tersebut tentu tidak begitu saja dapat
menyatakan diri dalam perwujudannya. Untuk dapat diwujudkan sehingga
kelihatan dengan nyata, potensi-potensi tersebut haruslah mengalami
perkembangannya serta membutuhkan latihan-latihan. Dimana
kesanggupan-kesanggupan untuk dapat berjalan, berlari, makan-minum serta
bercakap yang telah ada dalam pembawaannya akan dapat berkembang karena
lingkungannya serta karena kematangan pada suatu masa tertentu.
Pendeknya, kita dapat mengatakan bahwa pembawaan adalah semua
kesanggupan atau potensi yang dapat diwujudkan.
Kesanggupan-kesanggupan itu sendiri pada dasarnya, sudah ada dalam
pembawaan dan tidak dapat kita amat-amati. Namun kita hanya dapat
memperhatikan prestasi-prestasi, bentuk-bentuk wataknya, dan tingkah
laku suatu individulah untuk mengatakan kesimpulan tentang suatu
pembawaan. Itulah sebabnya dalam pengalaman keseharian kit, kebanyakan
orang mengartikan wujud pembawaan itu adalah kesanggupan-kesanggupan
untuk mencapai prestasi yang tinggi saja. Misalnya seorang anak
dikatakan mempunyai pembawaan seni musik, manakala ia telah menunjukkan
kesanggupan-kesanggupan yang nyata (berprestasi) dalam bermusik.
Pada titik selanjutnya, kita hendaklah mencatat bahwa sifat-sifat
dalam pembawaan itu seperti potensi-potensi untuk belajar ilmu pasti,
bercakap-cakap dengan baik, berjalan dan berlari, makan dan minum dan
lain sebagainya adalah merupakan struktur pembawaan anak. Dalam artian
bahwa sifat-sifat yang bermacam-macam dalam pembawaan itu merupakan
keseluruhan yang erat hubungannya antara satu dengan yang lainnya; yang
satu menentukan-mempengaruhi, menguatkan atau melemahkan yang lain. Hal
ini terjadi karena manusia tidaklah dilahirkan dengan membawa
sifat-sifat pembawaan masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tetapi
merupakan struktur pembawaan yang menentukan apakah yang mungkin terjadi
pada seseorang. Sifat-sifat pembawaan atau kesanggupan-kesanggupan yang
termasuk kedalam struktur pembawaan itu tidak semuanya dapat berkembang
atau menunjukkan diri dalam perwujudannya, namun adapula sifat-sifat
yang tetap terpendam (tinggallaten tersembunyi); tetap tinggal sebagai
kemungkinan saja yang pada saatnya dapat mewujudkan diri.
Penyebab perkembangan sifat-sifat pembawaan itu menjadi tetap
‘tinggal’ terpendam adalah faktor-faktor dari luar (ekstern). Misalnya,
karena tidak mendapt kesempatan latihan atau pengajaran yang cukup.
Sementara faktor dari dalam (intern), misalnya konstitusi tubuh yang
sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan berkembangnya sifat-sifat
pembawaan itu.
Pembawaan-keturunan, setelah soal keturunan dan pembawaan kita
bicarakan secara terpisah-pisah. Maka pada titik inilah kita akan
membandingkan kedua pengertian tersebut dalam rubrik yang sama agar kita
lebih jelas dan lebih hati-hati dalam penggunannya. Walaupun disadari
bahwa untuk membedakan secara ‘pasti’ antara keturunan dan pembawan
adalah merupakan perkara yang sangat ‘rumit’, numun analogi-analogi
berikut ini akan memberi pengertian yang lebih jelas dari perbedaan
kedua hal tersebut.
Jika seandainya ada seorang anak yang ketika dilahirkan dengan tidak
normal yakni membawa suatu cacat pada bagian tubuhnya, seperti berbibir
sumbing atau tidak dapat berbicara/bisu. Dalam hal yang demikian itu,
kita tidak dapat dengan serta-merta mengatakan disebabkan oleh faktor
keturunan, karena dapat juga diakibatkan oleh pertumbuhan embrio yang
tidak normal. Umpamanya, mungkin karena disebabkan oleh sang ibu yang
waktu hamil suka mengkonsumsi minuman keras (beralkohol). Jadi dalam
konteks ini, ‘catat’ anak itu disebabkan karena faktor-faktor yang
diperoleh dalam masa pertmubuhannya atau didibawa sejak kelahirannya.
Dan bukan diperoleh melalui keturunannya.
Dengan demikian, semua yang dibawa oleh si anak sejak dilahirkan
adalah diterima karena kelahirannya meskipun memang ada kemungkinan dari
pembawaan, tetapi pembawaan itu tidaklah semuanya diperoleh karena
keturunan. Sebaliknya, semua yang diperoleh karena keturunan dapat
dikatakan pembawaan, atau lebih tepatnya lagi adalah
pembawaan-keturunan.
Mungkin sampai disini kita masih belum jelas tentang uaraian
contoh-contoh di atas, untuk itu contoh berikut ini diketengahkan semoga
dapat menjadi penjelasannya; seorang anak mempunyai kepandaian dan
kecakapan tentang tentang seni musik, ia pandai dan lekas mempelajarinya
segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia musik. Ada kemungkinan
besar bahwa kesanggupan yang dipunyai oleh anak itu benar-benar
merupakan sifat-sifat pembawaanya; jadi memang dapat dikatakan bahwa ia
berpembawaan atau berbakat musik. Tetapi, yang perlu diingat adalah
apakah pembawaannya tentang seni musik itu juga diperoleh karena
‘keturunannya’, belum dapat ditentukan dengan pasti. Sebab dalam
pengalaman bahwa banyak orang (anak) yang pandai dan lihai dalam
bermusik, meskipun orang tua, nenek dan buyutnya sama sekali tidak
memiliki kemampuan dalam bidang yang sama (musik). Dan begitupun
sebaliknya, ada orang tua, nenek dan buyutnya yang pandai dan lihai
dalam bermusik tetapi anak (keturunannya) sama sekali tidak memahami
tentang dunia musik. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa segala
sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan (kesanggupan) pada seseorang
tidaklah selamanya dapat disimpulkan sebagai hasil yang diterimanya
melalui keturunannya dan begitupun sebaliknya tidaklah semuanya
dibawanya sejak lahir (karena kelahirannnya).
Selanjutnya kita akan diskusikan tentang Pembawaan dan Bakat, dimana
sebenarnya kedua kata ini adalah merupakan dua istilah yang sama
maksudnya. Umumnya dalam buku-buku ilmu jiwa, kita dapati kedua istilah
itu digunakan sejajar sama-sama dipakai untuk satu pengertian. Namun,
kedua istilah tersebut memliki perbedaan jika ditilik dari titik berat
penekanan pengertiannya yakni terlatak pada yang satu mengandung
pengertian yang lebih luas daripada yang lainnya. Dengan demikian,
contoh berikut ini akan memperjelas perbedaan kedua istilah tersebut:
Si Anggi berpembawaan musik; dapat juga dikatakan si Anggi berbakat
musik. Si Agil berpembawaan ilmu pasti; dapat juga dikatakan si Agil
berbakat ilmu pasti. Tetapi, jika si Helmi berpembawaan badan gemuk;
sangat janggal bila si Helmi dikatakan berbakat gemuk. Si Yati
berpembawaan rambut ikal; sangat keliru jika si Yati dikatakan berbakat
rambut ikal. Atau si Galang berpembawaan berbadan badan tinggi; dapatkah
kita katakana bahwa si Galang berbakat badan tinggi? Tentu jawabannya
tidak.
Dari contoh-contoh tersebut di atas, dapatlah kita sepakati bahwa
kata ‘bakat’ dalam konteks ini lebih dekat pengertiannya dengan kata aptitude yang
berarti kecakapan pembawaan, yakni yang mengenai
kesanggupan-kesanggupan (potensi-potensi) tertentu. sedangkan kata
‘pembawaan’ mengandung arti yang lebih luas yaitu semua sifat, ciri, dan
kesanggupan yang dibawa sejak lahir; jadi termasuk juga ‘pembawaan
keturunan’. Beberapa macam pembawaan itu adalah seperti pembawaan jenis
kulit, ras, jenis kelamin dan juga ada pembawaan perseorangan; sifatnya
unik meskipun sama berjenis kelamin atau persamaan ras, namun
masing-masing mempunyai yang berbeda-beda seperti watak, intelegensi,
sifat-sifat dan lain-lain. Jadi setiap individu, mempunyai pembawaan
perseorangan yang berlainan.
Sedangkan macam-macam pembawaan keturunan adalah terdiri dari
institusi tubuh (badan, sikap berjalan, raut muka, dan gerakan bicara),
cara bekerjanya alat-alat indera (jenis makanan tertentu mirip dengan
kesukaan yang dimiliki oleh ayah atau ibunya), sifat-sifat ingatan dan
kesanggupan belajar (ada orang yang dapat menyimpan kesan-kesan dalam
waktu yang relatif lama dan tidak lekas dilupakan dan ada juga yang
sebaliknya sebagaimana keturunannya), dan cara-cara berlangsungnya emosi
yang khas atau dalam ilmu psikologi sering disebut temperamen, tempo
dan ritme perkembangan (ada yang cepat dan ada juga yang lamban
perkembangan jasmani atau rohaninya.
Bagian IV
Problem-problem dalam Pendidikan
Bla bla?
Bagian V
Teori Belajar (sejarah perkembangannya)
Dalam sejarah perkembangannya, teori belajar
dikategorikan dalam dua periode yakni yang dikembangkan sebelum tahun
1930 dan sesudah tahun 1930. Teori-teori belajar yang dikembangkan
sebelum era 1930 adalah teori-teori yang dilandasi oleh pemikiran yang
filosofis dan spikulatif tanpa melalukan eksperimen yang sistematis dan
berkelanjutan. Yang termasuk dalam teori ini adalah teori pengembangan alamiah, disiplin mental dan teori apersepsi. Sementara
teori-teori belajar yang dikembangkan setelah tahun 1930 adalah
teori-teori yang berdasarkan pada penelitian-penelitian ilmiah lewat
serangkaian eksperimen.
Namun demikian, bahwa teori-teori belajar yang pernah berkembang dari
pemikiran-pemikiran ‘spikulatif’ para penganjurnya adalah merupakan
sumbangan yang “berharga” bagi perkembangan teori-teori belajar
selanjutnya. Teori-teori belajar tersebut berkembang teori-teori
pembelajaran yang merupakan representatif dari metodologi empirisme yang
dipengaruhi oleh asosianisme dan behaviorisme antara lain adalah teori Connectionisme-nya Thorndike (1874-1949), teori Classical Conditioning-nya Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), teori Contiguous Conditioning-nya Hull (1884-1952), teori Human Associative Learning, Operant Conditioning-nya B.F. Skinner (1930), teori Stimulus Sampling-nya Estes (1963), dan beberapa teori behaviorisme yang berkembang kemudian.
Sementara teori-teori belajar yang mencerminkan ‘rasionalisme’ adalah teori-teori pembelajaran yang dipengaruhi oleh ideas of organization dan struktur kognitif yakni teori Gestalt Psychology, Sign-Gestalt yang dikembangkan oelh Edward C. Tolman (1886-1959) dan teori Information Processing of Learning, serta
teori-teori kognitif yang dikembangkan selanjutnya (hingga saat
sekarang ini). Dan pada bagian ini kita hanya mendiskusikan tentang
perkembangan teori-teori belajar pada beberapa penganjurnya yang
dianggap ‘bersejarah’ dalam mempengaruhi perjalanan perkembangan
teori-teori belajar (pembelajaran) dewasa ini.
Thorndike
Teori Thorndike yang pertama kali dipublikasikan (1898) dalam Animal Intelligence yang
dicatat sebagai teroi yang mampu dominan di dunia pendidikan Amerika
selama hampir setengah abad. Thorndike pada awal karyanya tersebut,
mengatakan bahwa asosiasi antara kesan panca indera dengan dorongan
untuk berbuat adalah merupakan dasar teori belajar. Dimana asosiasi
tersebut adalah pertalian atau koneksi antara stimulus dan respon (S-R),
kuat dan lemahnya koneksi tersebut akan berpengaruh dalam pembentukan
atau peniadaan sebuah tingkah laku. Dengan demikian, Thorndike
beranggapan bahwa belajar merupakan respon-respon sederhana yang
bersifat otomatis-mekanistik terhadap stimulus-stimulus yang
dihadapinya.
Sebenarnya, teori belajar yang diyakini Thorndike tersebut adalah
awalnya dibangun dari pengamatan terhadap tingkah laku binatang merespon
atas stimulus-stimulus yang diberikan sebagai perangsang. Seperti yang
ia lakukan pada kucing, ikan dan monyet. Kucing misalnya, Thorndike
mengurung kucing dalam sebuah kotak atau yang dikenal problem box yang dirancang khusus dengan sebuah mekanisme yang bila disentuh menyebabkan pintu box tersebut akan terbuka. Dan diluar box atau
kurungan disimpannya ‘makanan’ yang dapat dilihat oleh kucing. Pada
awalnya, kucing bertingkah laku tidak menentu (ada kehendak ingin
memakan makanan tersebut), tetapi kehendak itu terhalangi karena pintu
kurungan dalam keadaan tertutup. Sampai pada suatu ketika, secara tidak
sengaja ia (kucing) menginjak mekanisme yang dipasang sehingga pintu
menjadi terbuka. Dan pada akhirnya, kucing tersebut secara cepat
memberikan reaksi yang ‘tepat’ terhadap makanan (stimulan).
Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik Thorndike dari peristiwa itu
adalah (1) adanya hadiah (stimulus) yang berupa makanan diletakan
diluar kotak, telah membuat kucing terdorong untuk memberikan respon.
(2) respon-respon yang ditampakkan oleh hewan atau binatang bersifat
otomatis-mekanistik. Dan (3) respon-respon yang dilakukan kucing (dan
hewan yang lain), bukanlah merupakan hasil dari penalaran (reasoning)
tetapi respon yang muncul lebih merupakan usaha yang bersifat
‘coba-coba’ yang dilakukan oleh hewan atau binatang. Atas dasar cara
berpikir seperti di atas, maka Thorndike kemudian menyusun konsepnya
tentang teori belajar. Yakni Trial and Error Learning atau yang lebih dikenal dengan Learning by Celection and Connection. Yang
dimaksud dengan teori ini adalah sebuah cara belajar yang dilakukan
dengan proses memilih dan menghubungkan. Dalam artian, bahwa teori
belajar ini dapat berlaku pada hewan atau manusia yang sama-sama
dihadapkan pada situasi problematik yang harus dipecahkan agar dapat
memperoleh tujuan belajar yang diharapkan sebagai konsekuensinya.
Seperti melepaskan diri dari problem-box untuk mendapatkan
sebuah makanan atau uang (sebagai stimulus). Konsep belajar Thorndike
ini adalah menunjuk pada ‘keharusan’ pelajar (yang belajar) untuk dapat
menyeleksi/memilih satu respon dari beberapa respon yang mungkin (yang
relevan dengannya). Contoh pada situasi yang sama antara manusia dan
anjing, diletakan/dimunculkan hadiah ‘tulang dan nasi’ sebagai
(stimulus) untuk direspon. Maka manusia dan anjing tersebut harus dapat
memilih salah satu (stimulus) itu sehingga dengan cara ini memungkinkan
terjadinya motivasi-motivasi terhadap suatu peristiwa untuk hasil yang
hendak dicapai.
Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa hadiah dan hukuman,
sukses dan kegagalan adalah dianggap sebagai mekanisme dalam pemilihan
respon yang lebih adaptif. Disini Thorndike dan juga para psikolog
dimasanya, nampaknya terpengaruh oleh mekanisme seleksi alam (natural selection) yang
merupakan dasar dari teori evolusinya Darwin. Dan hal inilah yang
memunculkan kritikan-kritikan dari berbagai pihak kala itu, ada dua hal
yang dikritik yakni (1) bahwa kepuasaan (satisfaction) dan ketidakpuasaan (annoyence) adalah
sebenarnya merupakan masalah subjektif yang tidak ‘tepat’ jika
digambarkan melalui pembelajaran pada binatang (sebagaimana yang
dilakukan Thorndike yang menserta-mertakan cara pembelajaran antara
manusia dan binatang). (2) pengaruh yang dilalami pada masa lampau,
tidaklah selamanya dapat dirasakan pada masa sesudahnya.
Atas dasar kritik (keberatan) tersebut, Thorndike pada masa
berikutnya memperbaiki konsepnya yang mulanya ia meyakini bahwa pengaruh
keadaan akan memuaskan (manakala adanya hadiah) dan pengaruh keadaan
tidak akan memuaskan (apabila adanya hukuman). Dalam konteks ini,
Thorndike merevisinya dengan penjelasan sebagai berikut: efek atau
akibat dari adanya reward (hadiah) dan hukuman adalah tidak
sama; hadiah mungkin akan menjadi stimulan yang lebih kuat untuk
mendorong seseorang melakukan aksi (merespon). Sedangkan hukuman juga
akan mendorong atau mendukung munculnya aksi, tetapi tidak sekuat
pengaruh atau efek dari hadiah. Contoh; dalam belajar, dengan adanya
‘hadiah’ akan memberikan dorongan yang kuat bagi siswa (warga belajar)
untuk lebih banyak (tekun/rajin) belajar. Sebaliknya dalam kriminalitas,
dengan adanya ‘hukuman’ atas suatu perbuatan tidaklah cukup kuat untuk
menjamin dapat mencegah seseorang agar tidak melakukan/mengulangi seuatu
perbuatan yang dilanggar.
Kaitan dengan ini, salah satu konsep Thorndike yang berkembang kemudian adalah speed of effect. Konsep ini diajukan olehnya sebagai argumentasi atas pengaruh langsung dari reward (hadiah), dimana yang dimaksud dengan speed of effect adalah
pengulangan (repetisi) respons yang merupakan efek atau akibat dari
adanya stimulun (hadiah). Mislanya dalam bidang pendidikan, adanya
hadiah akan membuat siswa untuk terus belajar dan siswa yang lain juga
akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama pada siswa sebelumnya.
Dengan demikian, bahwa peningkatan respon (siswa) akan terjadi apabila
ia sering dihadapkan pada situasi serupa pada perkembangan selanjutnya,
dan pengulangan respon dapat terjadi manakala situasi yang serupa
tersebut berulang kali ia hadapi.
Ivan Petrovich Pavlov
Bicara tentang cikal bakal perjalanan teori-teori belajar, maka
seolah-olah nama seorang Pavlov selalu terngiang dalam cerita pikiran
kita. Betapa tidak, ahli fisiologi dari Rusia tersebut adalah merupakan
tokoh sentral dalam teori Classical Conditioning yang terkenal
sangat berpengaruh di hamparan bumi Uni Sovyet karena didalam teroi itu
terdapat konsep ‘Condition Reflex’ sebagaimana yang dijelaskan oleh
ilmuwan Amerika yakni Guthrie, Skinner, dan Hull. Penelitian tentang
Condition Reflex, adalah dimulai sejak tahun 1899 dengan
dipublikasikannya tesis Wolfson dengan judul “Observation Upon Salivary
Secretion” yang dibimbing oleh Pavlov. Namun demikian, Pavlov sebelumnya
telah melakukan eksperimen klasiknya yang dimulai dengan melakukan
pengamatan pada seekor anjing yang diberi makanan berupa (daging) yang
dapat menyebabkan anjing akan mengeluarkan air liurnya. Dimana, makanan
merupakan perangsang tidak terkondisi atau Unconditioned Stimulus (US) sementara keluarnya air liur disebut Unconditioned Reflex atau lebih dikenal dengan Unconditioned Respon (UR) yakni respon tidak terkondisi.
Kemudian Pavlov melanjutkan eksperimennya dengan memberikan
perangsang lain seperti ‘cahaya’ yang dikombinasikan dengan pemberian
makanan dengan cara bergantian dan berulang-ulang. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Pavlov bahwa eksperimen itu, juga telah menyebabkan
anjing mengeluarkan air liurnya. Akhirnya hanya diberikan perangsang
berupa cahaya tanpa adanya makanan, maka yang terjadi adalah anjing
tetap mengeluarkan air liurnya. Dengan demikian, cahaya merupakan
Conditioned Stimulus (CS) atau perangsang terkondisi. Sementara respon
yang ditimbulkan akibat adanya CS tersebut, dikenal dengan Conditioned
Reflex atau Conditioned Respons (CR) yang merupakan respon terkondisi.
US dan
Dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
CR/reflek terkondisi atau yang berhubungan dengan (air liur), maka
Pavlov menggunakan konsep hambatan dengan cara mengidentifikasi beberapa
faktor penyebab hambatan. Dalam konsep hambatan Pavlov dikenal ada dua
macam yakni hambatan eksternal dan hambatan internal. Hambatan eksternal
adalah kerugian temporer (sementara) pada CR (air liur) akibat
terganggunya stimulus (makanan/cahaya). Misalnya, hewan terganggu dengan
adanya suara keras. Sehingga akan mempengaruhi keluarnya air liur yang
sudah terkondisi dengan adanya perangsang (cahaya/makanan) sebagai
stimulusnya (CS). Sementara hambatan internal adalah suatu bentuk
hambatan yang ditimbulkan oleh suatu pasangan stimulus tanpa adanya
penguatan. Contoh, jika CS (makanan/cahaya) diberi berulang-ulang tanpa
adanya penguatan, pada akhirnya akan terjadi kesulitan untuk melahirkan
respon dari hewan tersebut. Sebab pemberian CS secara berulang-ulang,
sama halnya dengan menciptakan kondisi baru dan menjadi hambatan
internal pada objek. Penguatan yang dimaksud adalah stimulus yang perlu
diberikan atau dihilangkan untuk memungkinkan terjadinya respon. Inilah
yang disebut dengan penguatan positif dan penguatan negatif. Sebagai
contoh penguatan positif adalah dengan cara memperlihatkan organ
internal hewan seperti ginjal, hati atau kelenjar pancreas, sebab dalam
berbagai hal telah menunjukkan bahwa organ-organ binatang/hewan pada
bagian dalam sama kondisinya dengan organ bagian luar.
Apapun bentuk kesimpulan teori Pavlov, haruslah diakui sebagai karya
yang positif dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena dimana
teori belajar yang ia bangun dari tersebut ialah merupakan fakta empiris
yang didapatinya melalui eksperimen serta kegiatan-kegiatan empiris
lainnya. Bagaimanapun juga, teori Pavlov telah banyak memberikan
“sumbangan” bagi perkembangan teori-teori belajar. Dengan demikian,
secara singkat akan diuraikan sumbangan teori Pavlov terhadap teori
belajar: (1) eksperimen Pavlov telah mendorong adanya stimulus dan
respon yang bervariasi dengan berbagai jenis organisme. Dimana
eksperimen ini mengatakan bahwa belajar merupakan pembentukan kebiasaan
dengan cara menghubungkan antara stimulus yang kurang dengan stimulus
yang lebih kuat. (2) Pavlov telah melahirkan gagasan tentang belajar
asosiasi (belajar berhubungan) dalam suatu wilayah studi parametrik
dengan aspek kuantitatif conditioning. Yaitu proses belajar terjadi
apabila ada hubungan atau interaksi antara organisme dengan lingkungan
luar. (3) temuan Pavlov tentang refleks bersyarat telah digunakan
sebagai dasar bagi pengembagan pembelajaran, yakni materi pelajaran
dibentuk dalam unit-unit kecil (spesifikasi) dan diatur berdasarkan
urutan logis sehingga mudah dipelajari. Dengan harapan akan mendapatkan
respon tertentu yang menyebabkan perubahan pada organisme. (4) Pavlov
telah meperkenalkan konsep hambatan dengan melakukan pengulangan
penguatan untuk mendapatkan respon. Sebagai contoh penguatan negatif
adalah penguatan yang dilakukan untuk menghilangkan stimulus agar
memantapkan respon yang telah terbentuk. Dan (5) prinsip-prinsip teori
Pavlov telah dipakai dalam teori belajar, antara lain adalah dalam
penggunaan hadiah atau pujian yang sesuai dengan pembelajaran
instrumental conditioning sebagaimana yang dikembangkan oleh Skinner.
Dimana Skinner mengakui bahwa penguatan positif (hadiah) ternyata
memberikan pengaruh yang lebih baik daripada penguatan negatif
(hukuman).
Dengan demikian, untuk lebih memahami eksperimen Pavlov perlu kita
pelajari beberapa pengertian pokok tentang ‘hal-hal’ yang biasa
digunakannya sebagai unsur dalam eksperimennya yakni (1) stimulus tidak
terkondisi = Unconditioned Stimulus (US) adalah stimulus yang secara
alami dapat menimbulkan respon pada organisme; mislanya makanan yang
dapat menimbulkan keluarnya air liur pada anjing. (2) Stimulus
Terkondisi = Conditioned Stimulus (CS) adalah stimulus yang secara alami
tidak menimbulkan respon pada organisme; misalnya bunyi bel, cahaya.
(3) Respon tidak terkondisi = Unconditioned Respons (UR) adalah respon
yang ditimbulkan oleh stimulus tidak terkondisi (US); misalnya
gonggongan anjing. Dan (4) Respon terkondisi = Conditioned Respons (CR)
adalah respon yang ditimbulkan oleh stimulus terkondisi (CR); misalnya
air liur. Dengan demikian, kita dapat menjelaskan bahwa Stimulus tidak
terkondisi (US) merupakan stimulus yang secara biologis dapat
menyebabkan adanya respon dalam bentuk reflek (UR), disini respon dapat
terbentuk tanpa adanya proses belajar. (misalnya, anjing menginjak kabel
listrik dan kemudian kestrum sehingga menyebabkannya menggonggong dan
ini tidak dapat dikatakan anjing sedang belajar karena gonggongannya itu
terjadi secara tidak dilatih, melainkan sebagai refleks). Tetapi,
dengan terbentuknya respon terkondisi (CR) yang diharapkan melalui
pelatihan, maka dapat dikatakan bahwa organisme telah belajar. Jadi,
kesimpulan teori Calssical Conditioning (Pavlov) adalah mengimplikasikan
pentingnya pengkondisian stimulus agar terjadi respon. Dengan perkataan
lain, bahwa pengontrolan dan perlakuan stimulus jauh lebih penting
daripada pengontrolan respon. Dengan demikian, konsep dari teori ini
mengisyaratkan untuk lebih mengutamakan faktor lingkungan daripada
motivasi internal dalam melakukan proses belajar. (proses belajar yang
mengutamakan faktor lingkungan).
Edwin R Guthrie
Dalam konteks perkembangan teori belajar aliran behaviorisme John
Broadus Watson (1878-1958) dan respon terkondisinya Pavlov, maka Edwin R
Guthrie adalah orang pertama yang melakukan perluasan dan pengembangan
teori-teori dan aliran tersebut. Dimana teori Guthrie memiliki kemiripan
dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov, yakni
dalam teorinya Guthrie menganggap bahwa belajar adalah sebagai kegiatan
hubungan stimulus respon yang tidak terkondisi. Namun demikian,
interprestasi pembelajaran yang dikemukakan oleh Guthrie sedikit berbeda
dengan apa yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov.
Guthrie tidak sepakat dengan hukum efek yang dikemukakan oleh
Thorndike, menurut teorinya bahwa belajar adalah hubungan stimulus dan
respon yang berdasarkan hukum efek bukanlah prisinsip yang utama
melainkan asosiasi stimulus respon positiflah yang menjadi landasan
dasar teori belajar. Dengan demikian, Guthrie berpendapat bahwa ilmu
psikologis harus didasarkan pada suatu kajian yang dapat diamati
(observable) seperti adanya stimulus fisik, gerakan-gerakan otot dan
respon yang ditimbulkan.
Prinsip belajar dalam teori hukum asosiasi (the law of assosiation) adalah
suatu kombinasi stimulus dan respon, dimana suatu gerakan cenderung
terbentuk bila keduanya terjadi bersama-sama atau bersamaan. Konsep
Guthrie ini disebut dengan pembiasaan asosiasi dekat, yakni sebuah teori
belajar yang mengasumsikan bahwa terjadinya peristiwa (kegiatan)
belajar adalah karena berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus
dengan respon yang relevan. Menurut teori ini, apa yang dipelajari oleh
siswa (warga belajar) adalah reaksi atau respon terakhir yang muncul
atas sebuah rangsangan (stimulus). Dengan perkataan lain, setiap
peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali untuk selamanya atau sama
sekali tidak terjadi ketika hubungan antara stimulus dan respon tidak
dapat berlangsung secara bersamaan. Sebab hasil belajar yang lazim
dicapai oleh seorang siswa, bukanlah hasil dari berbagai respon kompleks
(umum) terhadap stimulus-stimulus (sebagaimana yang diyakini aliran
behaviorisme lainnya). Melainkan hasil belajar yang dicapai seorang
siswa tersebut adalah karena merupakan adanya kedekatan (bersamaannya)
hubungan antara stimulus dan respon yang diperlukan.
Keyakinan dasar Guthrie tentang belajar adalah bahwa sebuah pola
stimulus mendapat kekuatan apabila dapat berasosiasi secara utuh pada
saat pertama kali dipasangkan dengan responnya. Dalam hal ini belajar
merupakan kombinasi antara sejumlah stimulus yang disertai oleh gerakan
yang berulang-ulang, dimana pola stimulus akan bermakna pada saat
bertemu dengan respon. Hal ini dapat memunculkan semacam resensi yaitu
jika belajar dapat dilakukan secara lengkap dalam satu percobaan pada
saat munculnya kombinasi stimulus, maka kejadian itu akan dapat diluang
lagi. Dalam artian bahwa suatu stimulus yang pernah menyertai suatu
respon, cenderung akan diikuti oleh respon yang sama apabila suatu saat
stimulus tersebut hadir kembali. Maka stimulus itu menjadi suatu isyarat
agar respon tertentu dilakukan.
Ada pebedaan yang mendasar antara Guthrie dengan Thorndike dalam
persoalan respon. Dimana Guthrie memperhatikan gerakan organisme tanpa
mempedulikan apakah gagal atau berhasil, Guthrie meyakini bahwa pola
gerakan dan gerakan yang terjadi adalah unit bagi para ahli teori
belajar. Sebagai contoh, keterampilan seorang pemain bola memasukan
(mencetak gol) kedalam gawang lawan adalah tidak hanya merupakan satu
tindakan, melainkan terdiri dari sejumlah tindakan. Tidak hanya
tergantung pada satu gerakan otot, namun terdiri dari sejumlah gerakan
yang dilakukan dalam kondisi yang bervariasi. Satu gerakan dapat
dipelajari dalam satu percobaan, tetapi mempelajari semua gerakan
memerlukan keterampilan khusus dan membutuhkan suatu praktek (semakin
banyak variasi gerakan dan isyarat, maka praktek semakin perlu
diperbanyak).
Sementara Thorndike, memberikan perhatian kepada nilai subjek dalam
melaksanakan tugas-tugasnya berupa respon yang benar. Dalam artian bahwa
subjek akan dapat melakukan gerakan-gerakan (tindakan) apabila terdapat
stimulus yang dimunculkan (walaupun dalam respon yang berbeda-beda).
Thorndike menganggap bahwa satu stimulus dapat digeneralisasikan sebagai
gerakan yang dapat menghasilkan respon yang sama dari gerakan-gerakan
yang ada.
Pandangan Guthrie tentang (motivasi, tujuan, hadiah dan hukuman)
Pada titik ini kita dapat menemukan bagaimana sebenarnya pandangan
Guthrie terhadap konsep belajar dari stimulus respon yang berkaitan
dengan memunculkan motivasi, menentukan tujuan, menghadirkan hadiah, dan
menetapkan hukuman untuk mendapatkan respon-respon dari subjek. Kaitan
dengan ini, Guthrie menganggap bahwa motif adalah sesuatu yang penting
bagi serangkaian stimulus respon yang terjadi, terutama dalam rangkaian
respon konsumtif yang berkaitan dengan motivasi organisme seperti; haus,
lapar, nyaman dan tidak nyaman. Selain itu, motif juga penting untuk
menjada stimulus dengan maksud untuk mempertahankan subjek agar selalu
aktif sampai tercapainya tujuan. Hal demikian inilah yang membuat
Guthrie menyadari bahwa motivasi itu merupakan hal penting, karena motif
dapat menjadi faktor penyebab untuk terjadinya suatu tindakan dalam
hubungan asosiati antara stimulus dan respon. Sehingga ia percaya bahwa
pemeliharaan stimulus tersebut dapat menjaga serangkaian aktivitas yang
menyatu dan dapat langsung mencapai tujuan yang diharapkan seperti;
makanan sangat menyenangkan (dibutuhkan) bagi orang yang sedang lapar.
Pada prinsipnya, tujuan merupakan sebuah bentuk usaha untuk menjaga
stimulus yang mungkin atau tidak mungkin. Termasuk diantaranya adalah
stimulus yang dapat menimbulkan rasa tertekan seperti rasa haus, lapar
dan lainnya. Namun, harus merupakan bagian dari kecenderungan aksi yang
dikondisikan selama pengalaman masa lalu. Contohnya, bentuk-bentuk
kesiapan yang mudah diamati seperti; kesiapan berbicara, berjalan,
membaca, menulis, dan lainya. Dengan demikian, yang perlu dipahami bahwa
kesiapan-kesiapan aktivitas macam itu tidak hanya ditujukan pada
tindakan itu sendiri, tetapi lebih jauh dapat ditafsirkan sebagai akibat
dari latihan-latihan yang pernah dilakukan sebelumnya. (sehingga
kesiapan-kesiapan tersebut harus dilihat secara berkelanjutan sebelum
memberikan stilulus).
Sementara pandangan Guthrie tentang hadiah adalah ia meyakini
sepenuhnya ‘bagus’ apabila pemberian hadiah itu dilakukan sebagai bentuk
upaya untuk mempengaruhi hasil yang dilakukan oleh seseorang, dan bukan
sebagai penentu hasil. Dan disisi lain, Guthrie keberatan terhadap
hukum efek dan prinsip-prinsip penguatan berdasarkan posisi tertentu
yang baru ditumbuhkan dalam belajar asosiatif dengan hadiah. Kecuali
dengan penguatan mekanis secara khusus yang menempatkan hadiah pada
akhir dari serangkaian tindakan. Dalam artian bahwa respon yang berhasil
akan sama kuatnya seperti sebelum pemberian hadiah, walaupun dalam hal
ini pembarian hadiah itu sebagai posisi dasar dan seringkali
berkontradiksi dengan hukum efek. Namun demikian, pemberian hadiah ini
agaknya hanya sekedar untuk melengkapi dari seluruh pendapat Guthrie.
Selanjutnya tentang hukuman, menurut Guthrie pemberian suatu hukuman
pada saat yang tepat akan ‘mampu’ merubah kebiasaan seseorang.
Efektifitas hukuman tergantung dimana dan kapan seharusnya hukuman itu
diberikan. Berkaitan dengan hadiah, maka sebaiknya hukuman diberikan
juga secara seimbang sehingga diharapkan dengan hukuman itu akan merubah
perilaku. Menurutnya, hukuman sangat efektif dilakukan untuk
‘menghentikan’ kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh
anak. Pemberian hukuman tersebut dapat dilakukan dalam kondisi atau
situasi seperti (1) jika reaksi akhir dari respon itu menunjukkan pada
situasi yang bertentangan dengan respon hukuman (2) jika menunjukkan
tanda-tanda respon berlawanan diperbuat (3) yang bersifat dapat
menghasilkan rangsangan emosional terhadap respon hukuman. Dalam artian
ketiga bentuk hukuman tersebut memberi isyarat bahwa pendidik hanya
memberikan hukuman pada saat yang memang sangat diperlukan.
Dengan begitu, kita dapat mengatakan bahwa teori Guthrie menjelaskan bahwa belajar memerlukan Reward dan Punsihment (hadiah
dan hukuman) serta kedekatan (asosiasi) antara stimulus dengan respon.
Hukuman itu tidak baik dan juga tidak buruk, tetapi tergantung apakah
hukuman itu dapat menyebabkan anak belajar atau tidak. Tentunya, hukuman
yang dimaksud akan tergantung dari tingkat dan bentuk kesalahan serta
orientasi-orientasi apa yang menjadi tujuan yang diharapkan dari
pemberian hukuman tersebut. Dengan perkataan lain, bahwa hukuman
tersebut tidaklah ‘harus’ berkonotasi negatif (seperti menghukum
anak/siswa dengan cara lari keliling lapangan, push up, ditampar didepan
kelas, mengejek, tidak disuruh sekolah, dan hukuman-hukuman tidak
mendidik lainnya), tetapi hukuman itu hendaklah bersifat mendidik dengan
berpatrol pada tipe, bentuk, sifat, dan ciri ‘kesalahan’ yang
diperbuat.
Penafsiran Neo Guthrie tentang (penghargaan dan tujuan)
Pandangan Guthrie tentang hukuman di atas, telah
mengundang penafsiran baru dari generasi setalah ia. Diantaranya adalah
ahli psikologi yang terpengaruh oleh pandangan Guthrie yakni seperti
Sheffield (1954), Spence (1956), Hull dan Mowrer (1960) serta W.K.
Estes, mereka-mereka ini telah melakukan beberapa percobaan untuk
memberikan intepretasi baru terhadap teori Guthrie. Misalnya saja
Shiffield, ia melakukan percobaan terhadap tikus yang menunjukkan bahwa
tindakan dan ganjaran positif terhadap pembelajaran, akan memberikan
pengaruh yang signifikan pada hasil akhir pembelajaran.
Dengan berpijak dari apa yang dikemukakan oleh Shiffield di atas,
maka munculah penafsiran baru tentang proses pembelajaran sebagai akibat
dari teori Guthrie yang dirumuskan secara kolektif oleh mereka yang
berangkat dari pandangan Guthrie. Rumusan proses pembelajaran tersebut
adalah:
1. Pengendalian Proses Pembelajaran
- Jika diinginkan suatu tingkah laku tertentu dan tidak menghendaki tingkah laku yang lain, maka buatlah isyarat yang menegaskan (menekankan) pada perilaku yang diinginkan tersebut. Di sisi lain, susunlah segala hal supaya perilaku yang tidak dikehendaki tidak terjadi (dalam hal ini melibatkan kemampuan dalam menggunakan hadiah dan hukuman).
- Gunakan sebanyak-banyaknya stimulus yang mungkin untuk mewujudkan perilaku yang diinginkan, semakin banyak stimulus yang diasosiasikan dengan tingkah laku yang diinginkan maka semakin sedikit kemungkinan munculnya perilaku yang tidak diingnkan.
- Untuk membentuk perilaku yang mengacau (mengganggu) pada tujuan, maka ‘paksalah’ diri anda untuk selalu membuat respon dan jangan membiarkan kekeliruan terjadi.
2. Meniru respon dalam Pembelajaran
belajar dengan streotip (anggapan) respon adalah belajar dengan
meniru gerakan-gerakan yang sebelmunya menimbulkan keberhasilan, meniru
gerakan-gerakan itu disebut asosiasi. Yakni menghubungkan tingkah laku
yang baru dengan tingkah laku sebelumnya yang telah sukses. Hal ini
telah dibuktikan pada percobaan-percobaan terhadap seekor kucing yang
disebut dengan problem box (sebagaimana yang telah diuaraikan pada
penjelasan sebelumnya)
3. Tes dan Perluasannya
bahwa tidak ada gerakan stimulus yang tidak dapat diobservasi atau
dinilai. Walaupun menurut Guthrie hal ini belum ditunjukan secara pasti,
namun para pendudung teorinya telah melakukan percobaan-percobaan
terhadap tingkah laku untuk menguji fisik yang semakin bisa diukur yakni
kaitan-kaitan antara stimulus dan respon (CS dan CR). Pada CS yakni
memperpanjang atau memperluas kaitan-kaitan antara satu stimulus dengan
stimulus yang lain. Sementara pada CR yakni melakukan kedekatan asosiasi
antara sustu stimulus dengan satu respon sehingga akan menghasilkan
suatu perubahan pwerilaku yang diinginkan.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan baru dari
teori Guthrie tentang pembelajaran adalah dimana kegiatan pembelajaran
dengan cara memberikan kombinasi stimulus yang menghasilkan respon
dikatakan sebagai sebagai pembelajaran yang berhasil. Pemberian
kombinasi yang dimaksudkan disini adalah pembelajaran dapat bersifat
permanen apabila dalam pelaksanaannya tidak dicampuri (dikombinasikan)
dengan pelajaran baru. Namun demikian, teori ini memiliki kelemahan yang
sangat mencolok yaitu selalu meletakkan proses belajar dalam
kecenderungan yang serba ‘mekanik’ atau otomatis seperti layaknya robot
yang selalu dapat dikendalikan dan dikontrol. Kemungkinan hal yang dapat
kita katakana disini adalah bahwa Guthrie dan generasi penganjurnya
‘melupakan’ aspek ‘relativisme’, dimana setiap individu terdapat
kemungkinan dan potensi untuk berubah dan berkembang yang tidak selalu
‘terkungkung dalam rumus yang kaku, baku dan tetap. Tetapi individu
selalu ‘berubah’ dalam situasi yang sangat ‘sulit’ untuk dikondisikan.
Teori Operant Conditioning (Skinner)
Pengembangan selanjutnya adalah teori Skinner, ia
mengembangkan teorinya dipengaruhi oleh teorinya Pavlov dan Thorndike.
Pendekatan yang dikemukakan oleh Skinner adalah Opreant Conditioning,
hal ini terjadi karena minat utama Skinner terhadap perilaku organisme
yang terkontrol oleh efeknya dari lingkungan. ia menjelaskan bahwa pada
dasarnya perkembangan yang dialami peserta didik atau manusia pada
umumnya tidak dipengaruhi karena adanya pertumbuhan fisik oleh
perilakunya; seperti sikap, pikiran, perasaan dan keinginan seseorang
timbul secara serempak dalam perilaku orang itu sendiri. tetapi,
perilaku itu muncul apabila berinteraksi dengan lingkungannya.
Skinner membuktikan pandangannya dengan mengajukan sebuah rumusan
perilaku yang timbul dari pengamatan kerja binatang melalui sebuah
percobaan (eksperimen) dengan menggunakan “Skinner Box” pada awal tahun
1930 yakni percobaannya pada seekor tikus dan seekor merpati dengan
cara menggunakan pengungkit untuk menekan aktivitas binatang tersebut
dalam sebuah ‘Box’ dengan mencoba mengisolasi fenomena-fenomena melalui
conditioning secara berulang-ulang.
Dari sinilah kita mulai dapat menjelaskan seperti apa prinsip belajar
menurut Skinner, belajar menurutnya adalah sebagai sebuah proses
perubahan tingkah laku. Dimana seseorang yang belaajr akan mengalami
perubahan secara signifikan dalam diri orang itu, seperti penguasaan
sejumlah pengetahuan yang pada akhirnya mampu diterapkannya pada konteks
lain. Karena itu, penerapan pola tingkah laku dalam proses pembelajaran
adalah penerapan pengetahuan untuk mendapatkan pengaruh dari lingkungan
sebagai kekuatan yang harus digunakan secara tepat dan hatit-hati.
Dengan demikian, pendidik hendaknya menyusun berbagai rangsangan dari
luar agar peserta didik dapat mengembangkan tingkah lakunya sesuai
dengan rangsangan-rangsangan yang disusun tersebut. Sebab mempelajari
tingkah laku adalah menemukan hubungan antara kejadian alam dengan
lingkungan, tingkah laku selalu ada hubungan secara fungsional antara
kondisi fisik dengan kejadian lingkungan.
Disamping itu Skinner juga menekankan bahwa tingkah laku disebabkan
oleh keadaan mental, yakni tingkah laku dapat menggambarkan kondisi
mental seseorang. Dengan demikian, untuk menjelaskan haruslah dilihat
sebagai sebuah aktivitas saja. Karena itu tingkah laku juga dapat
dianggap sebagai indikator yang mampu menunjukkan indikasi-indikasi
proses mental seperti bekerja, mengidentifikasi keadaan, gerakan, emosi,
atau kekuatan fisik lainnya. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Skinner
dalam kehidupan ‘ekonomi’ yang apabila hilangnya kepercayaan pasar maka
mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi menurun. Ketidakpercayaan
tersebut menyertai tingkah laku menurunnya daya beli, karena itu
diperlukan suatu kondisi yakni membangun kepercayaan pasar agar daya
beli konsumen meningkat.
Prinsip Operant Conditioning Skinner didasarkan pada Claissical
Conditioning Pavlov, Skinner menggabungkan pandangan Pavlov dengan Hukum
Efeknya Thorndike. Skinner mengajukan dua kelas respon yang dibagi
menjadi sebuah kelas respon yang ditimbulkan (elicited responses) atau
yang dikenal dengan respon yang ditimbulkan oleh stimulus
diklasifikasikan sebagai ‘responden’, dan sebuah kelas respon yang
dikeluarkan (emitted responses) atau hal ini dikenal dengan kelas respon
yang tidak berhubungan dengan stimulus (disebut sebagai Operant).
Karena prilaku operant tidak ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal,
maka kekuatannya tidak dapat diukur menurut hukum efek yang lazim.
Komponen Belajar
Menurut Skinner, tingkah laku sepenuhnya ditentukan
oleh stimulus dan tidak ada faktor perantara lainnya. Dengan mengacu
kepada ‘refleks’ sebagai ‘elicitted responces’ (respon yang ditimbulkan
atau diperoleh) dan rangsangan yang bergantian (stimuli substitution),
maka tingkah laku dapat terjadi. Dalam artian bahwa tingkah laku atau
respon tertentu (R) akan timbul sebagai reaksi terhadap stimulus
tertentu (S). Respon yang dimaksud Skinner adalah respon berkondisi yang
dikenal dengan ‘respon operant’ (tingkah laku operant) sedangkan
stimulusnya adalah stimulus operant. Dengan demikian, konsep belajar
menurut Skinner adalah perubahan dalam perilaku yang dapat diamati dalam
kondisi dikontrol secara baik.
Berpijak dari hal tersebut di atas, maka perlu adanya
penguatan-penguatan untuk mempengaruhi perilaku belajar.
Penguatan-penguatan tersebut adalah stimulus-stimulus yang dikenal
dengan penguatan positif dan penguatan negatif, pada penguatan positif,
stimulus tampil menyertai sebuah respon operant; seperti makanan, air,
dan kontak seksual. Sedangkan penguatan negatif, terjadi saat gerakan
balik stimulus penolak yang mengikuti sebuah respon operant; seperti
suara yang besar, sinar lampu yang sangat terang, hawa yang sangat panas
atau sangat dingin dan sebagainya. Dengan demikian, penguatan perilaku
belajar pada prinsipnya dapat diberikan berupa (1) penguatan primer
yakni dengan jalan memberikan pemuasan akan kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia; makanan, air, keamanan, kemesreaan, dan seks. (2) penguatan
skunder yaitu suatu hal yang mempunyai nilai atau manfaat bagi seseorang
jika telah diasosiasikan dengan penguatan primer atau penguatan skunder
lainnya; angka-ankga rapor (anaknya) akan mempunyai nilai bagi siswa
(seorang anak) manakala orangtua memberikan perhatian (misalnya dengan
cara memuji dan memberikan hadiah). Penilaian atau pujian disini
terasosiasi dengan kasih sayang, kemesraan antara anak dan orangtua.
Penguatan skunder mempunyai tiga kategori dasar yakni (a) penguatan
sosial; pujian, senyuman atau perhatian (b) penguatan aktivitas;
pemberian mainan atau kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan (c)
penguatan simbolik; uang atau benda-benda lainnya.
Disamping penguatan primer dan penguatan skunder, juga ada penguatan
terkondisi. Dimana penguatan ini merupakan penguatan yang dapat mengubah
tingkah laku melalui latihan (conditioning), didalam jenis penguatan
ini terjadi suatu stimulus yang dikondisikan sehingga dapat memperoleh
penguatan. Olehnya itu, stimulus tidak memperkuat sauatu respon. Dengan
demikian, penguatan-penguatan macam ini berlaku sepenuhnya dalam teori
Operant Conditioning (Skinner) dengan dipengaruhi oleh dorongan, emosi,
dan hukuman yang sekaligus merupakan faktor respon dalam penelitian
Conditioning (pengkondisian).
Teori Gagne
Salah seorang ahli psikologi pendidikan yang telah
mengembangkan suatu pendekatan perilaku tentang psikologi belajar adalah
Robert M. Gagne. Dia membangun prinsip-prinsip belajar dari hasil
penelitiannya terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar
manusia yang kompleks. Gagne memulai penelitiannya pada sekitar tahun
1960-an yang pada awalnya dilakukan terhadap masalah-masalah pelatihan
dikalangan militer. Penelitian tersebut telah diyakininya sebagai
tonggak awal untuk merumuskan tentang landasan psikologi pembelajaran,
ia menyadari bahwa kunci dari pengembangan teori pembelajaran adalah
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar manusia.
Belajar menurut Gagne bukanlah merupakan proses tunggal dan bukan
pula mempelajari asosiasi-asosiasi atau pemecahan masalah seperti pada
teori Gestalt. Tetapi belajar adalah merupakan suatu proses yang
memungkinkan seseorang mengubah tingkah lakunya dan perubahan itu
bersifat relatif tetap, sehingga perubahan yang serupa tidak perlu
terjadi berulangkali pada setiap menghadapi situasi baru. Sebagai
contoh, sebelum proses belajar berlangsung; si Galank tidak dapat
memahami cara mengendarai ‘mobil metic’, tetapi setelah melalui proses
belajar ia (Galank) dapat mengerti dan memahami cara mengemudikan ‘mobil
metic’ tersebut. Belajar yang dilakukan si Galank tersebut telah
berlangsung dalam waktu yang relatif sebagai akibat dari proses
interaksinya dengan ‘guru’ (yang mengajarinya).
Bertolak dari rumusan tentang konsep belajar di atas, maka Gagne
telah menjadikan sebagai asumsi yang mendasari kerangka kerjanya dalam
menyusun teori belajar. Beberapa faktor pokok yang tercakup dalam
konsepsi belajar Gagne adalah hubungan antara belajar dengan proses
perkembangan manusia dan berbagai jenis belajar (yang dilakukan
manusia). Dengan begitu, belajar dalam hal ini adalah merupakan factor
utama yang mempengaruhi perkembangan seseorang atau dapat dikatakan
bahwa tingkah laku seseorang diakibatkan oleh pengaruh akumulasi
hasil-hasil belajar yang telah diperolehnya. Kaitan dengan ini, ada dua
karakteristik khusus yang berperan dalam perkembangan manusia; (1)
kebanyakan hasil belajar manusia mampu menggeneralisasikan beberapa
kondisi (kemampuan) lainnya seperti kemampuan ‘menjumlahkan’; menghitung
gaji dan mengambil keputusan, menyusun anggaran belanja keluarga,
mengkakulasi tanggungan pajak dan sebagainya. (2) belajar merupakan
proses akumulatif, hal ini terlihat dalam proses menentukan atau
menghitung tingkat statistik penduduk dan lainnya.
Komponen Belajar
Seseorang dapat dikatakan ‘berhasil’ dalam
belajarnya, manakala ia mengalami perubahan kemampuan yang dapat
dibedakan antara sebelum dan sesudah kegiatan belajar dilaksanakan.
Gagne mengatakan bahwa setiap kegiatan belajar didukung oleh: (1)
kondisi internal yaitu kemampuan-kemampuan yang telah ada pada diri
individu sebelum dimulainya kegiatan belajar, contoh seorang siswa
belajar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris; yang sebelumnya siswa
tersebut telah memperoleh keamampuan dalam hal grammar, vocabulary,
menyusun kalimat, paragraph secara tertulis dan sebagainya. Dalam artian
bahwa yang dipelajari sebelumnya oleh siswa tersebut akan membentuk
kondisi internal. (2) kondisi eksternal ialah stimulus yang disediakan
untuk siswa yang harus diciptakan oleh guru, misalnya saja komunikasi
visual; objek, model, gambar, symbol-simbol, atau komunikasi verbal. Hal
ini dilakukan mengingat kategori kemampuan manusia yang mempelajari
adalah berbeda-beda, maka guru dituntut untuk menciptakan kondisi yang
berbeda pula sesuai dengan variasi kemampuan yang dipelajari. (3)
didukung oleh hasil belajar yakni semua perubahan sikap maupun tingkah
laku sebagai akibat dari kegiatan belajar. Tingkah laku maupun
penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar disebut
dengan kemampuan (capability), dimana kemampuan itu
memungkinkan penampilan/tingkah laku manusia yang berbed-beda karena
kondisi-kondisi untuk memperolehnyapun adalah berbeda-beda jua.
Dengan demikian setelah kita menguraikan tentang komponen belajar
menurut Gagne, maka pada titik ini sampailah kita untuk mendiskusikan
mengenai ciri-ciri belajar yang ditarik dari persoalan-persoalan belajar
yakni (1) individual defferences (perbedaan individu) ialah proses
belajar bercorak ragam bagi setiap orang. Dimana proses pembelajaran
akan lebih berhasil, manakala memperhatikan perbedaan individual dalam
‘kelas’ sehingga dapat memberi kemudahan pencapaian tujuan belajar yang
setinggi-tingginya. Olehnya demikian, perlu memahami latar belakang,
emosi, dorongan, dan kemampuan individu siswa dapat disesuaikan dengan
penyusunan/pemberian materi ataupun dalam hal merumuskan strategi
pembelajaran agar hendaknya diperhatikan aspek-aspek individual. (2)
readiness (kesiapan), proses belajar yang dipengaruhi oleh ‘kesiapan’
adalah kondisi individu siswa yang memungkinkan ia dapat belajar. Dimana
seorang siswa yang belum siap untuk melaksanakan sesuatu tugas dalam
belajar, cenderung akan mengalami kesulitan atau bahkan putus asa. Yang
termasuk dalam hal kesiapan ini adalah kematangan dan pertumbuhan fisik,
intelegensi, motivasi, pengalaman, hasil belajar yang baku, presepsi,
dan faktor-faktor lain yang memungkinkan seseorang dapat belajar dengan
baik. (3) motivasi yakni daya penggerak dari dalam yang mendorong siswa
untuk melakukan kegiatan belajar. Dimana anak yang mempunyai motivasi
belajar yang tinggi, pada umumnya akan lebih intens dalam belajarnya
sehingga akan memberikan hasil yang lebih baik juga begitupun
sebaliknya. (4) Transfer of Learning ialah belajar dianggap bermanfaat
apabila seseorang dapat menyimpulkan dan menerapkan hasil belajar dalam
situasi baru. Dalam artian bahwa apapun yang pelajari dalam suatu
situasi tertentu, pada akhirnya akan dapat digunakan dalam situasi yang
lain. Dengan demikian, proses belajar macam itu, dalam teori
pembelajaran disebut dengan proses ‘transfer’.
Bagian VI
Konsep Belajar
Sebagaimana yang telah kita uraikan pada bagian terdahulu bahwa
konsep belajar telah banyak para ahlinya yang merumuskan devenisi
mengenai apa itu belajar dengan penekanannya yang bermacam-macam. Dalam
hal ini meskipun bermacam-macam penekanan setiap konsep yang muncul,
namun permasalahannya menurut Ernest Hilgard adalah bukan pada
ketidaksetujuan ‘kita’ terhadap konsep dan devenisi belajar tetapi
adanya pertentangan itu. Dalam artian bahwa setiap penekanan dari konsep
belajar tersebut, pada prinsipnya adalah memiliki kelebihan dan
sekaligus kelemahan dalam konteks devenisi belajar. Dengan demikian,
pada bagian ini kita akan diskusikan tentang devenisi (pengertian)
belajar tersebut dari penulis yang berbeda-beda yang diantaranya adalah:
Crow and Crow (1963) menjelaskan bahwa pada prinsipnya belajar adalah
melibatkan perubahan. Dalam konteks ini Crow and Crow mendevenisikan
belajar adalah menaruh perhatian pada perolehan kebiasaan, pengetahuan,
dan sikap. Belajar membuat individu dapat menyusaikan diri baik personal
maupun sosial, Karena konsep perubahan adalah terkandung dalam konsep
belajar. Maka setiap perubahan dalam perilaku berarti bahwa kegiatan
belajar telah terjadi atau sedang terjadi. Dengan demikian, dapat
ditarik sebuah pengertian bahwa belajar yang terjadi dalam proses
perubahan adalah dapat dikatakan sebagai proses belajar.
Ahli lain Burton (1963) mendevenisikan belajar adalah seuatu
perubahan dalam diri individu; karena adanya interaksi antara individu
dengan lingkungannya. Sehigga dapat memenuhi suatu kebutuhan dan membuat
dirinya lebih mampu menghadapi lingkungan secara memadai. Dengan
demikian, dua devenisi yang dikemukakan oleh Crow and Crow dan Burton
adalah menunjukkan ada persamaan pengertian tentang belajar yakni konsep
perubahan. Dimana belajar akan menimbulkan perubahan pada diri
individu; yang dapat terkait dengan perolehan pengetahuan, terbentuknya
kebiasaan, dan sikap yang memungkinkan individu lebih mampu dalam
menghadapi permasalahannya dan lingkungannya.
Dengan adanya persamaan devenisi belajar tersebut, maka ahli lain
seperti Haggard (1963) menyimpulkan bahwa terdapat persetujuan yang
menakjubkan tentang devenisi belajar sebagaimana diwujudkan adanya suatu
perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Dimana
menurutnya dalam kegiatan belajar selalu melibatkan pengalaman.
Mislanya, seorang pemuda yang belajar berenang di kolam; dia
mencebuyrkan diri ke dalam air dengan menggerakan kaki dan tangannya
(sebagai suatu pengalaman) dan kemudian ia akhirnya memperoleh
pengetahuan dan keterampilan untuk mengapung, bergerak, dan mengarahkan
dirinya sesuai dengan keinginan atau kebutuhan. Dengan demikian,
kemampuan berenang diperoleh sebagai akibat dari aktivitas melakukan
latihan atau pengalaman. Dalam hal ini, Harris and Schwan (1961)
menekankan bahwa belajar adalah perubahan karena pengalaman , tetapi
mereka membedakan belajar sebagai produk, belajar sebagai proses, dan
belajar sebagai fungsi. Sebagai produk, belajar menekankan hasil dari
pengalaman belajar. Sebagai proses, menekankan kejadian-kejadian selama
pengalaman belajar untuk mencapai hasil. Sementara sebagai fungsi,
menekankan aspek-aspek belajar; seperti motivasi, ingatan, dan transfer
yang memungkinkan perubahan perilaku terjadi.
Dalam konteks inilah, Cronbach (1963) juga sepakat sehingga ia
mengatakan bahwa belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan dalam perilaku
sebagai hasil dari suatu pengalaman. Padahal, terdapat juga perubahan
individu yang didapat bukan karena melalui proses pengalaman atau
latihan belaka. Seperti perubahan tinggi badan, besar badan,
bertambahnya usia dan sebagianya yang pada prinsipnya perubahan macam
itu bukanlah melalui belajar, melainkan sebagai proses pertumbuhan
alami. Jika demikian halnya, pada titik ini dipandang perlu untuk
membedakan antara perubahan diri sebagai akibat dari pengalaman atau
latihan (proses belajar) dengan perubahan alami. Kaitan dengan inilah,
maka pantaslah kiranya kita mendiskusikan beberapa pandangan para ahli
yang menekankan tentang perbedaan antara planned learnig (belajar terencana) dan natural growth (pertumbuhan alami). Para ahli tersebut antara lain adalah Gagne, Hilgard dan Bower.
Gagne (1965) menyatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan dalam
kemampuan manusia yang dapat dicapai. Namun hal itu bukanlah sekedar
dapat diperoleh atau disebabkan dari proses pengalaman, melainkan juga
dari proses kemampuan manusia yang disebabkan dari proses pertumbuhan
tanpa melalui belajar. Pandangan ini sejalan dengan Hilgard dan Bower
(1966) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses dimana aktivitas
bermula (berasal) atau diubah melalui peresponan terhadap situasi yang
dihadapi; dimana karakteristik perubahan dalam aktivitas tidak dapat
dijelaskan dengan dasar kecenderungan respon alami, kematangan, atau
keadaan temporer dari organisme seperti kelelahan dan mabuk saja.
Melainkan juga perubahan dalam diri individu tersebut diproses dari
pengalaman dan latihan. Dengan demikian, jelaslah bagi kita untuk
menarik kesimpulan dari berbagai pandangan yang dikemukakan oleh
beberapa ahli di atas tentang konsep belajar. Yakni secara global dapat
ditarik sebuah devenisinya bahwa belajar adalah perubahan perilaku dalam
diri individu yang melibatkan pengalaman-pengalaman.
Perkembangan konsep belajar selanjutnya adalah apa yang dikemukakan
oleh Skinner (1968), dimana ia mengembangkan teknik pembelajaran melalui
dua konsep yakni konsep kontrol dan pembentukan. Kontrol berarti
peningkatan kondisi yang mengontrol perilaku, dimana the law of effeck (hukum
efek) diambil secara sungguh-sungguh karena efek akan menghasilkan
perubahan perilaku. Sementara pembentukan adalah menggunakan penguatan (reinforcement) untuk
membentuk perilaku. Dengan perkataan lain bahwa perilaku manusia
seolah-olah sekedar bentuk respon langsung dari stimulus atau respon
karena adanya efek positif dari perbuatan atau karena adanya penguatan
(hadiah). Secara klasik dapat dikatakan bahwa perilaku manusia muncul
karena adanya stimulus atau karena adanya penguatan yang berupa hadiah.
Oleh karena teori stimulus – respon adalah merupakan teori belajar
klasik, maka para ahli lain berusaha meninggalkan teori tersebut yang
menganggap bahwa perubahan perilaku sebagai akibat dari proses
pengontrolan dan pembentukan sebagaimana yang dianjur oleh Skinner di
atas. Diantara ahli lain tersebut ialah Jerome Bruner, dimana ia lebih
“suka” melihat perubahan perilaku dari perkembangan kompetensi atau
perkembangan intelektual. Bruner meninggalkan konsep konsep belajar yang
bersifat mekanis (S – R) dan mengembangkan konsep yang lebih menghargai
manusia yang perilakunya dikendalikan oleh dirinya, dan bukan sekedar
dibbentuk atau ditentukan oleh rangsangan/paksaan dari “luar”. Akan
tetapi perilaku ditentukan oleh keputusan dirinya dengan pertimbangan
intelektualnya atau yang kita kenal dengan rumus S – O – R. Dimana S =
stimulus, O = organisme, dan R = respon. Dalam rumus ini terkandung
pengertian bahwa perilaku manusia (respon) bukan akibat langsung dari
rangsangan luar, tetapi lebih merupakan hasil dari pertimbangan
intelektual individu terhadap rangsangan.
Dengan demikian, Bruner menyusun suatu ukuran pertumbuhan intelektual
yakni (1) pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya kemandirian respon
dari stimulus yang mendadak; (respon bukan tindakan langsung dari
stimulus yang ada, tetapi tindakan dilakukan berdasarkan pertimbangan
diri). (2) pertumbuhan tergantung pada internalisasi kejadian-kejadian
kedalam suatu “sistem penyimpanan” yang sejalan dengan lingkungan
(potensi individu akan berinteraksi seimbang dengan keadaan di luarnya).
(3) pertumbuhan intelektual melibatkan meningkatnya kemampuan untuk
mengatakan dirinya dan orang lain dengan kata-kata atau dengan
simbol-simbol tentang apa yang telah/akan terjadi. (4) pertumbuhan
intelektual tergantung pada interaksi sistematis antara seorang tutor
dan seorang pembelajar (learner). (5) pengajaran difasilitasi
oleh alat bahasa yang bertujuan bukan sekedar sebagai alat pertukaran,
tetapi lebih sebagai alat dimana pembelajar dapat menggunakan dirinya
dalam membawakan aturan ke dalam lingkungan. Dan (6) perkembangan
intelektual ditandai oleh peningkatan kemampuan untuk menggunakan
beberapa pilihan secara stimulan dan adanya kecenderungan pada beberapa
urutan dalam periode waktu yang sama serta dapat membagi waktu dan
perhatian secara memadai terhadap tuntutan yang banyak.
Dengan memperhatikan penekanan Bruner terhadap perkembangan
intelektual atau pengembangan diri sebagai penggerak perilaku dengan
meninggalkan teori belajar yang mekanistik, namun Bruner belumlah secara
“utuh” dapat dikatakan sebagai penganjur konsep belajar yang “humanis”.
Sebab Bruner belum menekankan pada masalah kemampuan emosional
(perasaan) bagi perubahan perilaku. Dalam hal ini Bruner dan Piaget
adalah penganjur yang termasuk dalam pengemban teori kognitif dalam
belajar. Yakni mereka mengatakan bahwa belajar (sebagai perubahan
perilaku) disebabkan karena adanya perubahan kemapuan intelektual pada
diri anak (individu) dan bukan karena adanya pembentukan atau respon
dari luar.
Jika Bruner dan Piaget sebagai penganjur psikologi belajar
“humanistik” yang hanya menekankan pada faktor intelektual anak
(individu) sebagai penyebab perubahan perilaku, maka perkembangan
selanjutanya adalah pandangan psikologi “humanistik” yang memiliki
konsep lebih komprehensif tentang belajar. Yakni belajar tidak hanya
melibatkan kemampuan intelektual, tetapi juga melibatkan perasaan dan
emosi yang meresap kedalam individu tersebut. Pandangan psikologi
belajar humanis macam ini, terlihat sebagaimana yang dikemukakan oleh
Carl Rogers yakni elemen-elemen yang terlibat dalam belajar “berguna”
atau belajar pengalaman adalah kualitas personal (seluruh diri individu
baik itu aspek kognitif maupun aspek perasaan haruslah terlibat dalam
peristiwa belajar). Belajar macam ini disebut belajar diprakarsai oleh
diri sendiri sesuai kebutuhan dan kepentingan yang kemudian dinilai oleh
dirinya sendiri apakah belajarnya berguna bagi perkembangannya atau
tidak, apakah yang akan dipelajari disukai atau tidak. Dan pada konteks
evauasi, terletak pada pembelajar. Esensi dari belajar macam ini menurut
Carl Rogers adalah belajar bermakna (memiliki makna dari belajar itu).
Namun demikian, persoalannya menjadi tidak sederhana ketika belejar
macam ini dikembangkan atau diberikan pada diri (anak) yang notabene
kondisinya masih “labil”. Contoh anak usia TK/SD, bagaimana mungkin ia
(anak) tersebut dapat memilih atau menentukan model belajar yang
“bermakna” atau tidak. Sebab pada usia ini, anak masih menganggap bahwa
belajar adalah sebuah “keharusan” sebagai pelajar dan bukan karena
tuntutan kebutahannya untuk mendapatkan kebermaknaan dari peristiwa yang
dipelajarinya. Dengan demikian, teori inipun haruslah dapat dilihat
sebagai konsep belajar yang dapat diterapkan jika kita menyesuaikannya
dengan jenjang dan satuan pendidikan yang relevan dengan kondisi
pelajarnya. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa teori yang dikemukakan
oleh Piaget dan Bruner yang menekankan pada kognitif (pemahaman) telah
banyak memberi pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan model
teori belajar yang humanistik meskipun Piaget dan Bruner bukanlah ahli
teori belajar tetapi perhatian mereka terhadap teori belajar tidak dapat
diragukan lagi kontribusinya bagi penganjur model belajar yang humanis.
Teori Belajar (Berdasarkan pada Binatang dan Anak)
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa teori belajar pada awalnya
dibangun atas dasar penelitian pada binatang seperti yang dilakukan oleh
Thorndike di Amerika dan Pavlov di Rusia yang dikenal dengan teori
Stimulus – Respon (S – R). Maka berangkat dari ‘pembacaan’ masalah
inilah Malcoml Knowles sebagai seorang pengembang teori belajar orang
dewasa mencoba mencari pijakan dari teori belajar yang sudah ada
(termasuk teorinya Thorndike dan Pavlov). Hal inilah penyebab penelitian
tentang belajar lebih awal dilakukan oleh psikolog berpengalaman yang
peraturan-peraturannya mengharuskan kontrol variabel yang kaku. Dan hal
ini nyata bahwa kondisi di mana binatang belajar lebih terkontrol
daripada anak yang belajar. Sebab kondisi di mana anak belajar lebih
terkontrol daripada orang dewasa yang belajar. Faktanya adalah bahwa
semua teori ilmiah tentang belajar telah berasal dari penelitian tentang
belajar pada binatang dan anak. Hal inilah yang kemudian kita mengenal
tipe-tipe teori belajar hingga dewasa ini yang kesemuanya itu telah
dijadikan sebagai pijakan bagi pengembangan teori belajar.
Berbicara tentang tipe-tipe teori belajar, maka kita akan menemukan
banyak model dan jenis daripada para penganjurnya. Namun demikian, yang
kita diskusikan pada bagian ini adalah tipe-tipe teori yang
klasifikasikan oleh Hilgard dan Bower. Dimana dalam hal ini, mereka
menyatukan pandangannya didasarkan atas 11 kategori.
- Thorndike’s Connectionism
- Pavlov’s Classical Conditioning
- Guthrie’s Conditioning
- Skinner’s Operant Conditioning
- Hull’s Systematic Behavior Theory
- Tolman’s Sign Learning
- Gestalt Theori
- Freud’s Psycodinamic
- Functionalism
- Mathematical Learning Theory
- Information Proccesing Models
Namun demikian, penyatuan pandangan dari beberapa penganjur teori
yang mereka lakukan itu adalah merupakan suatu hal yang pada akhirnya
membuat mereka (Hilgard dan Bower) sepakat untuk menyusun dari beberapa
kategori tersebut menjadi satu pola. Dimana teori belajar dibagi dalam
dua kelompok, yakni teori stimulus respond dan teori kognitiv. Akan
tetapi, semua teori berdasar pada dua kelompok Thorndike, Polvov,
Skinner dan Hull. Teori kognitiv meliputi Tolman dan psikologi klasik.
Namun yang perlu dicatat dari dua kelompok teori belajar tersebut
adalah bahwa sistemnya telah meresab kedalam pisik dan ilmu pengetahuan
sosial yakni mekanistik, dasar metapornya adalah mesin dan makhluk
hidup. Dasar metaphor makhluk hidup adalah kehidupan, kesatuan sistem
dihadirkan untuk pengalaman bentuk-bentuk yang kompleks.
Model mekanistik mewakili dunia sebagai mesin yang tersusun atas
bagian-bagian berlainan berjalan dalam area temporal spatio.
Pecahan-pecahan ini adalah partikel dasar dari gerakan, dan hubungan
mereka membentuk dasar nyata dimana yang lainnya merupakan fenomena
kompleks yang akhirnya dapat dikurangi. Untuk lebih jelasnya, kita akan
diskusikan tentang teori model organismik.
Teori Berdasarkan Model Organismik
Teori belajar model mekanistik sebagaimana yang
berkembang dari para penganjurnya seperti Thorndike dan Pavlov adalah
merupakan model pandangan yang memiliki metaphore (kiasan) alam
semesta dimana anak (manusia) seolah-olah seperti mesin yang tersusun
dari bagian-bagian berlainan yang beroperasi (bekerja) dalam medan dan
waktu yang terkondisi sehingga perkembangan manusia itu dapat terjadi,
manakala pengontrolan dan pembentukan stimulus dilakukan. Sementara
model organismik adalah menggunakan model pandangan alam semesta yang
organismik; yaitu pandangan alam smeesta sebagai satu kesatuan,
interaktif, dan organisme yang berkembang. Wujud dari organisme adalah
aktivitas aktif yang menjadi sumber dari tindakan atau perilaku, bukan
kumpulan dari bagian-bagian alam semesta sebagaimana pandangan
mekanistik. Apabila diterapkan dalam psikologi, pandangan mekanistik
akan menghasilkan model manusia yang kosong seperti robot, pasif, dan
reaktif.
Orang yang pertama kali memprotes model belajar mekanistik
sebagaimana yang dikutip dalam makalah Sodiq A. Kuntoro (2006) adalah
ahli filsafat pendidikan dan bukan ahli teori belajar, yakni John Dewey
di tahun 1896. Dimana didalam filsafat pendidikan Dewey menekankan peran
minat, usaha, dan motivasi anak untuk memecahkan masalahnya sendiri.
Pandangan ini menghasilkan teori “fungsionalisme” atau “progresivisme”
dalam dunia pendidikan yakni suatu teori yang menekankan anak agar dapat
tumbuh dan berkembang menjadi mandiri dan self control (pengendalian diri) melalui interaksi dengan lingkungan yang cocok bagi tingkat perkembangan anak.
Hal senada juga diungkap oleh Edward C. Tolman yang melihat bahwa
perilaku atau tindakan sebagai sesuatu ysng memiliki tujuan adalah suatu
konsep organismik; dimana siswa (pelajar) sebagai organisme yang
memiliki tujuan dalam tindakan atau perilakunya. Ia menolak pemikiran
bahwa belajar sebagai hubungan antara respon terhadap stimulus tertentu,
tetapi belajar berkembang dalam rangka mencapai tujuan atau pemecahan
masalah tertentu yang sedang/akan dihadapi oleh tiap individu. Inilah
yang saya katakana dimuka bahwa teori Gestalt dengan insight learning (belajar
pemahaman) dari Piaget dan Bruner telah menjadi pondasi bagi ahli-ahli
yang menganjur model belajar yang humanis termasuk E. C. Tolman. Dan
tidak terkecuali juga bagi Maslow dan Carl Rogers. Sebagai ahli
psikologi humanistik, mereka menekankan pada tujuan belajar sebagai
proses aktualisasi diri. Dimana teori Piaget dan Bruner yang menekankan
pada kognitif saja, oleh Rogers dan Maslow mengembangkannya menjadi
lebih kompleks yakni kegiatan belajar bukan hanya melibatkan kekuatan
kognitif saja tetapi melibatkan seluruh aspek kekuatan manusia baik
kognitif, motorik, perasaan, emosi, maupun intuisinya. Belajar melalui
model ini memungkinkan seluruh kekuatan manusia tersebut dapat terlibat
dalam proses atau peristiwa belajar.
Bagian VII
Andragogy (menurut kemunculannya)
Andragogi adalah merupakan istilah yang berasal dari Yunani kuno
yakni “aner” dengan akar katanya “andr” yang berarti laki-laki (bukan
anak laki-laki atau orang dewasa), dan “agogos” berarti membimbing atau
membina. Jadi secara harafiah, Andaragogi adalah dapat diartikan sebagai
ilmu dan seni mengajar yang dibimbing atau dibina oleh orang laki-laki.
Dalam hal ini pada mulanya andragogi digunakan sebagai ilmu dan seni
untuk mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu
yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam
andragogi yang terpenting adalah proses interaksi belajar sebagai
kegiatan mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan
bukan merupakan kegiatan seorang guru semata untuk mengajarkan sesuatu
sebagaimana yang terjadi pada proses pedaggogis.
Pada awal berkembangnya, andragogi adalah bahwa orang dewasa yang
sejatinya menjadi subjek dalam kegiatan belajar telah dilupakan oleh
“terlenanya” kita menerapkan model belajar pedagogi sebagai sistem yang
seolah-olah dapat berlaku umum baik terhadap orang dewasa maupun
terhadap anak-anak. Padahal orang dewasa memiliki karakteristik
tersendiri yang bersifat unik dan cenderung kompleks sebagaimana yang
dijelaskan oleh ilmuwan sosial Jerman Eugen Rosesthonk (1921) bahwa
pendidikan orang dewasa serta dalam teori belajarnya (andragogi)
mensyaratkan guru khusus, filosofi khusus, dan metode khusus. Hal ini
dilakukan karena mengingat orang dewasa memiliki problem yang kompleks
dalam kehidupannya seperti masalah; sosialnya, tujuan, kepentingan atau
orientasinya, latar belakang dan sebagainya. Dengan demikian bertolak
dari masalah ini, maka mulai sesudah perang dunia ke I muncullah suatu
pemahaman bahwa orang dewasa sebagai subjek yang belajar memiliki
karakteristik dan filosofi tersendiri yang berbeda dengan anak telah
menjadi pendorong lahirnya teori baru tentang belajar orang dewasa yakni
andragogi. Kaitan dengan ini ada dua aliran pengembangan andragogi
yaitu aliran ilmiah (scientific stream) dan aliran seni (artistic stream).
Aliran ilmiah adalah mencari dan menemukan ilmu pengetahuan melalui
penelitian ilmiah. Contoh dalam aliran ini adalah Edward L. Thorndike
yang menerbitkan bukunya “adult learning” di tahun 1928.
Walaupun sebenarnya dia tidak membicarakan tentang proses belajar orang
dewasa, tetapi lebih membicarakan kemampuan belajar. Penelitiannya telah
menunjukan bahwa orang dewasa dapat belajar, dan selanjutnya
dikembangkan olehnya dengan karya ilmiahnya “adult interest” di tahun 1935 dan oleh Herbert Sorenson dengan “adult abilities”
di tahun 1938. Dengan begitu, pada permulaan perang dunia ke II para
pendidik orang dewasa telah memiliki “bukti” ilmiah bahwa orang dewasa
dapat belajar karena mereka memiliki minat dan kemampuan belajar yang
berbeda dengan anak.
Sementara aliran seni adalah mencari dan menemukan ilmu pengetahuan
melalui intuisi dan analisis pengalaman yang menaruh perhatian tentang
bagaimana orang dewasa belajar. Contoh aliran ini adalah C. Lindeman
yang menerbitkan bukunya “the meaning of adult education” di
tahun 1928. Dimana Lindeman sangat terpengaruh oleh filsafat pendidikan
John Dewey dalam meletakan pondasi tentang teori belajar orang dewasa.
Hal ini dapat terlihat pada pernyataan yang menarik yakni “pendekatan
terhadap pendidikan orang dewasa adalah melalui jalur situasi
(kehidupan) dan bukan melalui pelajaran. Dimana pendidikan pada orang
dewasa adalah kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan minatnya
(kurikulum menyesuaikan dengan “karakteristik” warga belajar), sementara
dalam pendidikan konvensional yakni siswa dituntut menyesuaikan diri
dengan kurikulum yang sudah dibuat dan disusun (siswa menyesuaikan
dengan kurikulum).
Dari uraian di atas, telah memberi konfirmasi kepada kita bahwa
pendidikan orang dewasa memiliki teknik belajar dengan pendidikan
konvensional pada umumnya. Dimana dalam pendidikan orang dewasa,
bukanlah guru dan buku yang berperan aktif (dominan) tetapi pengalaman
peserta belajar menjadi sumber belajar yang terpenting dan utama. Dalam
artian bahwa kita tidak dapat melalukan proses pendidikan terhadap orang
dewasa jikalau sekedar menyampaikan atau mentransfer pengetahuan dari
guru dan buku, tetapi pendidikan harus dilakukan dengan menghadapkan
orang dewasa pada situasi kehidupan yakni permasalahan kehidupan yang
dihadapi dan tutuntan kebutuhan dalam hidup dan kehidupannya. Peran guru
dan buku bukan lagi sebagai pemberi ilmu pengetahuan yang otoriatif,
tetapi berperan membantu memecahkan masalah dan tuntutan kebutuhan
belajar yang dihadapi bersama; guru hanya memiliki otoritas profesi dan
tidak memiliki otoritas kebenaran ilmu pengetahuan, sementara buku
bukanlah sumber ilmu pengetahuan yang normatif tetapi hanya sebagai
sumber daya pendukung proses belajar. Sebab ilmu dan pengetahuan dapat
diperoleh dimana saja dalam kehidupan dengan cara “mencari”, bukan
dengan cara sekedar menunggu (diberikan). Olehnya demikian, orientasi
belajar orang dewasa adalah situasi kehidupannya dan metodologi
pendidikan orang dewasa ialah analisis pengalamannya yang sejalan dengan
meningkatnya (bertambahnya) umur individual sehingga dalam hal ini
perlu menyediakan secara optimal pendekatan pendidikan orang dewasa
untuk menganalisis perbedaan gaya hidup, waktu, tempat, dan kecepatan
belajar.
Dapatkah Andragogi diterapkan pada pendidikan Konvensional?
Menarik untuk dicatat ketika pendidikan orang dewasa harus dirancang
dan dilakukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan minatnya, situasi
kehidupan, pengalaman, konsep diri, dan perbedaan individualnya. Maka
ini berarti bahwa prinsip-prinsip yang digunakan dalam pendidikan orang
dewasa dapat juga digunakan untuk pendidikan konvensional seperti (yang
berlaku di sekolah-sekolah) manakala perkembangan kurikulum pendidikan
(baik KBK maupun KTSP) dewasa ini benar-benar telah meninggalkan
“sifatnya” yang normatif dan kaku untuk diterapkan secara lebih
“fleksibel”. Dimana kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah harus
dirancang, disusun, dan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan
karaktersistik siswa (warga belajar) yakni berupa minat, bakat,
perbedaan individual (ekonomi, politik, budaya, dan agama). Hal ini
menjadi penting dilakukan mengingat siswa yang belajar juga memiliki
potensi untuk berkembang dengan sendiri tanpa harus “patuh dan tunduk”
kepada tuntutan buku dan kemauan/kehendak guru.
Dengan demikian, penyusunan kurikulum kegiatan pendidikan orang
dewasa untuk diterapkan pada pendidikan konvensional dapat dimulai
dengan menganalisis kebutuhan calon peserta belajarnya sejak dini. Jika
peserta belajar memiliki beragam kebutuhan belajar yang berbeda, maka
dapat dilakukan pengelompokkan peserta belajar sesuai dengan minat,
hobi, dan bakatnya. Sehingga keragaman kebutuhan yang berbeda tadi dapat
bersifat fleksibel dalam penyelenggaraannya. Sementara, perbedaan
“individual” siswa harus diatur oleh konsederan (perundangan) dan
dimasukkan dalam ketentuan isi kurikulum pendidikan sehingga tidak
terjadi pembedaan seperti si kaya dan si miskin. Dalam hal ini, mereka
harus berbaur dalam proses belajar.
Jika demikian, maka otoriatif peran guru dan buku akan mengalami
pergeseran ketika berhadapan dengan penyelenggaraan model pendidikan
orang dewasa dilingkup pendidikan konvensional. Peran guru tidak lagi
sebagai pemberi pengetahuan yang berdiri depan kelas atau di atas podium
dengan otoritas keilmuan yang kaku, tetapi guru berperan sebagai
“teman” dan fasilitator yang bekerja bersama dengan peserta
belajar untuk mencari dan menemukan pengetahuan. Dalam konteks ini,
pendidikan harus dikembangkan pendekatan pembelajaran partisipatoris.
Dimana warga belajar memeliki kesempatan untuk dapat berkontribusi dalam
pemecahan masalah sosial dan juga mengarahkan belajarnya secara
mandiri; mengarahkan kemana dirinya ingin berkembang. Olehnya demikian,
pembelajaran “selama ini” yang cenderung mengarahkan siswa (warga
belajar) sebagai peserta belajar yang pasif atau objek pemenerima
pengetahuan yang pasif adalah merupakan suatu pola “penghancuran” diri
individu untuk mandiri mengembangkan potensinya.
Dapat ditegaskan lagi bahwa prinsip belajar dalam andragogi adalah
memperhatikan karakteristik warga belajarnya seperti konsep diri,
pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Yang dimaksud
dengan konsep diri adalah kemandirian yang terdapat dalam
individu orang dewasa sehingga mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk
mandiri. Sementara pengalaman ialah suatu fakta empirik yang
dilewati oleh tiap individu dalam perjalanan waktu dimana ia bertumbuh
dan berkembang. Dalam perjalanan hidupnya, berbagai pengalaman
pahit-getirnya-suka-dukanya telah menjadikan seorang individu sebagai
sumber belajar yang begitu kaya (banyak) dan pada saat yang bersamaan
pengalaman tersebut akan memberikan dasar yang luas untuk belajar dan
memperoleh pengalaman yang baru. Sedangkan kesiapan belajar
yakni potensi yang bukan ditentukan oleh kebutuhan adan paksaan akademik
atau biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan
perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Lain halnya
dengan orientasi belajar yaitu pada anak orientasi belajarnya
seolah-olah sudah ditentukan atau dikondisikan untuk memiliki orientasi
yang berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered orientation), sedangkan
pada konteks orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi
belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (problem centered orientation) hal
ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan suatu
kebutuhan untuk memcahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
kesehariannya terutama karena orang dewasa memiliki fungsi dan peranan
sosial yang lebih “besar” dari anak-anak.
Proses pembelajaran (prinsip belajar) dalam konteks tersebut di atas
adalah lebih dituntut untuk memperhatikan karakter individu dalam hal
perbedaan kemampuan (kecepatan belajar) agar dapat diberikan “kebebasan”
dan kesempatan berpikir dan berkembang serta bertindak sesuai dengan
potensi-potensi dalam dirinya. Sebab belajar adalah bukan tekstual
tetapi belajar merupakan kontestual, kaitan dengan ini bahwa fakta
positif dari pendidikan orang dewasa adalah terciptanya iklim dan
suasana belajar yang mandiri dan spesifik yang melibatkan secara aktif
seluruh warga belajar untuk dapat berpartisipasi dalam proses belajar.
Namun demikian, yang perlu diingat adalah prinsip-prinsip pendidikan
orang dewasa tidak serta-merta dapat berlaku secara komprehensif pada
jenjang dan satuan pendidikan di sekolah. Misalnya, prinsip konsep diri
adalah tidak dapat berlaku pada kelompok bermain (play group), TK
dan siswa SD. Karena pada mereka ini sangat sulit untuk menentukan
konsep dirinya. Contoh, dalam konteks belajar, mereka ini cenderung
menjadikannya sebagai “kewajiban” bukan sebagai “tuntutan”; belajar
menurut mereka adalah kewajiban untuk memenuhi tuntutan orang tua atau
guru (sekolah) dan bukan karena untuk mengaktualisi diri dalam rangka
memenuhi kebutuhan konsep diri tadi, sebab pada umumnya “mereka”
cenderung tidak menyadari “makna” dari apa yang dipelajarinya.
Sambutan
Ketua BPH Muhammadiyah Bima
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Perhatian masalah pendidikan dan pembelajaran pada lembaga-lembaga
pendidikan baik ditingkat atau jenjang pendidikan dasar maupun perguruan
tinggi, memang telah banyak diberikan oleh para ilmuwan atau pemerhati
dunia pendidikan. Namun harus jujur diakui bahwa dewasa ini
literatur-literatur yang diberikan tersebut belum begitu dapat diakses
oleh mereka yang belajar (warga belajar) terutama bagi
mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi swasta. Hal ini dapat dipahami
karena disetiap daerah terdapat perbedaan dalam hal kebijakan yakni
perhatian pemerintah daerah terhadap perpustakaan atau perbukuan seperti
penyediaan dan pemberdayaan taman bacaan atau taman pintar, toko buku
yang representatif, dan/atau program-program lain yang berhubungan
dengan perpustakaan atau perbukuan. Disamping kebijakan pemerintah
daerah yang dirasakan masih minim terhadap dunia perbukuan, juga
perhatian perguruan-perguruan tinggi di ditiap daerah yang sampai dewasa
ini belumlah menunjukkan “keseriusannya” terhadap masalah perpustakaan
sehingga yang terjadi kemudian adalah mahasiswa menjadi sangat sulit
untuk mengakses informasi ataupun pengetahuan-pengetahuan lainnya yang
berhubungan dengan kebutuhan perkuliahan dan kepentingan dalam kehidupan
kesehariannya.
Dengan demikian, saya merasa “bangga” dan menaruh banyak harapan atas
terbitnya buku yang berjudul “pengantar pendidikan dan teori-teori
belajar” yang tulis oleh saudara Juwaidin ini agar dapat dipergunakan
untuk kepentingan proses perkuliahan dan aktivitas pendidikan lainnya.
Sebab buku yang ada digenggaman pembaca yang budiman saat ini memuat
tentang dasar-dasar pendidikan dan teori-teori belajar yang saya yakin
sangat diperlukan oleh para dosen, guru, dan pembelajar (warga belajar)
yang sedang menekuni bidang pendidikan.
Akhirnya, saya atas nama Pengurus Badan Pelaksana Harian (BPH)
Muhammadiyah Bima mengucapkan selamat dan sukses kepada penulis atas
karyanya ini. Semoga mendapat ganjaran pahala di sisi Allah yang maha
Agung, Amien.
Fastabiqul khairat
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH)
Muhammadiyah Bima
Drs. Ichwan P. Syamsuddin
Sumber :
http://ompubogo.wordpress.com/2011/02/25/pengantar-pendidikan-dan-teori-teori-belajar/
0 komentar:
Posting Komentar